Wednesday, December 26, 2012

Hari Kasih Atau Valentine Dalam Tinjauan Syariat


Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset
fatwa Saudi Arabia Fatwa Nomor
21203Valentine’s Day sebenarnya bersumber
dari paganisme orang musyrik
penyembahan berhala dan penghormatan
pada pastor kuffar. Bahkan tak ada
kaitannya dgn “kasih sayang” lalu kenapa
kita masih juga menyambut Hari Valentine ?
Adakah ia merupakan hari yg istimewa?
Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa
tahu asal muasalnya?“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yg kamu tidak mengetahui
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran
penglihatan dan hati semuanya akan diminta
pertangggungjawabannya” {Al Isra’ :
36}.Sebelum kita terjerumus pada budaya yg
dapat menyebabkan kita tergelincir kepada
kemaksiatan maupun penyesalan kita tahu
bahwa acara itu jelas berasal dari kaum
kafir yg akidahnya berbeda dgn ummat
Islam sedangkan Rasulullah bersabda:
Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri
Radiyallahu ‘anhu : Rasulullah bersabda:
Kamu akan mengikuti sunnah orang- orang
sebelum kamu sejengkal demi sejengkal
sehasta demi sehasta. Sampai mereka
masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap
mengikuti mereka. Kami bertanya: Wahai
Rasulullah apakah yg kamu maksudkan itu
adl orang-orang Yahudi dan orang-orang
Nasrani? Rasulullah bersabda: Kalau bukan
mereka siapa lagi? .Pertanyaan : Sebagian
orang merayakan Yaum Al-Hubb pada
tanggal 14 Februari (bulan kedua pada
kalender Gregorian kristen / Masehi) tiap
tahun diantaranya dengan saling-
menghadiahi bunga mawar merah. Mereka
juga berdandan dgn pakaian merah dan
memberi ucapan selamat satu sama
lain .Beberapa toko-toko gula-gula pun
memproduksi manisan khusus - berwarna
merah- dan yg menggambarkan simbol hati/
jantung ketika itu . Toko-tokopun tersebut
mengiklankan yg barang-barang mereka
secara khusus dikaitkan dgn hari ini.
Bagaimana pandangan syariah Islam
mengenai hal berikut :1. Merayakan hari
valentine ini ?2. Melakukan transaksi
pembelian pada hari valentine ini?3.
Transaksi penjualan – sementara pemilik
toko tidak merayakannya – dalam berbagai
hal yg dapat digunakan sebagai hadiah bagi
yg sedang merayakan?Semoga Allah
memberi Anda penghargaan dgn seluruh
kebaikan !Jawaban : Bukti yg jelas terang
dari Al Qur’an dan Sunnah - dan ini adl yg
disepakati oleh konsensus dari ummah
generasi awal muslim - menunjukkan bahwa
ada hanya dua macam Ied dalam Islam : ‘
Ied Al-Fitr dan ‘ Ied Al-Adha .Maka seluruh
Ied yg lainnya - apakah itu adl buatan
seseorang kelompok peristiwa atau even
lain – yg diperkenalkan sebagai hari Raya /
‘Ied tidaklah diperkenankan bagi muslimin
untuk mengambil bagian didalamnya
termasuk mengadakan acara yg
menunjukkan sukarianya pada even tersebut
atau membantu didalamnya – apapun
bentuknya – sebab hal ini telah melampaui
batas-batas syari’ah Allah: َﻚْﻠِﺗَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺍُﺩﻭُﺪُﺣ
ﻦَﻣَﻭ َّﺪَﻌَﺘَﻳ َﺩﻭُﺪُﺣ ِﻪَّﻠﻟﺍ ْﺪَﻘَﻓ َﻢَﻠَﻇ ُﻪَﺴْﻔَﻧ Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yg
melanggar hukum-hukum Allah maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. ( Surah At-Thalaq
ayat 1)Jika kita menambah-nambah Ied yg
telah ditetapkan sementara faktanya bahwa
hari raya ini merupakan hari raya orang non
muslim maka yg demikian termasuk
berdosa. Disebabkan perayaan Ied tersebut
meniru-niru dgn perilaku orang-orang non
muslim dan merupakan jenis Muwaalaat
kepada mereka. Dan Allah telah melarang
utk meniru-niru perilaku orang non muslim
tersebut dan termasuk memiliki kecintaan
kesetiaan kepada mereka yg termaktub
dalam kitab Dzat yg Maha Perkasa . Ini juga
ketetapan dari Nabi {Shalallaahu ` Alaihi wa
sallam} bahwa beliau bersabda :
“Barangsiapa meniru suatu kaum maka dia
termasuk dari kaum tersebut”.Ied al-Hubb
datangnya dari kalangan apa yg telah
disebutkan termasuk salah satu hari besar /
hari libur dari kaum paganis Kristen.
Karenanya diharamkan untuk siapapun dari
kalangan muslimin yg dia mengaku beriman
kepada Allah dan Hari Akhir untuk
mengambil bagian di dalamnya termasuk
memberi ucapan selamat {kepada
seseorang pada saat itu}. Sebaliknya adl
wajib untuknya menjauhi dari perayaan
tersebut - sebagai bentuk ketaatan pada
Allah dan Rasul-Nya dan menjaga jarak
dirinya dari kemarahan Allaah dan
hukumanNya.Lebih-lebih lagi hal itu
terlarang utk seorang muslim utk membantu
atau menolong dalam perayaan ini atau
perayaan apapun juga yg termasuk terlarang
baik berupa makanan atau minuman jual
atau beli produksi ucapan terima kasih
surat-menyurat pengumuman dan lain lain.
Semua hal ini dikaitkan sebagai bentuk
tolong-menolong dalam dosa serta
pelanggaran juga sebagai bentuk
pengingkaran atas Allah dan Rasulullah.
Allaah Dzat yg Maha Agung dan Maha Tinggi
berfirman: ْﺍﻮُﻧَﻭﺎَﻌَﺗَﻭ ﻰَﻠَﻋ ِّﺮﺒْﻟﺍ ﻯَﻮْﻘَّﺘﻟﺍَﻭ
َﻻَﻭ ْﺍﻮُﻧَﻭﺎَﻌَﺗ ﻰَﻠَﻋ ِﻢْﺛِﻹﺍ ِﻥﺍَﻭْﺪُﻌْﻟﺍَﻭ ْﺍﻮُﻘَّﺗﺍَﻭ
َﻪّﻠﻟﺍ َّﻥِﺇ َﻪّﻠﻟﺍ ُﺪﻳِﺪَﺷ ِﺏﺎَﻘِﻌْﻟﺍ Dan tolong-
menolonglah kamu dalam kebajikan dan
taqwa dan jangan tolong- menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertaqwalah kamu kepada Allah
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
(Surah al-Maa.idah Ayat 2)Demikian juga
termasuk kewajiban bagi tiap-tiap muslim
utk memegang teguh atas Al Qur’an dan
Sunnah dalam seluruh kondisi - terutama
saat terjadi rayuan dan godaan kejelekan.
Maka semoga dia memahami dan sadar dari
akibat turutnya dia dalam barisan sesat
tersebut yg Allah murka padanya dan atas
mereka yg tersesat serta orang-orang yg
mengikuti hwa nfsu (**) diantara mereka yg
tidak punya rasa takut - maupun harapan
dan pahala - dari Allah dan atas siapa-siapa
yg memberi perhatian sama sekali atas
Islam.Maka hal ini sangat penting bagi
muslim utk bersegera kembali ke jalan Allah
yg Maha Tinggi mengharap dan memohon
Hidayah Nya dan Tsabbat atas jalanNya.
Dan sungguh tidak ada pemberi petunjuk
kecuali Allaah dan tak seorangpun yg dapat
menganugrahkan keteguhan kecuali
dariNya.Dan kepada Allaah lah segala
kesuksesan dan semgoa Allaah memberikan
sholawat dan salam atas Nabi kita beserta
keluarganya dan rekannya.Lembaga tetap
pengkajian ilmiah dan riset fatwaKetua :
Syaikh ‘ Abdul ‘ Aziz Al Asy-Syaikh;Wakil
Ketua : Syaikh Saalih ibn Fauzaan;Anggota:
Syaikh ‘ Abdullaah ibn Ghudayyaan;Anggota:
Syaikh Bakar Ibn ‘ Abdullaah Abu Zaid
{Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah lil-Buhuts
al-’Ilmiyyah Wal-Iftaa.- Fatwa Nomor
21203. Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan
riset fatwa Saudi Arabia}Dinukil dari http://
www.fatwa-online.com/fataawa/
innovations/celebrations/
cel003/0020123_1.htm.Pertanyaan :
Bagaimana hukum merayakan hari Kasih
Sayang / Valentine Day’s ?Syaikh Muhammad
Sholih Al-Utsaimin menjawab :“Merayakan
hari Valentine itu tidak boleh
karena:Pertama: ia merupakan hari raya
bid‘ah yg tidak ada dasar hukumnya di
dalam syari‘at Islam.Kedua: ia dapat
menyebabkan hati sibuk dgn perkara-
perkara rendahan seperti ini yg sangat
bertentangan dgn petunjuk para salaf shalih
– semoga Allah meridhai mereka. Maka
tidak halal melakukan ritual hari raya baik
dalam bentuk makan-makan minum- minum
berpakaian saling tukar hadiah ataupun
lainnya. Hendaknya tiap muslim merasa
bangga dgn agamanya tidak menjadi orang
yg tidak mempunyai pegangan dan ikut-
ikutan.
Semoga Allah melindungi kaum muslimin
dari segala fitnah yg tampak ataupun yang
tersembunyi dan semoga meliputi kita
semua dgn bimbingan-Nya.”Maka adl wajib
bagi tiap orang yg mengucapkan dua kalimat
syahadat utk melaksanakan wala’ dan bara’
yang merupakan dasar akidah yg dipegang
oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai
orang-orang mu’min dan membenci dan
menyelisihi orang-orang non muslim dalam
ibadah dan perilaku.Di antara dampak buruk
menyerupai mereka adalah: ikut
mempopulerkan ritual-ritual mereka
sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam.
Dampak buruk lainnya bahwa dgn mengikuti
mereka berarti memperbanyak jumlah
mereka mendukung dan mengikuti agama
mereka padahal seorang muslim dalam tiap
raka’at shalatnya membaca“Tunjukilah kami
jalan yg lurus jalan orang-orang yg telah
Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka;
bukan mereka yg dimurkai dan bukan
mereka yg sesat.” Bagaimana bisa ia
memohon kepada Allah agar ditunjukkan
kepadanya jalan orang-orang yg mukmin dan
dijauhkan darinya jalan golongan mereka yg
sesat dan dimurkai namun ia sendiri malah
menempuh jalan sesat itu dgn sukarela. Lain
dari itu mengekornya kaum muslimin
terhadap gaya hidup mereka akan membuat
mereka senang serta dapat melahirkan
kecintaan dan keterikatan hati.Allah
Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman yg
artinya: “Hai orang-orang yg beriman
janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-
pemimpin; sebahagian mereka adl
pemimpin bagi sebahagian yg lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yg zalim.” {Al-
Maidah:51}“Kamu tidak akan mendapati
sesuatu kaum yg beriman kepada Allah dan
hari akhirat saling berkasih sayang dgn
orang-orang yg menentang Allah dan Rasul-
Nya.” Ada seorang gadis mengatakan bahwa
ia tidak mengikuti keyakinan mereka hanya
saja hari Valentine tersebut secara khusus
memberikan makna cinta dan suka citanya
kepada orang-orang yang
memperingatinya.Saudaraku! Ini adl suatu
kelalaian padahal sekali lagi: Perayaan ini
adl acara ritual agama lain! Hadiah yg
diberikan sebagai ungkapan cinta adl
sesuatu yg baik namun bila dikaitkan dgn
pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-
tradisi Barat akan mengakibatkan seseorang
terobsesi oleh budaya dan gaya hidup
mereka.Mengadakan pesta pada hari
tersebut bukanlah sesuatu yg sepele tapi lbh
mencerminkan pengadopsian nilai-nilai
Barat yg tidak memandang batasan normatif
dalam pergaulan antara pria dan wanita
sehingga saat ini kita lihat struktur sosial
mereka menjadi porak-
poranda.Alhamdulillah kita mempunyai
pengganti yg jauh lbh baik dari itu semua
sehingga kita tidak perlu meniru dan
menyerupai mereka. Di antaranya bahwa
dalam pandangan kita seorang ibu
mempunyai kedudukan yg agung kita bisa
mempersembahkan ketulusan dan cinta itu
kepadanya dari waktu ke waktu demikian
pula utk ayah saudara suami …dst tapi hal
itu tidak kita lakukan khusus pada saat yg
dirayakan oleh orang-orang non
muslim.Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala
senantiasa menjadikan hidup kita penuh dgn
kecintaan dan kasih sayang yg tulus yg
menjadi jembatan utk masuk ke dalam Surga
yg hamparannya seluas langit dan bumi yg
disediakan bagi orang-orang yg
bertakwa .Menyampaikan Kebenaran adl
kewajiban tiap Muslim. Kesempatan kita
saat ini utk berdakwah adl dgn
menyampaikan buletin ini kepada saudara-
saudara kita yg belum
mengetahuinya.Semoga Allah Ta’ala
Membalas ‘Amal Ibadah Kita.
sumber : file chm Darus Salaf

