Thursday, March 25, 2010

[oase - resend] Rakyat Kritis dan Penguasa Rendah Hati

Artikel Original | Simpan ke PDF
Artikel ini pernah dipublikasi oleh abufaiz97 pada Jum\\\'at, 05 November 2004 WIB

Lembar Jum'at: Rakyat Kritis dan Penguasa Rendah Hati

Abu Ismail Al-Uzdiy mengisahkan dalam kitab Futuhusy Syaam tentang seorang sahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, bernama Khalid bin Said, yang hendak memenuhi panggilan jihad di zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Setelah menyiapkan baju perang, senjata dan perbekalan lainnya, ia menyempatkan diri menemui sang Khalifah. Ia duduk di hadapan Khalifah seraya bertahmid dan bershalawat. Kemudian ia berkata, "Wahai Abu Bakar, sesungguhnya Allah telah memuliakan kami dan engkau dengan agama ini. Maka orang yang paling wajib menegakkan sunnah dan menghapuskan bid'ah serta adil dalam berperilaku adalah pemimpin yang mengurusi seluruh perkara ummat."

Kemudian ia melanjutkan nasehatnya, "Setiap orang yang memeluk agama ini memiliki hak untuk diperlakukan dengan ihsan (adil) karena keadilan penguasa lebih luas manfaatnya. Maka takutlah engkau wahai Abu Bakar atas beban orang-orang yang kau pimpin. Berilah kasih sayang kepada para janda dan anak-anak yatim dan tolonglah orang lemah yang teraniaya. Hendaknya tiada seorang pun dari orang Islam yang kamu senangi, yang mendapatkan porsi kebenaran lebih banyak dari pada orang yang kau benci. Dan janganlah engkau marah selama kau mampu untuk menahannya, karena kemarahan akan menyeretmu dalam kezhaliman.

Dan janganlah engkau mendengki sesama Muslim walaupun engkau mampu melakukannya, karena kedengkianmu terhadap Muslim yang lain akan menjadikannya sebagai musuh bagimu. Jika dia mengetahui hal itu ia pun akan memusuhimu. Bila pemimpin memusuhi rakyatnya dan rakyat memusuhi pemimpinnya akan mengakibatkan kehancuran semuanya. Bersikap lembutlah kepada orang yang berbuat baik. Tegaslah kepada orang yang peragu dan janganlah engkau malu untuk bertindak (dalam kebenaran) karena ejekan orang lain."

Setelah menyampaikan nasehat itu Khalid bin Said berkata, "Berikan tanganmu kepadaku karena aku tidak tahu apakah kita masih bisa berjumpa lagi di dunia ini besok. Bila Allah menentukan kita masih hidup maka kita memohon ampunan-Nya. Tapi bila perpisahan ini untuk selamanya, maka kita telah mengenal Allah dan mengenal wajah Rasul-Nya SAW di surga." Abu Bakar pun kemudian memegang tangan Khalid untuk berbaiat. Setelah itu Khalid menangis. Begitu pula semua yang hadir dalam majelis mereka.

Kisah ini menggambarkan betapa pedulinya seorang ulama dari kalangan rakyat biasa untuk melaksanakan jihad fi sabilillah serta amar ma'ruf nahi munkar terhadap pemimpinnya. Padahal saat itu yang menjadi pemimpin adalah seorang khalifah yang terkenal paling jujur dan termasuk dalam sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Dari riwayat ini kita dapat menarik beberapa pelajaran berharga.

1. Ulama merupakan pengontrol jalannya pemerintahan yang dikendalikan penguasa

Seperti yang dicontohkan Khalid bin Sa'id, sebagai rakyat setiap Muslim juga punya kewajiban sebagai da'i yang selalu memberikan peringatan kepada pemimpin. Dengan menjalankan peran itu, setiap Muslim, terutama para da'i dan aktivis, akan melengkapi sendi-sendi stabilitas dunia yakni: keberdayaan ulama (dengan ilmunya); keadilan para penguasa; kedermawanan orang-orang kaya dan doa para fuqara. Bila salah satu sendi tak berfungsi sebagaimana semestinya, maka akan terjadi instabilitas dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

Kata 'ulama merupakan bentuk jama' (plural) dari kata 'alim yang secara etimologis artinya orang yang memiliki ilmu, yang dengan ilmunya itu ia menjadi takut hanya kepada Allah (Faathir: 28) Pengertian ulama tidak terbatas pada orang-orang yang memiliki kafa'ah syar'iyah (kompetensi di bidang syari'ah) saja tapi mencakup semua para ahli di bidang keilmuan apapun yang bermanfaat, asalkan ilmu yang dikuasainya membawa dirinya menjadi orang yang memiliki rasa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Inilah yang mendorong mereka melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar. Para kader dakwah juga merupakan ulama yang harus berperan sebagai waratsatul ambiya' (pewaris para Nabi) yang selalu menegakkan tugas suci ini.

