Wednesday, December 26, 2012

Hakikat Syi'ah

Almarhum Gus Dur [1] dulu
pernah mengatakan Nahdlatul
Ulama (NU) itu Syiah minus
Imamah, Syiah itu NU plus
Imamah. Bukan tanpa alasan
statemen itu dilontarkan,
memang NU dan Syiah secara
budaya memiliki banyak
kesamaan. Di Indonesia
pendakwah ajaran Islam tak
dapat dipastikan apakah Sunni
atau Syiah yang datang terlebih
dahulu, sebagaimana madzhab
leluhur para habib di
Hadramaut yang masih
diperdebatkan apakah Sunni,
Syiah atau bahkan membuat
madzhab sendiri. Karena itulah
budaya, simbol-simbol Syiah
melekat kuat dengan budaya
Sunni di Indonesia. Kecintaan
akan keluarga Nabi saw
melekat dengan erat, di
antaranya; pujian, tawasulan
pada para imam Syiah
termaktub dalam syair-syair,
tarian, dll; hikayat dan cerita
kepahlawanan keluarga Nabi
saw; tradisi-tradisi yang mirip
dengan budaya Syiah, seperti
tabot, tahlil arwah hari ke-n,
rabo wekasan, primbon,
larangan berhajat di bulan
suro; istilah-istilah keagamaan,
dsb seperti syuro, kenduri,
bahkan penamaan hal-hal
berbau (maaf) seks pun dengan
nama keluarga nabi, seperti
tongkat Ali atau rumput
Fatimah (padahal kalau
menyesuaikan nama aslinya
seharusnya terjemahnya
adalah tangan Maryam). [2]
NU sebagai salah satu
mainstream Sunni di Indonesia
menghormati, mengagungkan
dan mentaati keturunan Nabi
saw, demikian halnya dengan
Syiah, bahkan jika mereka
berbuat salah pun mereka
tetap menaati dan tunduk
karena takut kualat, dan
sebagainya. Ingat skandal
habib pemimpin majelis
terbesar kedua di Jakarta?. NU
mengenang dan membacakan
manaqib para leluhur guru,
kyai-kyai mereka dan
mengadakan haul kewafatan
mereka. Begitu juga dengan
Syiah. Dalam mengatasi ayat-
ayat mutasyabihat berkenaan
dengan Tuhan, kedua golongan
ini sama-sama menakwilkan
sesuai dengan posisi Tuhan,
bukan memakai arti lahiriah
ayat tersebut. Jika dalam NU
ada saudara mereka yang
meninggal, mereka
mendoakannya dalam acara
tersendiri, tahlilan. Begitu juga
dengan Syiah. NU mengajarkan
kebolehan tawasul dengan
orang-orang 'suci' mereka,
begitu pula dengan Syiah. NU
menganggap orang-orang suci
mereka tetap hidup meski
sudah meninggal dan
menziarahi kuburan mereka
untuk bertawasul dan
bertabarruk. NU mengenal
tabaruk dengan benda-benda
peninggalan atau pemberian
orang 'suci' sama halnya
dengan Syiah. Poin-poin
terakhir di atas itulah yang
membuat golongan muslim
kecil imporan naik darah lantas
mengkafir-musyrikan dan siap-
siap menghunuskan pisau
untuk mengalirkan darah
penganut NU dan Syiah untuk
taqarub kepada Allah.
Dua golongan ini, NU dan Syiah
memang memiliki banyak
kesamaan. Kedua-keduanya
sudah dicap sesat dan kafir
oleh kelompok Islam kecil
lainnya. Tak jarang untuk
mengadu domba dan
mempertajam perseteruan
kedua kelompok ini dan, Syiah
dan Sunni, ada oknum yang
mengaburkan, mengganti
bahkan menghilangkan
redaksi-redaksi dalam kitab-
kitab rujukan Sunni-Syiah [3] .
Masalah yang seringkali
dibentrokkan dengan golongan
Sunni adalah imamah Ali dan
11 keturunannya, tahrif al-
Quran, doktrin keadilan
sahabat nabi, nikah mut’ah,
taqiyah, dll.