Hakikat Syi'ah

Almarhum Gus Dur [1] dulu
pernah mengatakan Nahdlatul
Ulama (NU) itu Syiah minus
Imamah, Syiah itu NU plus
Imamah. Bukan tanpa alasan
statemen itu dilontarkan,
memang NU dan Syiah secara
budaya memiliki banyak
kesamaan. Di Indonesia
pendakwah ajaran Islam tak
dapat dipastikan apakah Sunni
atau Syiah yang datang terlebih
dahulu, sebagaimana madzhab
leluhur para habib di
Hadramaut yang masih
diperdebatkan apakah Sunni,
Syiah atau bahkan membuat
madzhab sendiri. Karena itulah
budaya, simbol-simbol Syiah
melekat kuat dengan budaya
Sunni di Indonesia. Kecintaan
akan keluarga Nabi saw
melekat dengan erat, di
antaranya; pujian, tawasulan
pada para imam Syiah
termaktub dalam syair-syair,
tarian, dll; hikayat dan cerita
kepahlawanan keluarga Nabi
saw; tradisi-tradisi yang mirip
dengan budaya Syiah, seperti
tabot, tahlil arwah hari ke-n,
rabo wekasan, primbon,
larangan berhajat di bulan
suro; istilah-istilah keagamaan,
dsb seperti syuro, kenduri,
bahkan penamaan hal-hal
berbau (maaf) seks pun dengan
nama keluarga nabi, seperti
tongkat Ali atau rumput
Fatimah (padahal kalau
menyesuaikan nama aslinya
seharusnya terjemahnya
adalah tangan Maryam). [2]
NU sebagai salah satu
mainstream Sunni di Indonesia
menghormati, mengagungkan
dan mentaati keturunan Nabi
saw, demikian halnya dengan
Syiah, bahkan jika mereka
berbuat salah pun mereka
tetap menaati dan tunduk
karena takut kualat, dan
sebagainya. Ingat skandal
habib pemimpin majelis
terbesar kedua di Jakarta?. NU
mengenang dan membacakan
manaqib para leluhur guru,
kyai-kyai mereka dan
mengadakan haul kewafatan
mereka. Begitu juga dengan
Syiah. Dalam mengatasi ayat-
ayat mutasyabihat berkenaan
dengan Tuhan, kedua golongan
ini sama-sama menakwilkan
sesuai dengan posisi Tuhan,
bukan memakai arti lahiriah
ayat tersebut. Jika dalam NU
ada saudara mereka yang
meninggal, mereka
mendoakannya dalam acara
tersendiri, tahlilan. Begitu juga
dengan Syiah. NU mengajarkan
kebolehan tawasul dengan
orang-orang 'suci' mereka,
begitu pula dengan Syiah. NU
menganggap orang-orang suci
mereka tetap hidup meski
sudah meninggal dan
menziarahi kuburan mereka
untuk bertawasul dan
bertabarruk. NU mengenal
tabaruk dengan benda-benda
peninggalan atau pemberian
orang 'suci' sama halnya
dengan Syiah. Poin-poin
terakhir di atas itulah yang
membuat golongan muslim
kecil imporan naik darah lantas
mengkafir-musyrikan dan siap-
siap menghunuskan pisau
untuk mengalirkan darah
penganut NU dan Syiah untuk
taqarub kepada Allah.
Dua golongan ini, NU dan Syiah
memang memiliki banyak
kesamaan. Kedua-keduanya
sudah dicap sesat dan kafir
oleh kelompok Islam kecil
lainnya. Tak jarang untuk
mengadu domba dan
mempertajam perseteruan
kedua kelompok ini dan, Syiah
dan Sunni, ada oknum yang
mengaburkan, mengganti
bahkan menghilangkan
redaksi-redaksi dalam kitab-
kitab rujukan Sunni-Syiah [3] .
Masalah yang seringkali
dibentrokkan dengan golongan
Sunni adalah imamah Ali dan
11 keturunannya, tahrif al-
Quran, doktrin keadilan
sahabat nabi, nikah mut’ah,
taqiyah, dll.
Keimamahan ahli bayt
merupakan salah satu rukun
dalam Syiah. Namun bukan
berarti orang yang tidak
meyakini dan mengikutinya
kafir. Begitulah yang dikatakan
para imam Syiah. Imam Abu
Ja'far, Muhammad Al-Baqir as,
berkata, seperti tercantum
dalam Shahih Hamran bin
A'yan: "Agama Islam dinilai
dari segala yang tampak dari
perbuatan dan ucapan. Yakni
yang dianut oleh kelompok-
kelompok kaum Muslim dari
semua firqah (aliran). Atas
dasar itu terjamin nyawa
mereka, dan atas dasar itu
berlangsung pengalihan harta
warisan. Dengan itu pula
dilangsungkan hubungan
pernikahan. Demikian pula
pelaksanaan shalat, zakat,
puasa, dan haji. Dengan semua
itu mereka keluar dari
kekufuran dan dimasukkan ke
dalam keimanan."
Mengenai tahrif al-Quran,
umat Islam sepakat bahwa hal
ini merupakan masalah besar.
Siapapun yang meyakini
bahwa al-Quran telah berubah,
baik kurang atau ditambah,
maka dihukumi kafir.
Sayangnya, pengeritik dan
pencela Syiah tidak melihat
langsung kondisi sebenarnya di
Iran, melihat langsung al-
Quran-quran yang tersebar
seantero Iran yang sama
dengan yang dibawa umat
Islam lainnya. Masih ingat
dengan “Mukjizat Abad 20:
Doktor Cilik Hafal dan Paham
Al-Quran” yang best seller di
Indonesia, Masih sama kan
dengan al-Quran yang dibaca
dan dihafal kelompok Sunni?.
Adapun riwayat-riwayat hadits,
sahabat atau ulama yang
mengatakan adanya tahrif al-
Quran sebenarnya juga
bertebaran tak hanya di kitab-
kitab Syiah saja tapi juga ada di
kitab-kitab Sunni. Itupun ada
yang belum dipastikan sahih
riwayatnya atau tidak dan juga
tidak menjustifikasi si empunya
kitab sebagai penganut tahrif,
bahkan mungkin ia menolak
mentah-mentah. [4] Jika ada
oknum di suatu golongan yang
meyakini tahrif, maka itu tidak
menegaskan semua golongan
itu meyakini tahrif. Baik Sunni
maupun Syiah mempunyai
oknum yang meyakini adanya
tahrif tersebut. Kalau dalam
Syiah penganut tahrif al-Quran
disebut kelompok Akhbari.
Adapun pendukung tahrif di
Sunni, pernahkan anda
membaca cerita Ibnu
Syanbudz dan pengikutnya,
ulama besar Sunni ahli al-
Quran? [5]
Adapun masalah sahabat, yang
perlu dipertanyakan adalah
apakah meyakini semua
sahabat Nabi saw itu udul
adalah bagian dari iman atau
tidak. Jika iya, dan mereka
yang mencela, mengkritik dan
melaknat sahabat adalah kafir.
Maka bagaimana dengan para
sahabat itu sendiri yang saling
mencela melaknat bahkan
membunuh sahabat lainnya.
Apa mereka kafir? Jika anda
mempelajari sejarah Islam
maka akan anda temukan
banyak riwayat valid seperti
itu di hampir semua kitab-kitab
sejarah umat Islam, baik Sunni
maupun Syiah. Jika
menunjukkan dan
mengungkapkan kejelekan dan
keburukan sahabat merupakan
dosa besar, maka hampir
semua pengarang kitab hadits
dan sejarah termasuk orang
yang berdosa besar. Maka tak
heran jika ada ulama besar
hadits yang menganjurkan
untuk menutupi hal-hal
tersebut untuk menjaga doktrin
sahabat itu wajib adil. [6]
Dengan dasar konsep semua
sahabat udul itu pula semua
peristiwa hitam dan kelam
perseteruan sahabat
ditafsirkan dan dijelaskan.
Sayyidah Fatimah tidak pernah
marah pada Abu Bakr karena
soal perampasan tanah Fadak,
fitnah yang terjadi diantara
para sahabat di masa Utsman
dikarenakan provokasi orang
Yahudi, bahkan perang yang
terjadi antara Ali as dengan
Aisyah, Thalhah dan Zubair
adalah karena provokasi
Yahudi tersebut. Tak hanya itu,
terkadang kejelekan yang
dilakukan oleh para sahabat
ditutupi secara halus. Jika ada
riwayat yang menyebutkan
nama sahabat yang berbuat
buruk, maka diganti dengan
fulan, si a, dll. Jika ada
perbuatan atau perkataan
buruk sahabat maka ditulis
kadza, sesuatu, dll.
Fitnah buruk lain yang
disematkan pada Syiah adalah
Syiah mengkafirkan semua
sahabat, kecuali 3 orang. Jika
Syiah mengkafirkan semua
sahabat, lantas siapa yang
membantu Ali dalam perang
melawan Aisyah, Thalhah,
Zubair, madzhab Khawarij,
dan Muawiyah. Mau
dikemanakan para sahabat
nabi yang mati demi membela
Islam dan keluarga Nabi saw?
Bagi Syiah sahabat Nabi saw
ada yang baik dan ada juga
yang buruk. Mereka yang
buruk tidak perlu diikuti. Syiah
tidak sekedar menuduh jelek
seorang sahabat tapi
mempunyai bukti valid atas
keburukan sahabat tersebut.
Syiah pembohong, pendusta
karena Syiah menganut doktrin
taqiyah. Begitulah yang sering
dilontarkan oleh pembenci
Syiah. Demikian lekatnya
doktrin taqiyah pada golongan
Syiah dan tuduhan jeleknya
sampai-sampai ada guyonan
tentang taqiyah golongan Syiah
di dunia maya.[7] Tapi,
bagaimana kalau anda
ditempatkan pada posisi Syiah.
Anda akan dibunuh jika
mengungkapkan keyakinan
anda yang sebenarnya, apa
yang akan anda lakukan?
Begitulah awal mula taqiyah
sebenarnya. Begitulah tindakan
Ammar bin Yasir menghadapi
siksaan kaum Quraisy.
Begitulah tindakan penganut
Syiah selama kurang lebih
seabad di masa kerajaan
Umayyah. Mereka dibatasi
gerakannya, diburu, dan
dibunuh bila ketahuan
mengikuti jejak Ahli Bait.
Bahkan Hasan al-Basri pun
dalam meriwayatkan hadis
dari Ali as, tidak menyebutkan
namanya dalam periwayatan
karena kondisi waktu itu yang
tidak memungkinkan. Jika
demikian apa anda setuju
taqiyah?
Anda menyamakan mut’ah
dengan zina, maka anda salah
besar. Ibnu Abbas sampai buta
mata dan wafat pun tidak
pernah melarang mut’ah atau
mencabut pendapatnya
tersebut. Karena itulah murid-
murid Ibnu Abbas meneruskan
pendapatnya. Di antara
mereka adalah Ibnu Juraij, Said
bin Jubair, Atha’, Mujahid,
bahkan ada pula riwayat yang
menyebutkan bahwa Imam
Malik membolehkan nikah
Mut’ah. Jika Syiah meyakini
mut’ah masih diperbolehkan,
apakah anda akan memprotes?
Toh, menurut Syiah mut’ah
tetap diperbolehkan Nabi saw
dan yang melarang adalah
Umar di masa kekhalifahannya
dan riwayat tersebut ada di
kitab-kitab golongan Sunni dan
Syiah. [8]
Semua poin-poin di atas, baik
tuduhan Sunni atau bantahan
Syiah terus saja diulang-ulang
sepanjang sejarah Islam,
namun semuanya hanya
sekedar tulisan tanpa ada
upaya untuk menjaga
kedamaian ukhuwah islamiyah
seakan-akan ada pihak-pihak
luar dan dalam yang sengaja
menjaga kestabilan perpecahan
umat muslim. Akhirnya semua
itu berpulang ke dalam diri
anda. seorang hakim harus
mendengarkan dua pihak yang
bersengketa baru memutuskan
masalahnya, bukan langsung
justifikasi tanpa bertabayun
terlebih dahulu. Bukan sekedar
cukup menjadi juru dakwah,
pemimpin majelis dengan
jutaan pengikut, atau tukang
khutbah mingguan untuk dapat
menjustifikasi sekelompok
orang menjadi sesat, kafir dan
musyrik, diperlukan sikap yang
arif, objektif, ilmiah dan
berlaku adil dalam menanggapi
saudara sesama muslim yang
berbeda pandangan dengan
kita.
“Tidaklah seseorang
melemparkan tuduhan kepada
yang lain dengan kefasikan,
dan tidak pula melemparkan
tuduhan kepada yang lain
dengan kekafiran, melainkan
hal itu akan kembali
kepadanya apabila yang
dituduh ternyata tidak
demikian”. Wa Allah a’laam.
Salam damai, :)
(dari berbagai sumber air)
[1] Dibanding dengan kakeknya, Gus
Dur begitu dekat dengan golongan
Syiah. Ketika terjadi revolusi Iran, Gus
Dur mengatakan “Khumayni waliyullah
terbesar abad ini” yang menimbulkan
kontroversi di kalangan NU, bahkan
dalam sebuah diskusi Gus Dur juga
mempersilakan warga NU untuk
masuk ke madzhab Syi’ah. Sedang
K.H. Hasyim Asy’ari ‘menyindir’ Syiah
dalam Muqadimah Qanun Asasi
Nahdlatul Ulama menyebutkan
“Sampaikan secara terang-terangan
apa yang diperintahkan Allah
kepadamu, agar bid’ah-bid’ah
terberantas dari semua orang.
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila
fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul
dan sahabat-sahabatku di caci maki,
maka hendaklah orang-orang alim
menampilkan ilmunya. Barang siapa
tidak berbuat begitu, maka dia akan
terkena laknat Allah, laknat malaikat
dan semua orang.” Bahkan beliau juga
melarang santri-santrinya membaca
kitab-kitab Syiah, seperti Naylul
Authar, Subulus Salam. Perbedaan
pandangan tersebut merupakan
sesuatu yang galib dalam dunia
keilmuan. Imam Ja’far al-Sadiq as
mempunyai murid Imam Hanafi yang
membuat madzhab sendiri, Imam
Malik juga mempunyai murid Imam
Syafii, yang mempunyai pendapat
berbeda dengan gurunya, bahkan
konon gara-gara perbedaan dengan
gurunya tersebut Imam Syafi’i
meninggal dipukul oleh pengikut
Maliki. Said Aqil Siradj yang lulusan
pendidikan Saudi pun menjadi
pembela Syiah, padahal Saudi secara
politik dan budaya menganut faham
Wahabi yang jelas-jelas menolak
bahkan mengkafirkan Syiah. Pendapat
KH. Ahmad Dahlan juga berbeda
dengan pendapat majelis tarjih
Muhammadiyah sesudahnya, beliau
memakai qunut subuh, tarawih 20
rakaat, mengucap usholi dalam niat
shalat, dll.
[2] Bahwa upacara peringatan orang
mati/tahlil pada hari ke-3, ke-7,
ke-40, ke-100, dan ke-1000, termasuk
khaul, adalah tradisi khas yang jelas-
jelas terpengaruh faham Syiah. Dalam
tahlil dimulai dengan bacaan al-
Fatihah kepada Nabi saw dan roh-roh
si mati. Amalan ini menjadi tradisi
penganut Syiah dari zaman ke zaman.
Dalam tahlil juga dibacakan ayat 33
dari surah al-‘Ahzab yang diyakini
oleh golongan Syiah sebagai bukti
keturunan Ali dan Fatimah adalah
maksum. Demikian juga dengan
perayaan 1 dan 10 Syuro dengan
penanda bubur Syuro, tradisi Rebo
Wekasan atau Arba’a Akhir di bulan
Safar, tradisi Nisfu Sya’ban, faham
Wahdatul Wujud, Nur Muhammad,
larangan berhajat pada bulan Syuro,
pembacaan kasidah-kasidah yang
memuji Nabi Muhammad Saw dan ahl
al-bait, dan wirid-wirid yang
diamalkan menunjukkan keterkaitan
tersebut. Bahkan istilah kenduri pun,
jelas menunjuk kepada pengaruh Syiah
karena dipungut dari bahasa Persia:
Kanduri, yakni upacara makan-makan
di Persia untuk memperingati Fatimah
Az-Zahro’.
[3] Di antara kitab yang terbukti
ditahrif adalah Nahj al-Balaghah yang
diterbitkan oleh Muhammad Abduh
Mesir, kitab-kitab al-Khumayni,
seperti Hukumah Islam, Kasyful Asrar
yang diterjemahkan menyimpang dari
bahasa Persia ke Inggris/Arab.
Pemalsuan kitab Kasyful Asrar
dibongkar oleh Dr. Ibrahim Dasuki
Syata, pengajar bahasa dan sastra
dari Universitas Kairo. Pemalsuan
kitab Hukumah Islam diduga dilakukan
penerbit buku milik CIA ke dalam
bahasa Inggris.
[4] Riwayat-riwayat tahrif al-Quran,
baik dari kalangan sahabat maupun
ulama besar, beredar di kitab-kitab
Sunni dan Syiah. Di antara yang
berpendapat al-Quran berubah
adalah Imam Malik, beliau berkata
tentang sebab gugurnya basmalah
pada pembukaan surah Barâ’ah,
“Sesungguhnya ketika bagian awalnya
gugur/hilang maka gugur pulalah
basmalahnya. Dan telah tetap bahwa
ia sebenarnya menandingi surah al-
Baqarah (dalam panjangnya)”
[5] Ibn Anbari dan al-Qurthubi
menutupi identitas tokoh ini dalam
kitabnya. Namun al-Khatib al-
Baghdadi dan Abu Syamah menyebut
jelas tokoh besar Sunni ini. Nama
lengkapnya Abu al Hasan Muhammad
ibn Ahmad ibn Ayyub al Muqri’/pakar
qira’at, yang dikenal dengan nama
Ibnu Syanbûdz/Syannabûdz al-
Baghdâdi (w.328 H). Ia banyak belajar
dan menimba ilmu qira’at dari banyak
pakar di berbagai kota besar Islam.
Ia telah berkeliling ke hampir seluruh
penjuru negeri Islam untuk menimba
ilmu dari para masyâikh, dan ahli
qira’at. Ia sezaman dan satu thabaqah
dengan Ibnu Mujahid (yang
membatasi qira’at hanya pada 7
qira’at saja), tetapi ia lebih luas ilmu
dan pengetahuannya, khususnya
tentang qira’at dan sumber-
sumbernya, dan ia lebih banyak guru
dan masyâikhnya, hanya saja Ibnu
Majahid lebih berkedudukan di sisi
penguasa saat itu. Banyak kalangan
ulama qira’at belajar darinya. Abu
‘Amr ad Dâni dan lainnya
mengandalkan sanad qira’at melalui
jalurnya. Ibnu Syannabûdz adalah
tsiqah/terpercaya, seorang yang
shaleh, konsisten dalam menjalankan
agama dan pakar dalam disiplin ilmu
qira’at. Ia meremehkan Ibnu Mujahid
yang tidak pernah melancong ke
berbagai negeri untuk menimba ilmu
qira’at. Apabila ada seorang murid
datang untuk belajar darinya, ia
menanyainya terlebih dahulu, apakah
ia pernah belajar dari Ibnu Mujahid?
Jika pernah maka ia tidak akan mau
mengajarinya. Ibnu Mujahid
menyimpan dendam kepadanya, dan
menfitnahnya kepada al wazîr/
penguasa saat itu yang bernama Ibnu
Muqlah. Ibnu Syannabûdz diadili
pengguasa di hadapan para ulama
dan ahli fikih, di antaranya Ibnu
Mujahid atas qira’atnya yang dinilai
menyimpang, setelah terjadi
perdebatan seru dengan mereka. Ibnu
Muqlah memintanya untuk
menghentikan kebiasaannya membaca
qira’at yang syâdzdzah, tetapi ia
bersikeras mempertahankannya, dan
berbicara keras kepadanya dan
kepada Ibnu Mujahid serta al Qadhi
yang dikatakannya sebagai kurang
luas pengetahuan mereka berdua,
sehingga Ibnu Muqlah menderanya
dengan beberapa cambukan di
punggungnya yang memaksanya
mengakui kesalahannya dan bersedia
menghentikan bacaan syâdzdzah-nya.
Ketika Ibnu Muqlah menderanya, Ibnu
Syannabûdz mendoakannya agar Allah
memotong tangannya dan mencerai-
beraikan urusannya. Tidak lama
kemudian, setelah tiga tahun, tepatnya
pada pertengahan bulan Syawal tahun
326 H, doa itu diperkenankan Allah
dan Ibnu Muqlah pun dipotong
tangannya oleh atasannya dan
dipenjarakan serta dipersulit
kehidupannya. Ia hidup terhina dan
mati dalam sel tahanan pada tahun
328 H, tahun yang sama dengan tahun
wafatnya Ibnu Syannabûdz.
Sebagaimana Ibnu Mujahid juga mati
setahun setelah mengadili Ibnu
Syannabûdz.
[6] Al-Dzahabi berkata, “Omongan
sesama teman jika terbukti
dilontarkan dengan dorongan hawa
nafsu atau fanatisme maka ia tidak
perlu dihiraukan. Ia harus ditutup dan
tidak diriwayatkan, sebagaimana telah
ditetapkan bahwa harus menutup-
nutupi persengketaan yang terjadi
antara para sahabat ra. Dan kita
senantiasa melewati hal itu dalam
kitab-kitab induk dan juz-juz akan
tetapi kebanyakan darinya adalah
terputus sanadnya dan dha’if dan
sebagian lainnya palsu. Dan ia yang
ada di tangan kita dan di tangan para
ulama kita. Semua itu harus dilipat
dan disembunyikan bahkan harus
dimusnahkan. Dan harus diramaikan
kecintaan kepada para sahabat dan
mendo’akan agar mereka diridhai
(Allah), dan merahasiakan hal itu
(bukti-bukti persengketaan mereka
itu) dari kaum awam dan individu
ulama adalah sebuah kawajiban. Dan
mungkin diizinkan bagi sebagian orang
ulama yang obyektif dan jauh dari
hawa nafsu untuk mempelajarinya
secara rahasia dengan syarat ia
memintakan ampunan bagi mereka
(para sahabat) seperti diajarkan
Allah.
[7] Kisah Laporan "Spy" Wahabi
Tentang Iran.
Pada suatu hari, agen wahabi
mengutus seorang untuk "spy" semua
gerak-gerik orang syiah, terutama di
Iran, maka diutuslah seorang agen A
untuk memulai misi ke Iran. Setelah
tiga bulan lamanya sang agen kembali
untuk melaporkan hasil mata-
matanya. Mari kita lihat apa yang
dilaporkannya :
Agen A : Bos ternyata semua orang
Iran, mereka itu hidup dalam taqiyah
sepanjang waktu dan dimanapun
mereka berada .
Bos : maksud kamu ?
Agen A : Setelah sekian lama saya
selidiki:
1. Ternyata mereka selalu
menyembunyikan Al-Qur'an mereka
entah dimana. Segala cara dan upaya
telah sa ya lakukan untuk dapat
menemukan Al-Qur'an versi Syiah, tapi
tetap saja saya tidak pernah
menjumpai dan menemukannya.
Setiap saya lihat semua Al-Qur'an di
sana sama dengan Al-Qur'an yang kita
baca, dan saya tidak pernah
menemukan orang yang menjual atau
memegang atau menyimpannya di
rumah atau di perpustakaan-
perpustakaan atau di sekolah-sekolah
mereka selain Al-Qur'an seperti yang
kita punya. Padahal yang kita belajar
dan dengar dari guru-guru kita bahwa
Syiah memiliki al-Qur'an sendiri.
2. Mereka juga selalu bersalawat
kepada Nabi dan Ahlul Baytnya
sepanjang waktu mereka, di hampir
setiap akhir dari bacaan gerakan
sholat, dalam doa-doa mereka, ketika
mereka mendengar nama Rasulullah
dan para Imam mereka disebutkan,
ketika mereka akan memulai
pekerjaan dan berpergian, pokoknya
di setiap hari mereka selalu
mengumandangkan salawat dan
kecintaan kepada Rasulullah dan Ahlul
B a ytnya seolah-olah mereka tahu
bahwa saya sedang memperhatikan
mereka. padahal yang saya dengar
dari guru-guru kita, bahwa mereka
sebenarnya adalah pembenci dan
selalu memfitnah ahlul bayt nabi.
3. Setiap hari masyarakat mereka
selalu mengutuk dan membenci
Amerika dan Zionis, serta musuh-
musuh Islam. Dan kesiapan serta doa
mereka untuk menjadi dan
dibangkitkan sebagai tentara Al-Mahdi
dalam melawan Dajjal akhir
zaman. Padahal yang saya dengar
dari guru-guru kita, bahwa mereka
adalah kawan sejati Amerika dan
Israel.
4. Ketika saya memasuki kota-kota
suci mereka, di setiap hari mereka
selalu bergiat dalam ibadah-ibadah
serta kajian-kajian keilmuan dan
keagamaan, tidak pernah mereka
menghabiskan waktu dalam kesia-
siaan apalagi mengeluarkan cacian
kepada sahabat dan istri
nabi. Padahal yang saya dengar dari
guru-guru kita, bahwa mereka setiap
hari melakukan majlis-majlis cacian
kepada sahabat dan isteri nabi.
5. Para mahasiswa dan ilmuwan
mereka pun sedang bergiat dalam
mengembangkan teknologi, yang
setiap saat mereka katakan sebagai
kekuatan Islam untuk melawan orang
kafir dan musuh Allah, kemajuan yang
mereka alami adalah dari hasil anak
bangsa dan kemandirian mereka
setelah negara mereka mendapat
tekanan dan bo ikot dunia. Padahal
yang saya dengar dari guru-guru kita,
bahwa mereka sering melakukan
kerjasama dan membeli senjata dari
Amerika dan Israel.
Demikianlah Bos laporan dari saya
tentang orang Iran (Syiah) yang
menjalani hidup mereka yang selalu
bertaqiyah sepanjang hari dan di
tempat manapun mereka berada,
sehingga saya tidak pernah
menjumpai apa yang guru-guru kita
katakan tentang orang Iran (Syiah),
mereka selalu bertaqiyah untuk dapat
menyembunyikan jati diri mereka di
hadapan siapapun, baik teman
ataupun musuh-musuh mereka. Dalam
p ikiran saya terhadap Tuhanpun
mereka bertaqiyah, bahkan ketika
tidur dan matipun mereka bertaqiyah.
Bos : ???#@!!
[8] Quraisy Shihab memandang bahwa
1. Para ulama berbeda pendapat
mengenai apakah benar Nabi saw
pernah mengharamkan nikah mut’ah
itu; 2. Larangan Umar bin Khattab
terhadap nikah mut’ah bukan
pengharaman suatu syariat, tetapi
demi menjaga kemaslahatan umat
kala itu. 3. Pendapat yang
kompromistis ialah pendapat Syekh
Muhammad Thahir bin Asyur, mufti
Tunisia yang mengatakan bahwa Nabi
SAW dua kali mengizinkan nikah
mut’ah dan dua kali melarangnya.
Larangan ini bukan pembatalan, tetapi
penyesuaian dengan kondisi,
kebutuhan yang mendesak atau
darurat. Maka nikah mut’ah itu hanya
diperbolehkan dalam keadaan
darurat, seperti bepergian jauh atau
perang dan tidak membawa istri.