2. Manfaat keadilan yang diterapkan oleh penguasa sangat luas.

Keadilan adalah salah satu inti ajaran Islam yang memiliki kedudukan amat penting. Ini karena sejumlah sebab berikut ini:

Keadilan merupakan jiwa suatu ummat, rahasia kesejahteraannya dan penyebab perkembangan serta kemajuannya.

Keadilan adalah sasaran diutusnya para para rasul di dunia ini. (Al-Hadid: 25). Keadilan merupakan salah satu sifat Allah. Dia memerintahkan agar semua manusia menegakkan keadilan dalam semua aspek kehidupan. (An-Nahl: 90, An-Nisa: 58). Ummat manusia diharuskan menegakkan keadilan (Huud: 85).

Keadilan merupakan salah satu tugas Rasulullah SAW yang harus ditegakkan. (Al-Baqarah 143).

Keadilan adalah sendi untuk menegakkan kebenaran dan untuk menciptakan ketenangan ummat manusia.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa berbuat adil satu jam bagi penguasa lebih baik dari beribadah enam puluh tahun. Dengan berlaku adil, seorang penguasa akan mengayomi semua rakyat, terutama yang lemah dan tertindas, dan akan membatasi kecongkakan rakyat yang merasa kuat. Pantaslah kalau Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa ada tujuh golongan yang kelak akan dinaungi Allah pada hari kiamat yang tiada naungan selain naungan-Nya, salah satunya yaitu penguasa yang adil.

3. Budaya saling menasehati adalah kewajiban setiap umat Islam.

Ada beberapa sebab yang menuntut setiap Muslim, sebagai rakyat sekaligus da'i, untuk melakukan tawashau bil haqqi (saling menasehati dalam kebenaran) dan tawashu bis shabri (saling menasehati dalam kesabaran). Antara lain:

a. Kebaikan ummat Islam (khairiyyatu haadzihil ummah) terletak pada pelaksanaan amar ma'ruf dan nahi munkar. Bila tugas ini tidak dilaksanakan maka akan hilanglah ciri kebaikan umat Islam ini. (Ali Imran: 110)

b. Para da'i adalah tumpuan utama masyarakat yang akan menstabilkan kehidupan. Ciri utama stabilisator adalah senantiasa melakukan islah (perbaikan). Seorang kader tidak cukup hanya menjadi seorang yang shalih (orang yang baik) saja tapi harus menjadi seorang mushlih (orang yang melakukan perbaikan). Orang-orang yang shalih tidak cukup untuk menjadi penyelamat ummat dari kehancuran . Allah SWT menegaskan dalam A-Quran: "Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim sedang penduduknya orang-orang yang melakukan ishlah." (Huud: 117).

c. Di antara ciri manusia yang tidak akan merugi adalah senantiasa saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran (Al-Ashr: 1-3).

d. Di antara hak seorang Muslim dengan Muslim lainnya adalah bila dimintai nasihat oleh saudaranya maka ia harus memberinya.

e. Agama Islam pada intinya adalah nasihat.

Para salafus shalih telah memberikan contoh luar biasa dalam hal saling menasihati. Salah satunya Umar bin Khatthab. Suatu ketika sejumlah sahabat Rasululah tengah mengelilinginya. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata, "Ittaqillaha ya Umar (bertakwalah kepada Allah wahai Umar)." Para sahabat yang mengenal Umar dengan kedudukannya sebagai orang manusia yang dijamin masuk surga, marah kepada orang itu. Namun Umar mencegah kemarahan tersebut seraya berkata, "Biarkanlah dia berkata demikian. Sesungguhnya tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mau mengatakan (perkataan itu) dan tidak pula ada kebaikan pada orang yang tidak mau mendengarkannya." Wallahu a'lamu bis-shawab.

(Abu Fahmi/Hidayatullah)



Newsletter Oase: Subscribe | Unsubscribe