Keimamahan ahli bayt
merupakan salah satu rukun
dalam Syiah. Namun bukan
berarti orang yang tidak
meyakini dan mengikutinya
kafir. Begitulah yang dikatakan
para imam Syiah. Imam Abu
Ja'far, Muhammad Al-Baqir as,
berkata, seperti tercantum
dalam Shahih Hamran bin
A'yan: "Agama Islam dinilai
dari segala yang tampak dari
perbuatan dan ucapan. Yakni
yang dianut oleh kelompok-
kelompok kaum Muslim dari
semua firqah (aliran). Atas
dasar itu terjamin nyawa
mereka, dan atas dasar itu
berlangsung pengalihan harta
warisan. Dengan itu pula
dilangsungkan hubungan
pernikahan. Demikian pula
pelaksanaan shalat, zakat,
puasa, dan haji. Dengan semua
itu mereka keluar dari
kekufuran dan dimasukkan ke
dalam keimanan."
Mengenai tahrif al-Quran,
umat Islam sepakat bahwa hal
ini merupakan masalah besar.
Siapapun yang meyakini
bahwa al-Quran telah berubah,
baik kurang atau ditambah,
maka dihukumi kafir.
Sayangnya, pengeritik dan
pencela Syiah tidak melihat
langsung kondisi sebenarnya di
Iran, melihat langsung al-
Quran-quran yang tersebar
seantero Iran yang sama
dengan yang dibawa umat
Islam lainnya. Masih ingat
dengan “Mukjizat Abad 20:
Doktor Cilik Hafal dan Paham
Al-Quran” yang best seller di
Indonesia, Masih sama kan
dengan al-Quran yang dibaca
dan dihafal kelompok Sunni?.
Adapun riwayat-riwayat hadits,
sahabat atau ulama yang
mengatakan adanya tahrif al-
Quran sebenarnya juga
bertebaran tak hanya di kitab-
kitab Syiah saja tapi juga ada di
kitab-kitab Sunni. Itupun ada
yang belum dipastikan sahih
riwayatnya atau tidak dan juga
tidak menjustifikasi si empunya
kitab sebagai penganut tahrif,
bahkan mungkin ia menolak
mentah-mentah. [4] Jika ada
oknum di suatu golongan yang
meyakini tahrif, maka itu tidak
menegaskan semua golongan
itu meyakini tahrif. Baik Sunni
maupun Syiah mempunyai
oknum yang meyakini adanya
tahrif tersebut. Kalau dalam
Syiah penganut tahrif al-Quran
disebut kelompok Akhbari.
Adapun pendukung tahrif di
Sunni, pernahkan anda
membaca cerita Ibnu
Syanbudz dan pengikutnya,
ulama besar Sunni ahli al-
Quran? [5]
Adapun masalah sahabat, yang
perlu dipertanyakan adalah
apakah meyakini semua
sahabat Nabi saw itu udul
adalah bagian dari iman atau
tidak. Jika iya, dan mereka
yang mencela, mengkritik dan
melaknat sahabat adalah kafir.
Maka bagaimana dengan para
sahabat itu sendiri yang saling
mencela melaknat bahkan
membunuh sahabat lainnya.
Apa mereka kafir? Jika anda
mempelajari sejarah Islam
maka akan anda temukan
banyak riwayat valid seperti
itu di hampir semua kitab-kitab
sejarah umat Islam, baik Sunni
maupun Syiah. Jika
menunjukkan dan
mengungkapkan kejelekan dan
keburukan sahabat merupakan
dosa besar, maka hampir
semua pengarang kitab hadits
dan sejarah termasuk orang
yang berdosa besar. Maka tak
heran jika ada ulama besar
hadits yang menganjurkan
untuk menutupi hal-hal
tersebut untuk menjaga doktrin
sahabat itu wajib adil. [6]
Dengan dasar konsep semua
sahabat udul itu pula semua
peristiwa hitam dan kelam
perseteruan sahabat
ditafsirkan dan dijelaskan.