Hadist Arba’in (10); MAKAN DARI RIZKI YANG HALAL

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anh,
ia berkata : “Telah bersabda
Rasululloh : “ Sesungguhnya Allah
itu baik, tidak menerima sesuatu
kecuali yang baik. Dan
sesungguhnya Allah telah
memerintahkan kepada orang-
orang mukmin (seperti) apa yang
telah diperintahkan kepada para
rasul, maka Allah telah berfirman:
Wahai para Rasul, makanlah dari
segala sesuatu yang baik dan
kerjakanlah amal [...]

Hadist Arba’in (11); TINGGALKAN KERAGU-RAGUAN

Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin
‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan
kesayangan beliau radhiallahu
‘anhuma telah berkata : “Aku telah
menghafal (sabda) dari Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Tinggalkanlah apa-apa yang
meragukan kamu, bergantilah
kepada apa yang tidak meragukan
kamu “. (HR. Tirmidzi dan berkata
Tirmidzi : Ini adalah [...]

Hadits Arbain. Semua Perbuatan Bid'ah Tertolak

Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah,
‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang
mengada-adakan sesuatu dalam urusan
agama kami ini yang bukan dari kami, maka
dia tertolak”.
(Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat
Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu
amal yang tidak sesuai urusan kami, maka
dia tertolak”)
[Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718]
Kata “Raddun” menurut ahli bahasa
maksudnya tertolak atau tidak sah. Kalimat
“bukan dari urusan kami” maksudnya bukan
dari hukum kami.
Hadits ini merupakan salah satu pedoman
penting dalam agama Islam yang
merupakan kalimat pendek yang penuh arti
yang dikaruniakan kepada Rasulullah.
Hadits ini dengan tegas menolak setiap
perkara bid’ah dan setiap perkara (dalam
urusan agama) yang direkayasa. Sebagian
ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini
sebagai dasar kaidah bahwa setiap yang
terlarang dinyatakan sebagai hal yang
merusak.
Pada riwayat imam muslim diatas
disebutkan, “Barangsiapa melakukan suatu
amal yang tidak sesuai urusan kami, maka
dia tertolak” dengan jelas menyatakan
keharusan meninggalkan setiap perkara
bid’ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya
mengikuti orang sebelumnya. Sebagian
orang yang ingkar (ahli bid’ah) menjadikan
hadits ini sebagai alas an bila ia melakukan
suatu perbuatan bid’ah, dia mengatakan :
“Bukan saya yang menciptakannya” maka
pendapat tersebut terbantah oleh hadits
diatas.
Hadits ini patut dihafal, disebarluaskan,
dan digunakan sebagai bantahan terhadap
kaum yang ingkar karena isinya mencakup
semua hal. Adapun hal-hal yang tidak
merupakan pokok agama sehingga tidak
diatur dalam sunnah, maka tidak tercakup
dalam larangan ini, seperti menulis Al-
Qur’an dalam Mushaf dan pembukuan
pendapat para ahli fiqih yang bertaraf
mujtahid yang menerangkan permasalahan-
permasalahan furu’ dari pokoknya, yaitu
sabda Rosululloh . Demikian juga
mengarang kitab-kitab nahwu, ilmu hitung,
faraid dan sebagainya yang semuanya
bersandar kepada sabda Rasulullah dan
perintahnya. Kesemua usaha ini tidak
termasuk dalam ancamanhadits
diatas.Wallahu a’lam

Permasalahan Khilafiyah Tidak Perlu Di Ingkari, Benarkah?.


Sebagian orang beralasan, kalau ada
masalah khilaf yang ada perselisihan para
ulama, maka tidak perlu diingkari.
Biarkanlah, biar umat Islam bersatu. Biar
orang kafir pun tahu bahwa umat Islam
tidak terpecah belah.
Pernyataan bahwa masalah khilafiyah tidak
perlu diingkari tidaklah tepat. Yang tepat kita
katakan,
ﻻ ﺭﺎﻜﻧﺇ ﻲﻓ ﺩﺎﻬﺘﺟﻻﺍ ﻞﺋﺎﺴﻣ
“ Tidak ada pengingkaran dalam masalah
ijtihadiyah ”
Karena masalah khilafiyah sebenarnya ada
dua macam:
1. Masalah yang sudah ada nash (dalil tegas)
dari Al Qur’an, hadits dan tidak bisa
ditentang, juga terdapat pendukung dari
ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika dalam
masalah ini ada orang yang berpendapat
keliru yang datang belakangan dan
menyelisihi ijma’ atau menyelisihi qiyas jalii ,
maka masalah semacam ini boleh diingkari
karena menyelisihi dalil.
2. Masalah yang tidak ada nash (dalil tegas)
dari Al Qur’an, hadits, ijma’, atau qiyas jalii
atau terdapat hadits yang mendukung, akan
tetapi diperselisihkan tentang keshahihan
hadits tersebut atau hadits tersebut tidak
jelas menjelaskan hukum dan bisa dimaknai
dengan berbagai pernafsiran. Untuk masalah
kedua, perlu adanya ijtihad dan penelitian
mendalam tentang hukumnya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Masalah ijtihadiyah
seperti ini tidak boleh diingkari dengan
tangan. Dan tidak boleh seorang pun
memaksa untuk mengikuti pendapatnya.
Akan tetapi yang dilakukan adalah
sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah.
Jika telah terang salah satu dari dua
pendapat yang diperselisihkan, ikutilah.
Namun untuk pendapat yang lain tidak perlu
diingkari (dengan keras).” (Majmu’ Al
Fatawa, 30: 80)
Contoh Masalah Khilafiyah
Masalah khilafiyah yang sudah ada nash
tegas di dalamnya yang masuk dalam
kategori pertama di atas yang jelas
menyelisihi dalil dan patut diingkari seperti:
1. Mengingkari sifat-sifat Allah yang Allah telah
memujinya sendiri dan telah ditetapkan pula
oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pengingkaran semacam ini bisa jadi dalam
bentuk takwil yaitu memalingkan dari makna
sebenarnya yang tidak sejalan dengan Al
Qur’an dan hadits.
2. Mengingkari kejadian-kejadian di masa
mendatang seperti tanda-tanda kiamat yang
telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Contohnya mengingkari
munculnya Dajjal dan turunnya Nabi Isa di
akhir zaman.
3. Bolehnya memanfaatkan riba bank padahal
riba telah jelas diharamkan.
4. Membolehkan nikah tanpa wali.
5. Membolehkan alat musik padahal termasuk
kemungkaran sebagai disebutkan dalam
dalil Al Qur’an dan hadits. Bahkan para
ulama empat madzhab telah sepakat akan
haramnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan,
ْﻢَﻟَﻭ ْﺮُﻛْﺬَﻳ ْﻦِﻣ ٌﺪَﺣَﺃ ِﺔَّﻤِﺋَﺄْﻟﺍ ِﻉﺎَﺒْﺗَﺃ ِﺕﺎَﻟﺁ ﻲِﻓ
ِﻮْﻬَّﻠﻟﺍ ﺎًﻋﺍَﺰِﻧ
“Tidak ada satu pun dari empat ulama
madzhab yang berselisih pendapat
mengenai haramnya alat musik.” (Majmu’ Al
Fatawa, 11: 576-577)
6. Menyatakan tidak dianjurkan shalat
istisqo’ (minta hujan) padahal telah
terdapat dalil dalam Bukhari dan Muslim,
juga yang lainnya yang menunjukkan
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallamm dan para sahabatnya untuk
melaksanakan shalat tersebut.
7. Pendapat yang menyatakan tidak
dianjurkannya puasa enam hari di bulan
Syawal setelah melaksanakan puasa
Ramadhan.
Masalah yang masih masuk ranah ijtihad
yang boleh kita toleran dalam masalah ini
seperti:
1. Perselisihan mengenai apakah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di
dunia.
2. Perselisihan apakah si mayit bisa
mendengar pembicaraan orang yang masih
hidup ataukah tidak.
3. Batalnya wudhu karena menyentuh
kemaluan, menyentuh wanita atau sebab
makan daging unta.
4. Qunut shubuh yang dibacakan setiap
harinya.
5. Qunut witir apakah dibaca sebelum ruku’
atau sesudahnya.
Syaikh Shalih Al Munajjid berkata, “Masalah
ini dan semisalnya yang tidak ada nash
tegas di dalamnya yang menjelaskan
hukumnya, maka tidak perlu diingkari
dengan keras jika ada yang menyelisihi
selama ia mengikuti salah satu ulama
terkemuka dan ia yakin itu benar. Akan
tetapi tidak boleh seorang pun mengambil
suatu pendapat ulama seenak hawa nafsunya
saja. Karena jika melakukan seperti ini, ia
berarti telah mengumpulkan seluruh
kejelekan.
Jika dikatakan tidak perlu mengingkari
dengan keras pada orang yang menyelisihi
dalam masalah ijtihadiyah, bukan berarti
masalah tersebut tidak perlu dibahas atau
tidak perlu dijelaskan manakah pendapat
yang lebih kuat (rojih). Bahkan ulama dahulu
hingga saat ini telah membahas masalah
ijtihadiyah semacam ini. Jika telah jelas
manakah pendapat yang benar, maka
hendaklah kita rujuk padanya.” ( Fatawa Al
Islam Sual wal Jawab no. 70491)
Penjelasan Para Ulama
Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ada yang
mengatakan bahwa masalah khilaf tidak
perlu diingkari, maka itu tidaklah benar jika
melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau
amalan. Jika ada ucapan yang menyelisihi
ajaran Rasul atau menyelisihi
ijma’ (kesepakatan para ulama), maka wajib
mengingkarinya. Jika masalah tersebut tidak
disepakati, maka boleh mengingkari untuk
menjelaskan bahwa pendapat tersebut
lemah dan menyebutkan pendapat yang
benar dari ulama salaf atau para fuqoha’.
Adapun jika ada amalan yang menyelisihi
ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’, maka
wajib mengingkarinya tergantung pada
bentuk kemungkarannya. … Adapun jika
dalam suatu permasalahan tidak ditunjukkan
dalil yang tegas, juga tidak ada ijma’, maka
berijtihad ketika itu dibolehkan dan tidak
perlu orang yang berijtihad dan yang
mengikuti diingkari dengan keras. … Dalam
masalah ijtihad ini selama tidak ada dalil
yang tegas tidak perlu sampai mencela para
mujtahid yang menyelisihinya seperti dalam
permasalahan yang masih diselisihi para
salaf.” ( Majmu’ Al Fatawa , 9: 112-113)
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Masalah khilaf sudah terjadi di antara para
sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka
–radhiyallahu ‘anhum ajma’in-. Hal seperti
ini tidak perlu diingkari. Demikian mereka
juga berkata bahwa tidak boleh bagi
seorang mufti (ahli fatwa) dan tidak pula
seorang qodhi (hakim) menentang orang
yang menyelisihinya selama hal itu tidak
menyelisihi dalil yang tegas,
ijma’ (kesepakatan ulama) dan qiyas
jalii .” ( Syarh Muslim, 2: 24)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
berkata, “Masalah khilafiyah terbagi menjadi
dua macam:
1. Masalah ijtihadiyah yang boleh ada khilaf di
dalamnya. Untuk masalah ini tidak boleh
mengingkari dengan keras orang yang
berijtihad. Adapun untuk orang awam,
hendaklah mengikuti pendapat ulama yang
ada di negeri masing-masing agar tidak
keluar dari pendapat masyarakat yang ada.
Karena jika kita katakan pada orang awam,
“Ikutilah pendapat apa saja yang kau
dapati.” Akhirnya seperti ini, umat tidak
bersatu.  Oleh karenanya Syaikh
‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah
berkata,
ﻡﺍﻮﻌﻟﺍ ﻢﻬﺋﺎﻤﻠﻋ ﺐﻫﺬﻣ ﻰﻠﻋ
“Madzhab orang awam adalah sesuai
dengan ulama mereka.”
2. Masalah yang tidak boleh ada perselisihan
di dalamnya dan bukan ranah ijtihad. Untuk
masalah kedua ini boleh diingkari orang
yang menyelisihinya karena tidak ada udzur
saat itu.” ( Liqo’ Al Bab Al Maftuh , kaset no.
49)
Kami tutup dengan nasehat bagi orang yang
berilmu yang banyak jadi panutan. Imam
Malik berkata,
ِﻪﻴِﻘَﻔْﻠِﻟ َﺲْﻴَﻟ َﻞِﻤْﺤَﻳ ْﻥَﺃ َﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ِﻪِﺒَﻫْﺬَﻣ
“ Tidak boleh bagi seorang faqih (yang
berilmu) mengajak manusia pada
madzhabnya” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80).
Namun ajaklah untuk mengikuti dalil. Karena
dalil-lah yang jadi pegangan.
Semoga Allah menunjuki kita untuk dapat
terus berpegang pada Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman salaful
ummah. Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, tengah
malam 27 Rajab 1433 H

TENTANG TAHLILAN

________
_______
Catatan Tepi untuk direnungi:
Termasuk dalam kategori
hukum yang manakah Tahlilan
[selamatan Kematian] ?
Klasifikasi hukum dalam Islam
secara umum ada 5 (lima) kalau
tidak termasuk; Shahih, Rukhsoh,
Bathil, Rukun, Syarat dan
‘Azimah.(Mabadi’ awaliyyah, Abd
Hamid Hakim)
1. Wajib : Apabila
dikerjakan berpahala,
ditinggalkan berdosa.
2. Sunnah/Mandub :
Apabila dikerjakan
berpahala, ditinggalkan
tidak apa-apa.
3. Mubah : Tidak
bernilai, dikerjakan atau
tidak dikerjakan tidak
mempunyai nilai.
4. Makruh : Dibenci,
apabila dikerjakan
dibenci, apabila
ditinggalkan berpahala.
5. Haram : Dikerjakan
berdosa, ditinggalkan
berpahala.
Pertanyaan :
1. Apakah Tahlilan [yang
dimaksud :Selamatan Kematian]
di dalamnya terkandung ibadah ?
2. Termasuk dalam hukum yang
mana Tahlilan tersebut ?
Jawab :
1. Karena didalamnya
ada pembacaan do’a,
baca Yasin, baca
sholawat, baca Al
Fatikhah, maka ia
termasuk ibadah.
Hukum asal ibadah
adalah “haram” dan
“terlarang”. Kalau Allah
dan Rasulullah tidak
memerintahkan, maka
siapa yang
memerintahkan ?
Apakah yang
memerintahkan lebih
hebat daripada Allah
dan Rasulullah ?
2. Jika hukumnya
“wajib”, maka bila
dikerjakan berpahala,
bila tidak dikerjakan
maka berdosa. Maka
bagi negara lain yang
penduduknya beragama
Islam, terhukumi
berdosa karena tidak
mengerjakan. Ternyata
tahlilan, hanya di
lakukan di sebagian
negara di Asia Tenggara
Wajibkah Tahlilan ?
Ternyata tidak, karena
tidak ada perintah Allah
dan Rasul untuk
melakukan ritual
tahlilan (Selamatan
Kematian : red)
Sunnahkah Tahlilan ?
Ternyata ia bukan
sunnah Rasul, sebab
Rasulullah sendiri
belum pernah
mentahlili istri beliau,
anak beliau dan para
syuhada.
Nah…..berarti
hukumnya bukan
Wajib , juga bukan
Sunnah .
Kalau seandainya
hukumnya Mubah,
maka untuk apa
dikerjakan, sebab ia
tidak mempunyai nilai
(tidak ada pahala dan
dosa, kalau dikerjakan
atau ditinggalkan).
Sudah buang-buang
uang dan buang-buang
tenaga, tetapi tidak ada
nilainya.
Jadi, tinggal 2 (dua)
hukum yang tersisa,
yaitu Makruh dan
Haram. Makruh apabila
dikerjakan dibenci,
apabila ditinggalkan
berpahala. Haram :
Dikerjakan berdosa,
ditinggalkan berpahala.
Jadi….sekarang pilih yang mana ?