Sayyidah Fatimah tidak pernah
marah pada Abu Bakr karena
soal perampasan tanah Fadak,
fitnah yang terjadi diantara
para sahabat di masa Utsman
dikarenakan provokasi orang
Yahudi, bahkan perang yang
terjadi antara Ali as dengan
Aisyah, Thalhah dan Zubair
adalah karena provokasi
Yahudi tersebut. Tak hanya itu,
terkadang kejelekan yang
dilakukan oleh para sahabat
ditutupi secara halus. Jika ada
riwayat yang menyebutkan
nama sahabat yang berbuat
buruk, maka diganti dengan
fulan, si a, dll. Jika ada
perbuatan atau perkataan
buruk sahabat maka ditulis
kadza, sesuatu, dll.
Fitnah buruk lain yang
disematkan pada Syiah adalah
Syiah mengkafirkan semua
sahabat, kecuali 3 orang. Jika
Syiah mengkafirkan semua
sahabat, lantas siapa yang
membantu Ali dalam perang
melawan Aisyah, Thalhah,
Zubair, madzhab Khawarij,
dan Muawiyah. Mau
dikemanakan para sahabat
nabi yang mati demi membela
Islam dan keluarga Nabi saw?
Bagi Syiah sahabat Nabi saw
ada yang baik dan ada juga
yang buruk. Mereka yang
buruk tidak perlu diikuti. Syiah
tidak sekedar menuduh jelek
seorang sahabat tapi
mempunyai bukti valid atas
keburukan sahabat tersebut.
Syiah pembohong, pendusta
karena Syiah menganut doktrin
taqiyah. Begitulah yang sering
dilontarkan oleh pembenci
Syiah. Demikian lekatnya
doktrin taqiyah pada golongan
Syiah dan tuduhan jeleknya
sampai-sampai ada guyonan
tentang taqiyah golongan Syiah
di dunia maya.[7] Tapi,
bagaimana kalau anda
ditempatkan pada posisi Syiah.
Anda akan dibunuh jika
mengungkapkan keyakinan
anda yang sebenarnya, apa
yang akan anda lakukan?
Begitulah awal mula taqiyah
sebenarnya. Begitulah tindakan
Ammar bin Yasir menghadapi
siksaan kaum Quraisy.
Begitulah tindakan penganut
Syiah selama kurang lebih
seabad di masa kerajaan
Umayyah. Mereka dibatasi
gerakannya, diburu, dan
dibunuh bila ketahuan
mengikuti jejak Ahli Bait.
Bahkan Hasan al-Basri pun
dalam meriwayatkan hadis
dari Ali as, tidak menyebutkan
namanya dalam periwayatan
karena kondisi waktu itu yang
tidak memungkinkan. Jika
demikian apa anda setuju
taqiyah?
Anda menyamakan mut’ah
dengan zina, maka anda salah
besar. Ibnu Abbas sampai buta
mata dan wafat pun tidak
pernah melarang mut’ah atau
mencabut pendapatnya
tersebut. Karena itulah murid-
murid Ibnu Abbas meneruskan
pendapatnya. Di antara
mereka adalah Ibnu Juraij, Said
bin Jubair, Atha’, Mujahid,
bahkan ada pula riwayat yang
menyebutkan bahwa Imam
Malik membolehkan nikah
Mut’ah. Jika Syiah meyakini
mut’ah masih diperbolehkan,
apakah anda akan memprotes?
Toh, menurut Syiah mut’ah
tetap diperbolehkan Nabi saw
dan yang melarang adalah
Umar di masa kekhalifahannya
dan riwayat tersebut ada di
kitab-kitab golongan Sunni dan
Syiah. [8]
Semua poin-poin di atas, baik
tuduhan Sunni atau bantahan
Syiah terus saja diulang-ulang
sepanjang sejarah Islam,
namun semuanya hanya
sekedar tulisan tanpa ada
upaya untuk menjaga
kedamaian ukhuwah islamiyah
seakan-akan ada pihak-pihak
luar dan dalam yang sengaja
menjaga kestabilan perpecahan
umat muslim. Akhirnya semua
itu berpulang ke dalam diri
anda. seorang hakim harus
mendengarkan dua pihak yang
bersengketa baru memutuskan
masalahnya, bukan langsung
justifikasi tanpa bertabayun
terlebih dahulu. Bukan sekedar
cukup menjadi juru dakwah,
pemimpin majelis dengan
jutaan pengikut, atau tukang
khutbah mingguan untuk dapat
menjustifikasi sekelompok
orang menjadi sesat, kafir dan
musyrik, diperlukan sikap yang
arif, objektif, ilmiah dan
berlaku adil dalam menanggapi
saudara sesama muslim yang
berbeda pandangan dengan
kita.