Tuesday, December 25, 2012

MEREKA MEMUSUHI WAHABI DEMI PENGUASA PRO PENJAJAH


Oleh: Zulkarnain Khidir
Mahasiswa Universitas Prof. DR.
HAMKA, Jakarta
Belakangan ketika isu terorisme kian
dihujamkan di jantung pergerakan Ummat
Islam agar iklim pergerakan dakwah
terkapar lemah tak berdaya. Nama
Wahabi menjadi salah satu faham yang
disorot dan kian menjadi bulan-bulanan
aksi “tunjuk hidung,” bahkan hal itu
dilakukan oleh kalangan ustadz dan kiyai
yang berasal dari tubuh Ummat Islam itu
sendiri.
Beberapa buku propaganda pun
diterbitkan untuk menghantam
pergerakan yang dituding Wahabi, di
antaranya buku hitam berjudul “Sejarah
Berdarah Sekte Salafi-Wahabi: Mereka
Membunuh Semuanya Termasuk Para
Ulama.” Bertubi-tubi, berbagai tudingan
dialamatkan oleh alumnus dari
Universitas di Bawah Naungan Kerajaan
Ibnu Saud yang berhaluan Wahabi, yaitu
Prof. Dr. Said Siradj, MA. Tak mau kalah,
para kiyai dari pelosok pun ikut-ikutan
menghujat siapapun yang dituding
Wahabi. Kasus terakhir adalah statement
dari kiyai Muhammad Bukhori Maulana
dalam tabligh akbar FOSWAN di Bekasi
baru-baru ini turut pula menyerang
Wahabi dengan tudingan miring.
Benarkah tudingan tersebut?
Menarik memang menyaksikan fenomena
tersebut. Gelagat pembunuhan karakter
terhadap dakwah atau personal pengikut
Wahabi ini bukan hal baru, melainkan
telah lama terjadi. Hal ini bahkan telah
diurai dengan lengkap oleh ulama pejuang
dan mantan ketua MUI yang paling
karismatik, yaitu Haji Abdul Malik Karim
Amrullah atau yang biasa disapa Buya
HAMKA. Siapa tak mengenal Buya
HAMKA? Kegigihan, keteguhan dan
independensinya sebagai seorang ulama
tidak perlu diragukan lagi tentunya.
Dalam buku “Dari Perbendaharaan
Lama,” Buya HAMKA dengan gamblang
beliau merinci berbagai fitnah terhadap
Wahabi di Indonesia sejatinya telah
berlangsung berkali-kali. Sejak Masa
Penjajahan hingga beberapa kali
Pemilihan Umum yang diselenggarakan
pada era Orde Lama, Wahabi seringkali
menjadi objek perjuangan yang ditikam
fitnah dan diupayakan penghapusan atas
eksistensinya. Mari kita cermati apa yang
pernah diungkap Buya Hamka dalam
buku tersebut:
“Seketika terjadi Pemilihan Umum ,
orang telah menyebut-nyebut kembali
yang baru lalu, untuk alat kampanye,
nama “Wahabi.” Ada yang mengatakan
bahwa Masyumi itu adalah Wahabi,
sebab itu jangan pilih orang Masyumi.
Pihak komunis pernah turut-turut pula
menyebut-nyebut Wahabi dan
mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu
telah datang ke Sumatera. Dan orang-
orang Sumatera yang memperjuangkan
Islam di tanah Jawa ini adalah dari
keturunan kaum Wahabi.
Memang sejak abad kedelapan belas,
sejak gerakan Wahabi timbul di pusat
tanah Arab, nama Wahabi itu telah
menggegerkan dunia. Kerajaan Turki
yang sedang berkuasa, takut kepada
Wahabi. Karena Wahabi adalah,
permulaan kebangkitan bangsa Arab,
sesudah jatuh pamornya, karena
serangan bangsa Mongol dan Tartar ke
Baghdad. Dan Wahabi pun ditakuti
oleh bangsa-bangsa penjajah, karena
apabila dia masuk ke suatu negeri, dia
akan mengembangkan mata
penduduknya menentang penjajahan.
Sebab faham Wahabi ialah
meneguhkan kembali ajaran Tauhid
yang murni, menghapuskan segala
sesuatu yang akan membawa kepada
syirik. Sebab itu timbullah perasaan
tidak ada tempat takut melainkan
Allah. Wahabi adalah menentang keras
kepada Jumud, yaitu memahamkan
agama dengan membeku. Orang harus
kembali kepada Al-Qur’an dan Al-
Hadits.
Ajaran ini telah timbul bersamaan
dengan timbulnya kebangkitan revolusi
Prancis di Eropa. Dan pada masa itu
juga “infiltrasi” dari gerakan ini telah
masuk ke tanah Jawa. Pada tahun 1788
di zaman pemerintahan Paku Buwono
IV, yang lebih terkenal dengan gelaran
“Sunan Bagus,” beberapa orang
penganut faham Wahabi telah datang
ke tanah Jawa dan menyiarkan
ajarannya di negeri ini. Bukan saja
mereka itu masuk ke Solo dan Yogya,
tetapi mereka pun meneruskan juga
penyiaran fahamnya di Cirebon,
Bantam dan Madura. Mereka mendapat
sambutan baik, sebab terang anti
penjajahan.
Sunan Bagus sendiri pun tertarik
dengan ajaran kaum Wahabi.
Pemerintah Belanda mendesak agar
orang-orang Wahabi itu diserahkan
kepadanya. Pemerintah Belanda cukup
tahu, apakah akibatnya bagi
penjajahannya, jika faham Wahabi ini
dikenal oleh rakyat.
Padahal ketika itu perjuangan
memperkokoh penjajahan belum lagi
selesai. Mulanya Sunan tidak mau
menyerahkan mereka. Tetapi
mengingat akibat-akibatnya bagi
Kerajaan-kerajaan Jawa, maka ahli-ahli
kerajaan memberi advis kepada Sunan,
supaya orang-orang Wahabi itu
diserahkan saja kepada Belanda.
Lantaran desakan itu, maka mereka pun
ditangkapi dan diserahkan kepada
Belanda. Oleh Belanda orang-orang itu
pun diusir kembali ke tanah Arab.
Tetapi di tahun 1801, artinya 12 tahun di
belakang, kaum Wahabi datang lagi.
Sekarang bukan lagi orang Arab,
melainkan anak Indonesia sendiri,
yaitu anak Minangkabau. Haji Miskin
Pandai Sikat (Agam) Haji Abdurrahman
Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan
Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau
(Luhak Tanah Datar).
Mereka menyiarkan ajaran itu di Luhak
Agam (Bukittinggi) dan banyak beroleh
murid dan pengikut. Diantara murid
mereka ialah Tuanku Nan Renceh
Kamang. Tuanku Samik Empat Angkat.
Akhirnya gerakan mereka itu meluas
dan melebar, sehingga terbentuklah
“Kaum Paderi” yang terkenal. Di antara
mereka ialah Tuanku Imam Bonjol.
Maka terjadilah “Perang Paderi” yang
terkenal itu. Tiga puluh tujuh tahun
lamanya mereka melawan penjajahan
Belanda.
Bilamana di dalam abad ke delapan
belas dan Sembilan belas gerakan
Wahabi dapat dipatahkan, pertama
orang-orang Wahabi dapat diusir dari
Jawa, kedua dapat dikalahkan dengan
kekuatan senjata, namun di awal abad
kedua puluh mereka muncul lagi!
Di Minangkabau timbullah gerakan
yang dinamai “Kaum Muda.” Di Jawa
datanglah K.H. A. Dahlan dan Syekh
Ahmad Soorkati. K.H.A. Dahlan
mendirikan “Muhammadiyah.” Syekh
Ahmad Soorkati dapat membangun
semangat baru dalam kalangan orang-
orang Arab. Ketika dia mulai datang,
orang Arab belum pecah menjadi dua,
yaitu Arrabithah Alawiyah dan Al-
Irsyad. Bahkan yang mendatangkan
Syekh itu ke mari adalah dari kalangan
yang kemudiannya membentuk Ar-
Rabithah Adawiyah.
Musuhnya dalam kalangan Islam
sendiri, pertama ialah Kerajaan Turki.
Kedua Kerajaan Syarif di Mekkah,
ketiga Kerajaan Mesir. Ulama-ulama
pengambil muka mengarang buku-
buku buat “mengafirkan” Wahabi.
Bahkan ada di kalangan Ulama itu
yang sampai hati mengarang buku
mengatakan bahwa Muhammad bin
Abdul Wahab pendiri faham ini adalah
keturunan Musailamah Al Kazhab!
Pembangunan Wahabi pada umumnya
adalah bermazhab Hambali, tetapi
faham itu juga dianut oleh pengikut
Mazhab Syafi’i, sebagai kaum Wahabi
Minangkabau. Dan juga penganut
Mazhab Hanafi, sebagai kaum Wahabi
di India.
Sekarang “Wahabi” dijadikan alat
kembali oleh beberapa golongan
tertentu untuk menekan semangat
kesadaran Islam yang bukan surut ke
belakang di Indonesia ini, melainkan
kian maju dan tersiar. Kebanyakan
orang Islam yang tidak tahu di waktu
ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran
wahabi, melainkan nama Wahabi.
Ir. Dr. Sukarno dalam “Surat-Surat dari
Endeh”nya kelihatan bahwa fahamnya
dalam agama Islam adalah banyak
mengandung anasir Wahabi.
Kaum komunis Indonesia telah
mencoba menimbulkan sentiment
Ummat Islam dengan membangkit-
bangkit nama Wahabi. Padahal seketika
terdengar kemenangan gilang-gemilang
yang dicapai oleh Raja Wahabi Ibnu
Saud, yang mengusir kekuasaan
keluarga Syarif dari Mekkah. Ummat
Islam mengadakan Kongres Besar di
Surabaya dan mengetok kawat
mengucapkan selamat atas
kemenangan itu (1925). Sampai
mengutus dua orang pemimpin Islam
dari Jawa ke Mekkah, yaitu H.O.S.
Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur.
Dan Haji Agus Salim datang lagi ke
Mekkah tahun 1927.
Karena tahun 1925 dan tahun 1926 itu
belum lama, baru lima puluh tahun
lebih saja, maka masih banyak orang
yang dapat mengenangkan bagaimana
pula hebatnya reaksi pada waktu itu,
baik dari pemerintah penjajahan, walau
dari Ummat Islam sendiri yang ikut
benci kepada Wahabi, karena hebatnya
propaganda Kerajaan Turki dan Ulama-
ulama pengikut Syarif.
Sekarang pemilihan umum yang
pertama sudah selesai. Mungkin
menyebut-nyebut “Wahabi” dan
membusuk-busukkannya ini akan
disimpan dahulu untuk pemilihan
umum yang akan datang. Dan mungkin
juga propaganda ini masuk ke dalam
hati orang, sehingga gambar-gambar
“Figur Nasional,” sebagai Tuanku Imam
Bonjol dan K.H.A. Dahlan diturunkan
dari dinding. Dan mungkin
perkumpulan-perkumpulan yang
memang nyata kemasukan faham
Wahabi seperti Muhammadiyah, Al-
Irsyad, Persis dan lain-lain diminta
supaya dibubarkan saja.
Kepada orang-orang yang membangkit-
bangkit bahwa pemuka-pemuka Islam
dari SUmmatera yang datang
memperjuangkan Islam di Tanah Jawa
ini adalah penganut atau keturunan
kaum Wahabi, kepada mereka orang-
orang dari SUmmatera itu
mengucapkan banyak-banyak terima
kasih! Sebab kepada mereka diberikan
kehormatan yang begitu besar!
Sungguh pun demikian, faham Wahabi
bukanlah faham yang dipaksakan oleh
Muslimin, baik mereka Wahabi atau
tidak. Dan masih banyak yang tidak
menganut faham ini dalam kalangan
Masyumi. Tetapi pokok perjuangan
Islam, yaitu hanya takut semata-mata
kepada Allah dan anti kepada segala
macam penjajahan, termasuk Komunis,
adalah anutan dari mereka bersama!”
Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa
Buya HAMKA berhasil menelisik akar
terjadinya fitnah yang dialamatkan
kepada Wahabi. Ini menandakan vonis
“Faham Hitam” yang dituduhkan kepada
Wahabi pada dasarnya adalah modus
lama namun didesain dengan gaya baru
yang disesuaikan dengan kepentingan dan
arahan yang disetting oleh para Think
Tank “Gurita Kolonialisme Abad 21.”
Maka perhatikanlah apa yang pernah
diutarakan oleh Buya HAMKA dalam
pembahasan Islam dan Majapahit berikut
ini:
“Memang, di zaman Jahiliyah kita
bermusuhan, kita berdendam, kita tidak
bersatu! Islam kemudiannya adalah
sebagai penanam pertama dari jiwa
persatuan. Dan Kompeni Belanda
kembali memakai alat perpecahannya,
untuk menguatkan kekuasaannya.”
“Tahukah tuan, bahwasanya tatkala
Pangeran Dipenogero, Amirul
Mukminin Tanah Jawa telah dapat
ditipu dan perangnya dikalahkan, maka
Belanda membawa Pangeran Sentot Ali
Basyah ke Minangkabau buat
mengalahkan Paderi? Tahukah tuan
bahwa setelah Sentot merasa dirinya
tertipu, sebab yang diperanginya itu
adalah kawan sefahamnya dalam
Islam, dan setelah kaum Paderi dan
raja-raja Minangkabau memperhatikan
ikatan serbannya sama dengan ikatan
serban Ulama Minangkabau, sudi
menerima Sentot sebagai “Amir” Islam
di Minangkabau? Teringatkah tuan,
bahwa lantaran rahasia bocor dan
Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke
Bengkulu dan di sana beliau berkubur
buat selama-lamanya?”
“Maka dengan memakai faham Islam,
dengan sendirinya kebangsaan dan
kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi
dengan mengemukakan kebangsaan
saja, tanpa Islam, orang harus kembali
mengeruk, mengorek tambo lama, dan
itulah pangkal bala dan bencana!”
Kiranya, sepeninggal HAMKA, alangkah
laiknya jika Ummat Islam masih kenal
dan bisa mengimplementasikan apa yang
diutarakan Buya HAMKA dalam bukunya
tersebut. Dengan demikian, niscaya
Ummat Islam tidak perlu sampai menjadi
keledai yang terjerembab dalam lubang
yang dibuat oleh musuh-musuh Islam
dengan modus yang sama tetapi dalam
nuansa yang berbeda. Wallahu
A’lam. [voa-islam.com] Sabtu, 03 Dec
2011
(nahimunkar.com)

BID'AH DAN TASYABUH DI SEKITAR KITA


Oleh Agus Junaedi, M.Ag
Nubuwat Tentang Tasyabbuh
Berikut ini adalah salah satu hadits
tentang nubuwat akhir zaman yang
berkenaan dengan tasyabbuh pada
umat nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi wa Sallam:
ﻦﻋ ﻲِﺑَﺃ ٍﺪﻴِﻌَﺳ ِّﻱِﺭْﺪﺨْﻟﺍ ِﻦَﻋ
ﻰﻠﺻ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ،ﻢﻠﺳﻭ
:َﻝﺎَﻗ َّﻦُﻌَﺒْﺘَﺘَﻟ َﻦَﻨَﺳ ْﻦَﻣ َﻥﺎَﻛ
،ْﻢُﻜَﻠْﺒَﻗ ﺍًﺮْﺒِﺷ ،ٍﺮْﺒِﺸِﺑ ﺎًﻋﺍَﺭِﺫَﻭ
ٍﻉﺍَﺭِﺬِﺑ ﻰَّﺘَﺣ ْﻮَﻟ َﺮْﺤُﺟ ﺍﻮُﻠَﺧَﺩ ٍّﺐَﺿ
ْﻢُﻫﻮُﻤُﺘْﻌِﺒَﺗ :ﺎَﻨْﻠُﻗ ﺎَﻳ َﻝﻮُﺳَﺭ
ِﻪﻠﻟﺍ َﺩﻮُﻬَﻴْﻟﺍ ﻯَﺭﺎَﺼَّﻨﻟﺍَﻭ :َﻝﺎَﻗ
ْﻦَﻤَﻓ
"Sungguh diantara kalian akan
mengikuti apa-apa yang dilakukan
bangsa-bangsa terdahulu, selangkah
demi selangkah, sehasta demi sehasta
walau pun mereka memasuki lubang
biawak kamu akan mengikuti
mereka". Diantara para sahabat ada
yang bertanya "Ya, Rasululah apakah
yang dimaksud (di sini) adalah
pemeluk agama Yahudi dan
Nashrani ?" Rasulullah menjawab
"Siapa lagi (kalau bukan mereka)
(HR. Bukhari)
Makna Tasyabbuh
At-Tasyabbuh secara bahasa diambil
dari kata al-musyabahah yang
berarti meniru atau mencontoh,
menjalin atau mengaitkan diri, dan
mengikuti. At-Tasybih berarti
peniruan. Dan mutasyabihah berarti
mutamatsilat (serupa). Dikatakan
artinya serupa dengannya, meniru
dan mengikutinya.
Untuk memahami konsep tasyabuh
dalam tingkat sederhana, kita bisa
meminjam teori dasar dari ilmu
balaghah (susastra Arab) bagian
ilmu bayan tentang tasybih
(penyerupaan), yang didefinisikan
sebagai berikut;
ﻪﻴﺒﺸﺘﻟﺍ ﻮﻫ ﻕﺎﺤﻟﺇ ﺮﻣﺃ ﺮﻣﺄﺑ
ﻲﻓ ﻰﻨﻌﻣ ﺓﺍﺩﺄﺑ
Tasybih adalah menyerupakan
sesuatu dengan yang lain dalam satu
keadaan dengan mengunakan alat-
alat tertentu.
Contoh sederhana sebagai berikut;
ﺮﻤﻌﻟﺍ ﻞﺜﻣ ﻒﻴﻀﻟﺍ ﻭﺃ ﻒﻴﻄﻟﺎﻛ
ﺲﻴﻟ ﻪﻟ ﺔﻣﺎﻗﺇ
Umur itu bagaikan tamu atau laksana
hayalan, dia tidak menetap.
Dari contoh diatas, diserupakan
antara umur dengan tamu atau
hayalan dalam hal tidak
menetapnya. Sesuatu dengan yang
lainnya dapat dikatakan serupa
(tasyabbuh) jika memenuhi 4 rukun
pokok tasybih yaitu; musyabbah
(sesuatu yang diserupakan), sesuatu
yang diserupai (musabbah bih), sifat
atau keadaan yang diserupakan
(wajhu syibhi) dan lafadz yang
menunjukan keserupakan (adatu
tasybih). Pada contoh diatas,
rukunnya sebagai berikut;
1. Umur (ﺮﻤﻌﻟﺍ) sebagai musyabbah
(yang diserupakan)
2. Tamu atau hayalan ( ﻒﻴﻀﻟﺍ ﻭﺃ
ﻒﻴﻄﻟﺎﻛ) sebagai musyabbah biih
( yang diserupai)
3. Tidak menetap ( ﺲﻴﻟ ﻪﻟ ﺔﻣﺎﻗﺇ )
sebagai wajhu syibhi (keadaan atau
hal keserupaan)
4. Seperti ( ﻞﺜﻣ/ﻙ ) sebagai adatu tasybih
(alat menyerupakan)
Dari 4 rukun diatas, pada teks
(mantuq) tidak selamanya ke -4
rukun itu muncul, namun dalam
tataran konteks (mafhum) ke-4 nya
wajib dipenuhi. Konsep dasar inilah
yang perlu dijadikan dalam
memahami setiap tasyabbuh dalam
konteks sosiologis. Dari ke-4 rukun
tasybih tersebut yang menentukan
nilai dalam proses tasyabbuh adalah
wajhu syibhinya dalam artian baik
buruknya suatu tasybih paling
utama ditentukan oleh hal atau sifat
yang dijadikan penyerupaannya.
Oleh karena itu hadis nabi;
ْﻦَﻣ َﻪَّﺒَﺸَﺗ َﻮُﻬَﻓ ٍﻡْﻮَﻘِﺑ ْﻢُﻬْﻨِﻣ
Barang siapa yang menyerupai suatu
kaum maka dia termasuk kaum itu.
(H.R Abu Daud)
Hadits tersebut masih netral, dalam
artian suatu tasyabbuh belum
dikatakan apakah nilainya baik atau
buruk, tergantung hal apa yang
diserupakanya, apakah baik atau
buruk, meskipun yang diserupakan
itu antara mu'min dan kafir. Hadits
tersebut hanya menggambarkan
bahwa seseorang bisa dikatakan
segolongan, sekaum kalau memiliki
kesamaan wajhu sibhi, walaupun
secara generik dia berbeda.
Dalam menentukan wajhu syibhi
dari suatu tasybih, yang tidak
disebutkan wajhu sibhinya, maka
kita mesti memperhatikan indikator
(qarinah) dari suatu teks tersebut,
seperti pada hadits berikut,
ﺎَّﻨِﻣ َﺲْﻴَﻟ ْﻦَﻣ َﻪَّﺒَﺸَﺗ ِﻝﺎَﺟِّﺮﻟﺎِﺑ ْﻦِﻣ
ﺎَﻟَﻭ ِﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺍ ْﻦَﻣ َﻪَّﺒَﺸَﺗ
ِﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺎِﺑ ْﻦِﻣ ِﻝﺎَﺟِّﺮﻟﺍ ﺪﻤﺣﺃ) ،
ﻰﻧﺍﺮﺒﻄﻟﺍﻭ ﻦﺑﺍ ﻦﻋ (ﻭﺮﻤﻋ
Bukan umat kami (Islam) seorang
laki-laki seperti seorang perempuan,
atau seorang perempuan seperti laki-
laki. (H.R Ahmad, Thabrani dari Ibn
Amr)
Dalam teks hadits tersebut tidak
disebutkan wajhu sibhinya, namun
qarinahnya jelas yakni perkara yang
terlarang atau penegasian keadaan
( ﺲﻴﻟ ﺎﻨﻣ ), maka secara mafhum
terlarangnya tasyabuh antara pria
dan wanita adalah pada hal-hal
yang telah jelas secara syar'i
dibedakan, misalnya memakai
perhiasan, menutup aurat, dll. Jadi
maksud hadits tersebut adalah,
"seorang laki-laki yang memakai
perhiasan dari emas layaknya
perempuan bukan tergolong umat
Nabi Muhammad, begitu pula
seorang perempuan yang memakai
pakaian seperti laki-laki maka dia
bukan termasuk umat Nabi
Muhammad".
Pada hadits lain disebutkan,
ﺲﻴﻟ ﺎﻨِﻣ ﻦَﻣ ﻪَّﺒﺸَﺗ ﺎﻧﺮﻴﻐﺑ ، ﻻ
ﺍﻮُﻬَّﺒَﺸَﺗ ﻞﻫﺄﺑ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻥﺈﻓ
ﻢﻬَﻤﻴﻠﺴﺗ ُﺓﺭﺎﺷِﻹﺍ ﻊﺑﺎﺻﻷﺎﺑ
ِّﻒُﻛﻷﺍﻭ
Bukan umat kami (Islam) yang tidak
seperti muslim, maka janganlah
kalian menyerupai ahlul kitab (dalam
memberi penghormatan),
sesungguhnya jika mereka memberi
salam dengan mengangkat tangan
dan kain. (H.R Tirmidzi)
Dari hadits tersebut disebutkan
wajhu sibhinya yakni "memberi
penghormatan". Secara mafhum
hadits itu bermakna seorang tidak
disebut muslim jika memberi
penghormatan kepada manusia
sama dengan cara ahlul kitab
memberi penghormatan yakni
dengan mengangkat tangan atau
kain (benda).
Tasyabbuh yang dilarang dalam Al-
Quran dan As-Sunnah secara syar'i
adalah menyerupai orang-orang
kafir dalam segala bentuk dan
sifatnya, baik dalam aqidah,
peribadatan, kebudayaan, atau
dalam pola tingkah laku yang
menunjukkan ciri khas mereka
(kaum kafir).
Termasuk dalam tasyabbuh yaitu
meniru terhadap orang-orang yang
tidak shalih, walaupun mereka itu
dari kalangan kaum muslimin,
seperti orang-orang fasik, orang-
orang awam dan jahil, atau orang-
orang Arab (badui) yang tidak
sempurna diennya (keislamannya),
Oleh karena itu, segala sesuatu yang
tidak termasuk cirri khusus orang-
orang kafir, baik aqidahnya, adat-
istiadatnya, peribadatannya, dan hal
itu tidak bertentangan dengan nash-
nash serta prinsip- prinsip syari'at,
atau tidak dikhawatirkan akan
membawa kepada kerusakan, maka
tidak termasuk tasyabbuh yang
terlarang. Inilah pengertian secara
umum.
Pembagian Tasyabbuh dan
Hukumnya
Dalam konsepsi Islam, tasyabbuh
yang terlarang itu terbagi dua yaitu;
1. Tataran sosiologis, yakni
penyerupaan sesuatu dengan yang
lain yang secara hakekatnya
sesuatu itu mesti berbeda seperti
tasyabbuhnya laki-laki dan
perempuan, yang muda dengan
yang tua dll. Sebagaimana dalam
hadits berikut;
ﻥﺇ ﺮﻴﺧ ﻢﻜﺑﺎﺒﺷ ﻦﻣ ﻪﺒﺸﺗ
ﻢﻜﺧﻮﻴﺸﺑ ﻭ ﺮﺷ ﻢﻜﺧﻮﻴﺷ ﻦﻣ
ﻪﺒﺸﺗ ﻢﻜﺑﺎﺒﺷ ﻭ ﺮﺷ ﻢﻜﺋﺎﺴﻧ
ﻦﻣ ﻢﻜﻟﺎﺟﺮﺑ ﻪﺒﺸﺗ ﻭ ﺮﺷ
ﻢﻜﻟﺎﺟﺭ ﻦﻣ ﻪﺒﺸﺗ ﻢﻜﺋﺎﺴﻨﺑ
Sesungguhnya pemuda yang terbaik
diantara kalian adalah seperti orang
tua kalian (dewasa) dan dan sejelek-
jeleknya orang tua diantara kalian
adalah seperti anak muda kalian
(kekanak-kanakan), dan sejelek-
jeleknya wanita diantara kalian
adalah yang menyerupai laki-laki
kalian, dan sejelek-jeleknya laki-laki
kalian adalah yang menyerupai
wanita diantara kalian". (H.R
Baihaqi)
ﺎَّﻨِﻣ َﺲْﻴَﻟ ْﻦَﻣ َﻪَّﺒَﺸَﺗ ِﻝﺎَﺟِّﺮﻟﺎِﺑ ْﻦِﻣ
ﺎَﻟَﻭ ِﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺍ ْﻦَﻣ َﻪَّﺒَﺸَﺗ
ِﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺎِﺑ ْﻦِﻣ ِﻝﺎَﺟِّﺮﻟﺍ ﺪﻤﺣﺃ) ،
ﻰﻧﺍﺮﺒﻄﻟﺍﻭ ﻦﺑﺍ ﻦﻋ (ﻭﺮﻤﻋ
Bukan umat kami (Islam) seorang
laki-laki seperti seorang perempuan,
atau seorang perempuan seperti laki-
laki. (H.R Ahmad,Thabrani dari Ibn
Amr)
2. Tataran teologis, yakni
penyerupaan antara umat Islam
dengan luar Islam yang ditegaskan
dengan nash seperti tasyabbuhnya
muslim dengan ahlul kitab, dengan
orang musyrik, orang majusi,
munafik dll. Seperti contoh;
ﺲﻴﻟ ﺎﻨِﻣ ﻦَﻣ ﻪَّﺒﺸَﺗ ﺎﻧﺮﻴﻐﺑ ، ﻻ
ﺍﻮُﻬَّﺒَﺸَﺗ ﻞﻫﺄﺑ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻥﺈﻓ
ﻢﻬَﻤﻴﻠﺴﺗ ُﺓﺭﺎﺷِﻹﺍ ﻊﺑﺎﺻﻷﺎﺑ
ِّﻒُﻛﻷﺍﻭ
Bukan umat kami (Islam) yang tidak
seperti muslim, maka janganlah
kalian menyerupai ahlul kitab (dalam
memberi penghormatan),
sesungguhnya jika mereka memberi
salam dengan mengangkat tangan
dan kain. (H.R Tirmidzi)
Oleh karena itu ditinjau dari sisi
hukum, maka tasyabbuh dalam
bentuk umum memiliki beragam
nilai hukum yang meliputi semua
jenis tasyabbuh. Hukum umum
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Ada beberapa perkara dari
perbuatan tasyabbuh terhadap
orang-orang kafir bisa dihukumi
sebagai perbuatan syirik atau kufur;
seperti tasyabbuh dalam bidang
keyakinan, beberapa perkara
masalah ibadah, misalnya
tasyabbuh terhadap pemeluk agama
Yahudi, Nashrani, atau Majusi
dalam perkara-perkara yang
berhubungan dengan masalah
tauhid dan aqidah. Contohnya:
seperti ta'thil yakni menafikkan dan
mengkufuri nama-nama dan sifat-
sifat Allah Ta'ala, meyakini
kemanunggalan hamba dengan
Allah, taqdis (mensucikan) seorang
Nabi atau orang-orang shalih
kemudian berdoa serta beribadah
kepada mereka, berhukum dengan
syari'at dan perundang-undangan
buatan manusia. Maka bagi pelaku
semua itu kalau tidak syirik pasti
kufur hukumnya (haram).
2. Ada pula dari beberapa perbuatan
yang menjerumuskan kepada
perbuatan maksiat dan kefasikan.
Seperti taklid kepada adat-istiadat
atau budaya kafir. Contohnya,
seperti makan dan minum dengan
tangan kiri, laki-laki menyerupai
wanita (sisay) atau wanita yang
menyerupai laki-laki (tomboy) dan
lain sebagainya. Ini pun termasuk
yang diharamkan.
3. Tasyabbuh bisa dihukumi sebagai
perbuatan yang makruh bila timbul
keragu- raguan antara mubah atau
haram karena tidak ada kejelasan
hukum. Maksudnya, kadang-kadang
dalam beberapa masalah tingkah
laku, adat atau kebudayaan, serta
beberapa masalah keduniaan masih
diragukan kedudukan hukumnya.
Apakah masalah tersebut termasuk
suatu perkara yang dibenci ataukah
sesuatu yang mubah (dibolehkan).
Namun, demi menjaga agar seorang
muslim tidak terperosok, maka
dihukumi sebagai sesuatu yang
makruh.
4. Sebagian ada beberapa perkara
yang semata-mata merupakan
rekayasa materi murni dan tidak
akan menyebabkan kaum muslimin
tergiring untuk mengikuti kaum
kafir, sehingga bakal
membahayakan mereka. Demikian
juga dengan ilmu-ilmu murni
keduniaan yang tidak menyangkut
aqidah dan akhlak, maka semua ini
termasuk dalam perkara mubah.
5. Kadang-kadang kaum muslimin
harus mengambil manfaat dari ilmu-
ilmu murni keduniaan yang dimiliki
orang-orang kafir. Dan, yang
dimaksud dengan murni (bahtah)
adalah tidak mengandung unsur-
unsur atau tanda-tanda yang
bertentangan dengan nash-nash
atau kaidah-kaidah syar'i. Atau,
yang dapat menjerumuskan kaum
muslimin pada kehinaan dan
kekerdilan. Bila ketentuan tersebut
dipenuhi, maka bisa dimasukkan ke
dalam kategori mubah pula.
GOLONGAN-GOLONGAN YANG
TERLARANG DITASYABBUHI
Dengan menelaah dan mengkaji
nash-nash syar'i maka kita akan
dapat mengenali beberapa golongan
diluar islam yang terlarang untuk di
tasyabbuhi yaitu;
1. Orang Kafir
Secara umum bertasyabbuh kepada
orang-orang kafir, dengan tanpa
kecuali, adalah sangat terlarang.
Termasuk golongan ini adalah
orang-orang musyrik, pemeluk
agama Yahudi, Nashrani, Majusi,
Syaibah (Sabi'in), orang-orang
penganut ajaran Komunis, dan lain-
lain. Kita dilarang bertasyabbuh
terhadap setiap perkara yang
merupakan ciri khas orang kafir,
baik dalam ibadah, adat-istiadat,
maupun pakaian. Seperti sabda Nabi
kepada Abdullah bin Umar ra.
Ketika beliau melihatnya berpakaian
dengan dua pakaian berwarna
kuning keemasan, sabda beliau:
"Sesungguhnya pakaian ini adalah
dari orang-orang kafir, maka
janganlah kamu memakainya." Hal
ini merupakan dalil, bahwa jika
pakaian itu merupakan pakaian
khas orang-orang kafir maka
seorang muslim tidak boleh
memakainya.
2. Orang-orang Musyrik
Kita telah dilarang bertasyabbuh
terhadap cara ibadah mereka,
perayaan hari-hari besar mereka,
perbuatan-perbuatan mereka,
seperti muka'an wa tashdiyah yakni
beribadah dengan cara bersiul-siul
dan bertepuk tangan, minta syafaat
dan tawassul dengan makhluk
ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala
di dunia, bernadzar dan berkurban
di pekuburan, dan perbuatan-
perbuatan lainnya. Termasuk
perbuatan yang dilarang pula yakni
meninggalkan padang Arafat
sebelum maghrib (dalam berhaji)
sebab perbuatan tersebut