“Tidaklah seseorang
melemparkan tuduhan kepada
yang lain dengan kefasikan,
dan tidak pula melemparkan
tuduhan kepada yang lain
dengan kekafiran, melainkan
hal itu akan kembali
kepadanya apabila yang
dituduh ternyata tidak
demikian”. Wa Allah a’laam.
Salam damai, :)
(dari berbagai sumber air)
[1] Dibanding dengan kakeknya, Gus
Dur begitu dekat dengan golongan
Syiah. Ketika terjadi revolusi Iran, Gus
Dur mengatakan “Khumayni waliyullah
terbesar abad ini” yang menimbulkan
kontroversi di kalangan NU, bahkan
dalam sebuah diskusi Gus Dur juga
mempersilakan warga NU untuk
masuk ke madzhab Syi’ah. Sedang
K.H. Hasyim Asy’ari ‘menyindir’ Syiah
dalam Muqadimah Qanun Asasi
Nahdlatul Ulama menyebutkan
“Sampaikan secara terang-terangan
apa yang diperintahkan Allah
kepadamu, agar bid’ah-bid’ah
terberantas dari semua orang.
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila
fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul
dan sahabat-sahabatku di caci maki,
maka hendaklah orang-orang alim
menampilkan ilmunya. Barang siapa
tidak berbuat begitu, maka dia akan
terkena laknat Allah, laknat malaikat
dan semua orang.” Bahkan beliau juga
melarang santri-santrinya membaca
kitab-kitab Syiah, seperti Naylul
Authar, Subulus Salam. Perbedaan
pandangan tersebut merupakan
sesuatu yang galib dalam dunia
keilmuan. Imam Ja’far al-Sadiq as
mempunyai murid Imam Hanafi yang
membuat madzhab sendiri, Imam
Malik juga mempunyai murid Imam
Syafii, yang mempunyai pendapat
berbeda dengan gurunya, bahkan
konon gara-gara perbedaan dengan
gurunya tersebut Imam Syafi’i
meninggal dipukul oleh pengikut
Maliki. Said Aqil Siradj yang lulusan
pendidikan Saudi pun menjadi
pembela Syiah, padahal Saudi secara
politik dan budaya menganut faham
Wahabi yang jelas-jelas menolak
bahkan mengkafirkan Syiah. Pendapat
KH. Ahmad Dahlan juga berbeda
dengan pendapat majelis tarjih
Muhammadiyah sesudahnya, beliau
memakai qunut subuh, tarawih 20
rakaat, mengucap usholi dalam niat
shalat, dll.
[2] Bahwa upacara peringatan orang
mati/tahlil pada hari ke-3, ke-7,
ke-40, ke-100, dan ke-1000, termasuk
khaul, adalah tradisi khas yang jelas-
jelas terpengaruh faham Syiah. Dalam
tahlil dimulai dengan bacaan al-
Fatihah kepada Nabi saw dan roh-roh
si mati. Amalan ini menjadi tradisi
penganut Syiah dari zaman ke zaman.