merupakan perbuatan kaum
musyrikin.
Para pendahulu kita (as-salafus
shalih) sangat membenci setiap
perkara yang merupakan ciri khas
milik orang-orang musyrik dan
semua yang termasuk perbuatan-
perbuatan mereka. Seperti kata
Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, ra. dan
yang lainnya:
"Barangsiapa yang membuat
bangunan di negeri orang-orang
musyrik serta membuat panji-panji
dan pataka-pataka (bendera
lambang komando) mereka hingga
akhir hayatnya, maka akan
dikumpulkan bersama mereka di
hari kiamat." (H.R Baihaqi)
Dan Ibnu Umar ra. membenci
meletakkan hiasan-hiasan di masjid
dan melarang dari hal tersebut serta
semua hal yang berhubungan
dengan masalah itu, karena
menurut beliau ra. bahwa hal itu
menyerupai patung-patung orang
musyrik. (H.R Ibnu Abi Syaibah)
3. Ahli Kitab
Yang dimaksud Ahli Kitab adalah
pemeluk agama Yahudi dan
Nashrani. Kita dilarang meniru
semua perkara yang merupakan ciri
khas pemeluk agama Yahudi dan
Nashrani, baik dalam bidang aqidah,
ibadah, adat-istiadat (budaya),
dalam berpakaian, atau hari-hari
besar mereka. Contohnya: membuat
bangunan di atas kuburan, dan
menjadikannya masjid,
menggantungkan gambar-gambar
(foto-foto), mengekspose wanita,
meninggalkan makan sahur,
menggantung atau memasang salib,
ikut memperingati dan merayakan
hari-hari besar mereka dan lain-
lain.
4. Pemeluk agama Majusi
Sebagian ciri khas pemeluk agama
Majusi adalah menyembah dan
beribadah kepada api (agama Sinto
Budha di Jepang), mensucikan raja-
raja dan para pembesar, mencukur
rambut bagian kuduk dan
membiarkan rambut bagian depan,
mencukur jenggot, memanjangkan
kumis, meniup peluit atau terompet,
dan memakai piring atau bejana
dari emas dan perak.
5. Bangsa Persia dan Romawi
Termasuk golongan ini tentu saja
Ahli Kitab, Majusi dan lainnya,
Persia dan Romawi. Kita juga telah
dilarang bertasyabbuh dengan hal-
hal yang merupakan ciri khas
mereka dalam peribadatan,
kebudayaan, cara dan tata tertib
keagamaan. Seperti, mengagungkan
dan mensucikan pembesar-
pembesar dan orang-orang
terhormat, mentaati pendeta (alim
ulama) dan rahib-rahib (orang-
orang shalih) yang mensyari'atkan
sesuatu yang tidak disyari'atkan
Allah, berlebih-lebihan serta
melampaui batas dalam beragama.
6. Orang-orang 'Ajam yang Bukan
Muslimin
Hal ini berdasarkan sabda Nabi
ketika beliau melarang seorang laki-
laki yang memakai sutera di bagian
bawah pakaiannya, dengan sabda
beliau: "Seperti orang 'Ajam (bukan
Arab, non Muslim, )." (H.R Abu
Daud), atau terhadap orang yang
menambahkan sutera di bagian
pundak pakaiannya, dengan
sabdanya: "Seperti orang 'Ajam
(bukan Arab, yang non
muslim,)" (H.R Abu Daud). Dan,
beliau juga melarang berdiri
menyambut pembesar sebagai
penghormatan. Bahkan, beliau
melarang perbuatan yang sama bagi
makmum terhadap imamnya
dengan alasan yang sama, sebab
dikhawatirkan mereka memahami
bahwa yang demikian itu adalah
salah satu cara penghormatan. Hal
itu sebagaimana dinyatakan dalam
asbabul wurud dari hadits tersebut,
bahwa yang demikian itu
bertasyabbuh dengan perbuatan
orang-orang 'Ajam yang berdiri
untuk menghormati kedatangan
pembesar-pembesar mereka. Hal
inilah yang dilarang, karena
bertasyabbuh dengan orang-orang
kafir 'Ajam. (H.R Muslim)
Perkara ini dikuatkan pula oleh
Umar bin Khattab ra. Beliau
melarang berpakaian seperti orang
'Ajam sebagaimana halnya terhadap
orang-orang musyrik. Beliau
menyampaikan larangan tersebut
dengan keras sekali. Demikian pula
dengan yang diisyaratkan oleh para
as-salaf ash-shalih.
7. Orang-orang Jahiliyah dan
Ahlinya
Kita juga telah dilarang dari segala
hal yang berbau jahiliyah, baik
dalam akhlak, ibadah, adat, maupun
syi'ar-syi'arnya. Seperti bertabarruj
bagi wanita, tidak berpakaian di
bawah terik matahari pada waktu
ihram sehingga dia meminta-minta
pakaian. Hal ini seperti yang
dilakukan oleh orang-orang Rafidlah
(Syi'ah) zaman sekarang ini. Semua
ini merupakan perbuatan jahiliyah
dan amalan orang-orang musyrik.
Demikian juga bertelanjang (tidak
memakai pakaian, yakni
menampakkan aurat, baik
keseluruhan maupun sebagian saja),
fanatik kebangsaan, berbangga-
bangga dengan kebangsawanan dan
mencela nasab, meratapi mayat dan
meminta hujan kepada bintang-
bintang (yakni berpendapat bahwa
hujan turun karena musim dan
bukan karena rahmat Allah). Nabi
telah membantah dan membatalkan
semua yang berbau jahiliyah dengan
Islam, baik pahamnya,
kebudayaannya, atau taklidnya
(ikut-ikutan tanpa ilmu), peraturan
dan perundang-undangannya, iklan-
iklan dan propaganda-
propagandanya.
8. Setan
Golongan lainnya yang terlarang
untuk dijadikan figur peniruan
(tasyabbuh) adalah setan (jin kafir).
Nabi telah menerangkan perbuatan-
perbuatan setan itu dan kita
dilarang menirunya. Seperti, makan
dan minum dengan tangan kiri.
Sebagaimana diriwayatkan oleh
Muslim dan lainnya: Bahwa Nabi
bersabda:
"Janganlah kalian makan dengan
tangan kiri dan jangan pula minum
dengannya (tangan kiri).
Sesungguhnya setan makan dengan
tangan kirinya dan minum
dengannya (tangan kiri pula)."
Tetapi sayangnya, perbuatan ini
banyak dilakukan di kalangan kaum
muslimin dengan menganggap
bahwa perbuatan itu adalah
perbuatan sepele, atau memang
karena ketakabburannya terhadap
kebenaran, serta iman meniru-niru
auliya'u setan (teman-teman setan)
dari golongan orang-orang kafir dan
fasik.
9. Orang-orang Arab Badui yang
Tidak Sempurna Agamanya
Mereka adalah orang-orang Badui
(Arab) yang jahil. Banyak orang-
orang Arab yang memakai hukum
perundang-undangannya berdasar
adat dan taklid (mengikuti nenek
moyang), tidak berdasarkan Islam
sama sekali. Semuanya itu
merupakan warisan jahiliyah,
bahkan ada orang-orang Arab Badui
yang fanatik terhadap adat-istiadat
dan kebudayaannya, doktrin-doktrin
hari-hari besar, taklid, serta
berbagai atribut lainnya meskipun
bertentangan dengan syari'at Islam.
Di antaranya, fanatik jahiliyah
(kebulatan tekad untuk
mempertahankan kejahiliyahan),
membangga-banggakan
kebangsawanan, mencela nasab,
menamakan maghrib dengan isya
dan menamakan isya dengan al-
atamah (kegelapan malam),
bersumpah untuk thalak,
menggantungkan thalak, tidak
menikah kecuali dengan anak
pamannya, dan adat-adat jahiliyah
lainnya.
Alasan Dilarangnya Tasyabbuh
Terhadap Orang Kafir
Telah disebutkan mengenai
terlarangnya bertasyabuh kepada
orang diluar islam terutama
menyangkut tasyabbuh dalam
bidang keyakinan, beberapa perkara
masalah ibadah, juga dari beberapa
perbuatan yang menjerumuskan
kepada perbuatan maksiat dan
kefasikan. Seperti taklid kepada
adat-istiadat atau budaya kafir.
Adapun penyebab timbulnya
larangan tersebut, diantaranya:
1. Semua perbuatan orang kafir pada
dasarnya dibangun di atas pondasi
kesesatan dlalalah dan kerusakan
fasad. Inilah sebenarnya titik tolak
semua perbuatan dan amalan
orang-orang kafir, baik yang bersifat
menakjubkan anda atau tidak, baik
yang dzahir (nampak, nyata)
kerusakannya ataupun terselubung.
Karena sesungguhnya yang menjadi
dasar semua aktivitas orang- orang
kafir adalah dlalal (sesat), inhiraf
(menyeleweng dari kebenaran), dan
fasad (rusak). Baik dalam aqidah,
adat-istiadat, ibadah, perayaan-
perayaan hari besar, ataupun dalam
pola tingkah lakunya. Adapun
kebaikan yang mereka perbuat
hanyalah merupakan suatu
pengecualian saja. Oleh karena itu
jika ditemukan pada mereka
perbuatan-perbuatan baik, maka di
sisi Allah tidak memberi arti apapun
baginya dan tidak diberi pahala
sedikitpun. Sebagaimana firman
Allah: "Dan Kami hadapi amal yang
mereka kerjakan kemudian Kami
jadikan amal itu (bagaikan) debu
yang beterbangan." (QS. Al- Furqan:
23)
2. Dengan bertasyabbuh terhadap
orang kafir, maka seorang muslim
akan menjadi pengikut mereka.
Yang berarti dia telah menentang
atau memusuhi Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan Rasul-Nya . Dan dia
akan mengikuti jalur orang-orang
yang tidak beriman. Padahal dalam
perkara ini terdapat peringatan yang
sangat keras sekali, sebagaimana
Allah berfirman: "Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas
datang kepadanya petunjuk dan
mengikuti jalannya orang- orang
yang tidak beriman, Kami biarkan ia
leluasa dengan kesesatannya (yakni
menentang Rasul dan mengikuti
jalan orang-orang kafir, pen.)
kemudian Kami seret ke dalam
Jahannam. Dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat
kembali." (QS. An-Nisa' 4:115)
3. Hubungan antara sang peniru
dengan yang ditiru seperti yang
terjadi antara sang pengikut dengan
yang diikuti yakni penyerupaan
bentuk yang disertai kecenderungan
hati, keinginan untuk menolong
serta menyetujui semua perkataan
dan perbuatannya. Dan sikap itulah
yang menjadi bagian dari unsur-
unsur keimanan, di mana seorang
muslim tidak diharapkan untuk
terjerumus ke dalamnya. Sebagian
besar tasyabbuh mewariskan rasa
kagum dan mengokohkan orang-
orang kafir. Dari sana timbullah
rasa kagum pada agama,
kebudayaan, pola tingkah laku,
perangai, semua kebejatan dan
kerusakan yang mereka miliki.
Kekagumannya kepada orang kafir
tersebut akan berdampak
penghinaan kepada As-Sunnah,
melecehkan kebenaran serta
petunjuk yang dibawa Rasulullah
dan para salafush shalih. Karena
barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum pasti sepakat dengan fikrah
(pemikiran) mereka dan ridla
dengan semua aktivitasnya. Inilah
bentuk kekaguman terhadap
mereka. Sebaliknya, ia tidak akan
merasa kagum terhadap semua hal
yang bertentangan dengan apa yang
dikagumi tersebut.
4. Musyabbahah (meniru-niru) itu
mewariskan mawaddah (kasih
sayang), mahabbah (kecintaan), dan
mawalah (loyalitas) terhadap orang-
orang yang ditiru tesebut. Karena
bagi seorang muslim jika meniru
dan mengikuti orang- orang kafir,
tidak bisa tidak, dalam hatinya ada
rasa ilfah (akrab dan bersahabat)
dengan mereka. Dan rasa akrab dan
bersahabat ini akan tumbuh
menjadi mahabbah (cinta), ridla
serta bersahabat kepada orang-
orang yang tidak beriman. Dan
akibatnya dia akan menjauh dari
orang-orang yang shalih, orang-
orang yang bertakwa, orang-orang
yang mengamalkan As-Sunnah, dan
orang-orang yang lurus dalam
berislam. Hal tersebut merupakan
suatu hal yang naluriah, manusiawi
dan dapat diterima oleh setiap orang
yang berakal sehat. Khususnya jika
muqallid (si pengikut) merasa
sedang terkucil atau sedang
mengalami kegoncangan jiwa. Pada
saat yang demikian itu apabila ia
mengikuti yang lainnya, maka ia
akan merasa bahwa yang diikutinya
agung, akrab bersahabat, dan terasa
menyatu dengannya. Kalau tidak,
maka keserupaan lahiriah saja
sudah cukup baginya. Keserupaan
lahiriah ini direfleksikan ke dalam
bentuk kebudayaan dan tingkah
laku. Dan tidak bisa tidak, kelak
akan berubah menjadi penyerupaan
batin. Hal ini merupakan proses
yang wajar dan dapat diterima oleh
setiap orang yang mau mengamati
permasalahan ini dalam pola
tingkah laku manusia (human
being). Sebagaimana kalau
seseorang bepergian ke negeri lain
maka ia akan menjadi orang asing di
sana. Jika dia bertemu dengan
seseorang yang berpakaian sama
dengan pakaiannya, kemudian
berbicara dengan bahasa yang sama
pula pasti akan timbul mawaddah
(cinta) dan ilfah (rasa akrab
bersahabat) lebih banyak dibanding
kalau di negeri sendiri. Jadi apabila
seseorang merasa serupa dengan
lainnya, maka rasa persamaan ini
akan membekas di dalam hatinya.
Ini dalam masalah yang biasa. Lalu
bagaimana jika seorang muslim
menyerupakan diri dengan orang-
orang kafir karena kagum kepada
mereka? Dan memang inilah yang
kini banyak terjadi. Suatu hal yang
tidak mungkin, seorang muslim
bertaklid dan menokohkan orang
kafir kalau tidak berawal dari rasa
kagum, kemudian disusul dengan
keinginan untuk mengikuti,
mencontoh, dan akhiranya
menumbuhkan rasa cinta yang
mendalam yang disertai dengan
sikap loyalitas yang tinggi. Hal itu
bisa dilihat pada masa sekarang di
mana banyak muslim yang bergaya
hidup kebarat-baratan.
5. Bertasyabbuh terhadap orang-orang
kafir pada dasarnya akan
menjerumuskan kepada kehinaan,
kelemahan, kekerdilan (rendah diri),
dan kekalahan. Oleh karena itu
sikap bertasyabbuh dilarang keras.
Demikianlah yang terjadi pada
sebagian besar orang-orang yang
mengikuti orang-orang kafir
sekarang ini.

As Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz

Syaikh Bin Baz, menurut Syaikh Muqbil Bin
Hadi Al Wadi’i, adalah seorang tokoh ahli
fiqih yang diperhitungkan di jaman kiwari
ini, sebagaimana Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani juga seorang ulama
ahlul hadits yang handal masa kini. Untuk
mengenal lebih dekat siapa beliau, mari kita
simak penuturan beliau mengungkapkan
data pribadinya berikut ini.
Syaikh mengatakan, “Nama lengkap saya
adalah Abdul ‘Aziz Bin Abdillah Bin
Muhammad Bin Abdillah Ali (keluarga) Baz.
Saya dilahirkan di kota Riyadh pada bulan
Dzulhijah 1330 H. Dulu ketika saya baru
memulai belajar agama, saya masih bisa
melihat dengan baik. Namun qodarullah
pada tahun 1346 H, mata saya terkena
infeksi yang membuat rabun. Kemudian
lama-kelamaan karena tidak sembuh-
sembuh mata saya tidak dapat melihat sama
sekali. Musibah ini terjadi pada tahun 1350
Hijriyah. Pada saat itulah saya menjadi
seorang tuna netra. Saya ucapkan
alhamdulillah atas musibah yang menimpa
diri saya ini. Saya memohon kepada-Nya
semoga Dia berkenan menganugerahkan
bashirah (mata hati) kepada saya di dunia
ini dan di akhirat serta balasan yang baik di
akhirat seperti yang dijanjikan oleh-Nya
melalui nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam atas musibah ini. Saya juga
memohon kepadanya keselamatan di dunia
dan akhirat.
Mencari ilmu telah saya tempuh semenjak
masa anak-anak. Saya hafal Al Qur’anul
Karim sebelum mencapai usia baligh.
Hafalan itu diujikan di hadapan Syaikh
Abdullah Bin Furaij. Setelah itu saya
mempelajari ilmu-ilmu syariat dan bahasa
Arab melalui bimbingan ulama-ulama kota
kelahiran saya sendiri. Para guru yang
sempat saya ambil ilmunya adalah:
Syaikh Muhammad Bin Abdil Lathif Bin
Abdirrahman Bin Hasan Bin Asy Syaikh
Muhammad Bin Abdul Wahhab, seorang
hakim di kota Riyadh.
Syaikh Hamid Bin Faris, seorang pejabat
wakil urusan Baitul Mal, Riyadh.
Syaikh Sa’d, Qadhi negeri Bukhara, seorang
ulama Makkah. Saya menimba ilmu tauhid
darinya pada tahun 1355 H.
Samahatus Syaikh Muhammad Bin Ibrahim
Bin Abdul Lathief Alu Syaikh, saya
bermuzalamah padanya untuk mempelajari
banyak ilmu agama, antara lain: aqidah,
fiqih, hadits, nahwu, faraidh (ilmu waris),
tafsir, sirah, selama kurang lebih 10 tahun.
Mulai 1347 sampai tahun 1357 H.
Semoga Allah membalas jasa-jasa mereka
dengan balasan yang mulia dan utama.
Dalam memahami fiqih saya memakai
thariqah (mahdzab -red) Ahmad Bin Hanbal
[1] rahimahullah. Hal ini saya lakukan bukan
semata-mata taklid kepada beliau, akan
tetapi yang saya lakukan adalah mengikuti
dasar-dasar pemahaman yang beliau
tempuh. Adapun dalam menghadapi ikhtilaf
ulama, saya memakai metodologi tarjih,
kalau dapat ditarjih dengan mengambil dalil
yang paling shahih. Demikian pula ketika
saya mengeluarkan fatwa, khususnya bila
saya temukan silang pendapat di antara
para ulama baik yang mencocoki pendapat
Imam Ahmad atau tidak. Karena AL HAQ
itulah yang pantas diikuti. Allah berfirman
(yang artinya -red), “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu
maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah) jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (An Nisa:59)”
TUGAS-TUGAS SYAR’I
” Banyak jabatan yang diamanahkan kepada
saya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Saya pernah mendapat tugas
sebagai:
Hakim dalam waktu yang panjang, sekitar 14
tahun. Tugas itu berawal dari bulan Jumadil
Akhir tahun 1357 H.
Pengajar Ma’had Ilmi Riyadh tahun 1372 H
dan dosen ilmu fiqih, tauhid, dan hadits
sampai pada tahun 1380 H.
Wakil Rektor Universitas Islam Madinah
pada tahun 1381-1390 H.
Rektor Universitas Islam Madinah pada
tahun 1390 H menggantikan rektor
sebelumnya yang wafat yaitu Syaikh
Muhammad Bin Ibrahim Ali Syaikh. Jabatan
ini saya pegang pada tahun 1389 sampai
dengan 1395 H.
Pada tanggal 13 bulan 10 tahun 1395 saya
diangkat menjadi pimpinan umum yang
berhubungan dengan penelitian ilmiah,
fatwa-fawa, dakwah dan bimbingan
keagamaan sampai sekarang. Saya terus
memohon kepada Allah pertolongan dan
bimbingan pada jalan kebenaran dalam
menjalankan tugas-tugas tersebut.
Disamping jabatan-jabatan resmi yang
sempat saya pegang sekarang, saya juga
aktif di berbagai organisasi keIslaman lain
seperti:
Anggota Kibarul Ulama di Makkah.
Ketua Lajnah Daimah (Komite Tetap)
terhadap penelitian dan fatwa dalam
masalah keagamaan di dalam lembaga
Kibarul Ulama tersebut.
Anggota pimpinan Majelis Tinggi Rabithah
‘Alam Islami.
Pimpinan Majelis Tinggi untuk masjid-
masjid.
Pimpinan kumpulan penelitian fiqih Islam di
Makkah di bawah naungan organisasi
Rabithah ‘Alam Islami.
Anggota majelis tinggi di Jami’ah Islamiyah
(universitas Islam -red), Madinah.
Anggota lembaga tinggi untuk dakwah Islam
yang berkedudukan di Makkah.
Mengenai karya tulis, saya telah menulis
puluhan karya ilmiah antara lain:
Al Faidhul Hilyah fi Mabahits Fardhiyah.
At Tahqiq wal Idhah li Katsirin min Masailil
Haj wal Umrah Wa Ziarah (Tauhdihul
Manasik – ini yang terpenting dan
bermanfaat – aku kumpulkan pada tahun
1363 H). Karyaku ini telah dicetak ulang
berkali-kali dan diterjemahkan ke dalam
banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia
-pent).
At Tahdzir minal Bida’ mencakup 4
pembahasan (Hukmul Ihtifal bil Maulid Nabi
wa Lailatil Isra’ wa Mi’raj, wa Lailatun Nifshi
minas Sya’ban wa Takdzibir Ru’yal
Mar’umah min Khadim Al Hijr An Nabawiyah
Al Musamma Asy Syaikh Ahmad).
Risalah Mujazah fiz Zakat was Shiyam.
Al Aqidah As Shahihah wama Yudhadhuha.
Wujubul Amal bis Sunnatir Rasul Sholallahu
‘Alaihi Wasallam wa Kufru man Ankaraha.
Ad Dakwah Ilallah wa Akhlaqud Da’iyah.
Wujubu Tahkim Syar’illah wa Nabdzu ma
Khalafahu.
Hukmus Sufur wal Hijab wa Nikah As Sighar.
Naqdul Qawiy fi Hukmit Tashwir.
Al Jawabul Mufid fi Hukmit Tashwir.
Asy Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab
(Da’wah wa Siratuhu).
Tsalatsu Rasail fis Shalah: Kaifa Sholatun
Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, Wujubu
Ada’is Shalah fil Jama’ah, Aina Yadha’ul
Mushalli Yadaihi hinar Raf’i minar Ruku’.
Hukmul Islam fi man Tha’ana fil Qur’an au fi
Rasulillah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
Hasyiyah Mufidah ‘Ala Fathil Bari – hanya
sampai masalah haji.
Risalatul Adilatin Naqliyah wa Hissiyah ‘ala
Jaryanis Syamsi wa Sukunil ‘Ardhi wa
Amakinis Su’udil Kawakib.
Iqamatul Barahin ‘ala Hukmi man Istaghatsa
bi Ghairillah au Shaddaqul Kawakib.
Al Jihad fi Sabilillah.
Fatawa Muta’aliq bi Ahkaml Haj wal Umrah
wal Ziarah.
Wujubu Luzumis Sunnah wal Hadzr minal
Bid’ah.”
Sampai di sini perkataan beliau yang saya
(Ustadz Ahmad Hamdani -red) kutip dari
buku Fatwa wa Tanbihat wa Nashaih hal
8-13.
AKIDAH DAN MANHAJ DAKWAH
Akidah dan manhaj dakwah Syaikh ini
tercermin dari tulisan atau karya-karyanya.
Kita lihat misalnya buku Aqidah Shahihah
yang menerangkan aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, menegakkan tauhid dan
membersihkan sekaligus memerangi
kesyirikan dan pelakunya. Pembelaannya
kepada sunnah dan kebenciannya terhadap
kebid’ahan tertuang dalam karya beliau yang
ringkas dan padat, berjudul At Tahdzir ‘alal
Bida’ (sudah diterjemahkan -pent).
Sedangkan perhatian (ihtimam) dan
pembelaan beliau terhadap dakwah
salafiyah tidak diragukan lagi. Beliaulah
yang menfatwakan bahwa firqatun najiyah
(golongan yang selamat -red) adalah para
salafiyyin yang berpegang dengan kitabullah
dan sunnah Nabi Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam dalam hal suluk (perilaku) dan
akhlaq serta aqidah. Beliau tetap gigih
memperjuangkan dakwah ini di tengah-
tengah rongrongan syubhat para da’i
penyeru ke pintu neraka di negerinya
khususnya dan luar negeri beliau pada
umumnya, hingga al haq nampak dan
kebatilan dilumatkan. Agaknya ini adalah
bukti kebenaran sabda Nabi Sholallahu
‘Alaihi Wasallam (yang artinya), “Akan tetap
ada pada umatku kelompok yang
menampakkan kebenaran (al haq), tidak
memudharatkan mereka orang yang mencela
atau menyelisihinya”
Foot note:
[1] Mahdzab secara istilah yakni mengikuti
istilah-istilah Ahmad Bin Hanbal dalam
mempelajari masalah fiqih atau hadits.
Bukan Mahdzab syakhsyi yaitu mengambil
semua hadits yang diriwayatkannya.
Sumber: SALAFY Edisi XXV/1418 H/1998 M
hal 48-49
Judul Asli: “Syaikh Bin Baz Mutjahid dan Ahli
Fiqih Jaman Ini”
WAFAT BELIAU (Keterangan tambahan)
Beliau wafat pada hari Kamis, 27 Muharram
1420 H / 13 Mei 1999 M. Semoga Allah
Subhanahu Wata’ala merahmatinya. Amin.
Sumber keterangan tambahan:
www.fatwaonline.com
http://ghuroba.blogsome.com