Dalam tahlil juga dibacakan ayat 33
dari surah al-‘Ahzab yang diyakini
oleh golongan Syiah sebagai bukti
keturunan Ali dan Fatimah adalah
maksum. Demikian juga dengan
perayaan 1 dan 10 Syuro dengan
penanda bubur Syuro, tradisi Rebo
Wekasan atau Arba’a Akhir di bulan
Safar, tradisi Nisfu Sya’ban, faham
Wahdatul Wujud, Nur Muhammad,
larangan berhajat pada bulan Syuro,
pembacaan kasidah-kasidah yang
memuji Nabi Muhammad Saw dan ahl
al-bait, dan wirid-wirid yang
diamalkan menunjukkan keterkaitan
tersebut. Bahkan istilah kenduri pun,
jelas menunjuk kepada pengaruh Syiah
karena dipungut dari bahasa Persia:
Kanduri, yakni upacara makan-makan
di Persia untuk memperingati Fatimah
Az-Zahro’.
[3] Di antara kitab yang terbukti
ditahrif adalah Nahj al-Balaghah yang
diterbitkan oleh Muhammad Abduh
Mesir, kitab-kitab al-Khumayni,
seperti Hukumah Islam, Kasyful Asrar
yang diterjemahkan menyimpang dari
bahasa Persia ke Inggris/Arab.
Pemalsuan kitab Kasyful Asrar
dibongkar oleh Dr. Ibrahim Dasuki
Syata, pengajar bahasa dan sastra
dari Universitas Kairo. Pemalsuan
kitab Hukumah Islam diduga dilakukan
penerbit buku milik CIA ke dalam
bahasa Inggris.
[4] Riwayat-riwayat tahrif al-Quran,
baik dari kalangan sahabat maupun
ulama besar, beredar di kitab-kitab
Sunni dan Syiah. Di antara yang
berpendapat al-Quran berubah
adalah Imam Malik, beliau berkata
tentang sebab gugurnya basmalah
pada pembukaan surah Barâ’ah,
“Sesungguhnya ketika bagian awalnya
gugur/hilang maka gugur pulalah
basmalahnya. Dan telah tetap bahwa
ia sebenarnya menandingi surah al-
Baqarah (dalam panjangnya)”
[5] Ibn Anbari dan al-Qurthubi
menutupi identitas tokoh ini dalam
kitabnya. Namun al-Khatib al-
Baghdadi dan Abu Syamah menyebut
jelas tokoh besar Sunni ini. Nama
lengkapnya Abu al Hasan Muhammad
ibn Ahmad ibn Ayyub al Muqri’/pakar
qira’at, yang dikenal dengan nama
Ibnu Syanbûdz/Syannabûdz al-
Baghdâdi (w.328 H). Ia banyak belajar
dan menimba ilmu qira’at dari banyak
pakar di berbagai kota besar Islam.
Ia telah berkeliling ke hampir seluruh
penjuru negeri Islam untuk menimba
ilmu dari para masyâikh, dan ahli
qira’at. Ia sezaman dan satu thabaqah
dengan Ibnu Mujahid (yang
membatasi qira’at hanya pada 7
qira’at saja), tetapi ia lebih luas ilmu
dan pengetahuannya, khususnya
tentang qira’at dan sumber-
sumbernya, dan ia lebih banyak guru
dan masyâikhnya, hanya saja Ibnu
Majahid lebih berkedudukan di sisi
penguasa saat itu. Banyak kalangan
ulama qira’at belajar darinya. Abu
‘Amr ad Dâni dan lainnya
mengandalkan sanad qira’at melalui
jalurnya. Ibnu Syannabûdz adalah
tsiqah/terpercaya, seorang yang
shaleh, konsisten dalam menjalankan
agama dan pakar dalam disiplin ilmu
qira’at. Ia meremehkan Ibnu Mujahid
yang tidak pernah melancong ke
berbagai negeri untuk menimba ilmu
qira’at. Apabila ada seorang murid
datang untuk belajar darinya, ia
menanyainya terlebih dahulu, apakah
ia pernah belajar dari Ibnu Mujahid?
Jika pernah maka ia tidak akan mau
mengajarinya. Ibnu Mujahid
menyimpan dendam kepadanya, dan
menfitnahnya kepada al wazîr/
penguasa saat itu yang bernama Ibnu
Muqlah. Ibnu Syannabûdz diadili
pengguasa di hadapan para ulama
dan ahli fikih, di antaranya Ibnu
Mujahid atas qira’atnya yang dinilai
menyimpang, setelah terjadi
perdebatan seru dengan mereka. Ibnu
Muqlah memintanya untuk
menghentikan kebiasaannya membaca
qira’at yang syâdzdzah, tetapi ia
bersikeras mempertahankannya, dan
berbicara keras kepadanya dan
kepada Ibnu Mujahid serta al Qadhi
yang dikatakannya sebagai kurang
luas pengetahuan mereka berdua,
sehingga Ibnu Muqlah menderanya
dengan beberapa cambukan di
punggungnya yang memaksanya
mengakui kesalahannya dan bersedia
menghentikan bacaan syâdzdzah-nya.
Ketika Ibnu Muqlah menderanya, Ibnu
Syannabûdz mendoakannya agar Allah
memotong tangannya dan mencerai-
beraikan urusannya. Tidak lama
kemudian, setelah tiga tahun, tepatnya
pada pertengahan bulan Syawal tahun
326 H, doa itu diperkenankan Allah
dan Ibnu Muqlah pun dipotong
tangannya oleh atasannya dan
dipenjarakan serta dipersulit
kehidupannya. Ia hidup terhina dan
mati dalam sel tahanan pada tahun
328 H, tahun yang sama dengan tahun
wafatnya Ibnu Syannabûdz.
Sebagaimana Ibnu Mujahid juga mati
setahun setelah mengadili Ibnu
Syannabûdz.
[6] Al-Dzahabi berkata, “Omongan
sesama teman jika terbukti
dilontarkan dengan dorongan hawa
nafsu atau fanatisme maka ia tidak
perlu dihiraukan. Ia harus ditutup dan
tidak diriwayatkan, sebagaimana telah
ditetapkan bahwa harus menutup-
nutupi persengketaan yang terjadi
antara para sahabat ra. Dan kita
senantiasa melewati hal itu dalam
kitab-kitab induk dan juz-juz akan
tetapi kebanyakan darinya adalah
terputus sanadnya dan dha’if dan
sebagian lainnya palsu. Dan ia yang
ada di tangan kita dan di tangan para
ulama kita. Semua itu harus dilipat
dan disembunyikan bahkan harus
dimusnahkan. Dan harus diramaikan
kecintaan kepada para sahabat dan
mendo’akan agar mereka diridhai
(Allah), dan merahasiakan hal itu
(bukti-bukti persengketaan mereka
itu) dari kaum awam dan individu
ulama adalah sebuah kawajiban. Dan
mungkin diizinkan bagi sebagian orang
ulama yang obyektif dan jauh dari
hawa nafsu untuk mempelajarinya
secara rahasia dengan syarat ia
memintakan ampunan bagi mereka
(para sahabat) seperti diajarkan
Allah.
[7] Kisah Laporan "Spy" Wahabi
Tentang Iran.
Pada suatu hari, agen wahabi
mengutus seorang untuk "spy" semua
gerak-gerik orang syiah, terutama di
Iran, maka diutuslah seorang agen A
untuk memulai misi ke Iran. Setelah
tiga bulan lamanya sang agen kembali
untuk melaporkan hasil mata-
matanya. Mari kita lihat apa yang
dilaporkannya :
Agen A : Bos ternyata semua orang
Iran, mereka itu hidup dalam taqiyah
sepanjang waktu dan dimanapun
mereka berada .
Bos : maksud kamu ?
Agen A : Setelah sekian lama saya
selidiki:
1. Ternyata mereka selalu
menyembunyikan Al-Qur'an mereka
entah dimana. Segala cara dan upaya
telah sa ya lakukan untuk dapat
menemukan Al-Qur'an versi Syiah, tapi
tetap saja saya tidak pernah
menjumpai dan menemukannya.
Setiap saya lihat semua Al-Qur'an di
sana sama dengan Al-Qur'an yang kita
baca, dan saya tidak pernah
menemukan orang yang menjual atau
memegang atau menyimpannya di
rumah atau di perpustakaan-
perpustakaan atau di sekolah-sekolah
mereka selain Al-Qur'an seperti yang
kita punya. Padahal yang kita belajar
dan dengar dari guru-guru kita bahwa
Syiah memiliki al-Qur'an sendiri.
2. Mereka juga selalu bersalawat
kepada Nabi dan Ahlul Baytnya
sepanjang waktu mereka, di hampir
setiap akhir dari bacaan gerakan
sholat, dalam doa-doa mereka, ketika
mereka mendengar nama Rasulullah
dan para Imam mereka disebutkan,
ketika mereka akan memulai
pekerjaan dan berpergian, pokoknya
di setiap hari mereka selalu
mengumandangkan salawat dan
kecintaan kepada Rasulullah dan Ahlul
B a ytnya seolah-olah mereka tahu
bahwa saya sedang memperhatikan
mereka. padahal yang saya dengar
dari guru-guru kita, bahwa mereka
sebenarnya adalah pembenci dan
selalu memfitnah ahlul bayt nabi.
3. Setiap hari masyarakat mereka
selalu mengutuk dan membenci
Amerika dan Zionis, serta musuh-
musuh Islam. Dan kesiapan serta doa
mereka untuk menjadi dan
dibangkitkan sebagai tentara Al-Mahdi
dalam melawan Dajjal akhir
zaman. Padahal yang saya dengar
dari guru-guru kita, bahwa mereka
adalah kawan sejati Amerika dan
Israel.
4. Ketika saya memasuki kota-kota
suci mereka, di setiap hari mereka
selalu bergiat dalam ibadah-ibadah
serta kajian-kajian keilmuan dan
keagamaan, tidak pernah mereka
menghabiskan waktu dalam kesia-
siaan apalagi mengeluarkan cacian
kepada sahabat dan istri
nabi. Padahal yang saya dengar dari
guru-guru kita, bahwa mereka setiap
hari melakukan majlis-majlis cacian
kepada sahabat dan isteri nabi.
5. Para mahasiswa dan ilmuwan
mereka pun sedang bergiat dalam
mengembangkan teknologi, yang
setiap saat mereka katakan sebagai
kekuatan Islam untuk melawan orang
kafir dan musuh Allah, kemajuan yang
mereka alami adalah dari hasil anak
bangsa dan kemandirian mereka
setelah negara mereka mendapat
tekanan dan bo ikot dunia. Padahal
yang saya dengar dari guru-guru kita,
bahwa mereka sering melakukan
kerjasama dan membeli senjata dari
Amerika dan Israel.
Demikianlah Bos laporan dari saya
tentang orang Iran (Syiah) yang
menjalani hidup mereka yang selalu
bertaqiyah sepanjang hari dan di
tempat manapun mereka berada,
sehingga saya tidak pernah
menjumpai apa yang guru-guru kita
katakan tentang orang Iran (Syiah),
mereka selalu bertaqiyah untuk dapat
menyembunyikan jati diri mereka di
hadapan siapapun, baik teman
ataupun musuh-musuh mereka. Dalam
p ikiran saya terhadap Tuhanpun
mereka bertaqiyah, bahkan ketika
tidur dan matipun mereka bertaqiyah.
Bos : ???#@!!
[8] Quraisy Shihab memandang bahwa
1. Para ulama berbeda pendapat
mengenai apakah benar Nabi saw
pernah mengharamkan nikah mut’ah
itu; 2. Larangan Umar bin Khattab
terhadap nikah mut’ah bukan
pengharaman suatu syariat, tetapi
demi menjaga kemaslahatan umat
kala itu. 3. Pendapat yang
kompromistis ialah pendapat Syekh
Muhammad Thahir bin Asyur, mufti
Tunisia yang mengatakan bahwa Nabi
SAW dua kali mengizinkan nikah
mut’ah dan dua kali melarangnya.
Larangan ini bukan pembatalan, tetapi
penyesuaian dengan kondisi,
kebutuhan yang mendesak atau
darurat. Maka nikah mut’ah itu hanya
diperbolehkan dalam keadaan
darurat, seperti bepergian jauh atau
perang dan tidak membawa istri.