Monday, December 10, 2012

BAGAIMANA HUKUM TAHLILAN?

Segala puji bagi Allah, sholawat serta
salam kita haturkan kepada Nabi
Muhammad beserta keluarga dan
sahabat-sahabatnya. Do’a dan
shodaqoh untuk sesama muslim yang
telah meninggal menjadi ladang amal
bagi kita yang masih di dunia ini
sekaligus tambahan amal bagi yang
telah berada di alam sana. Sebagai
agama yang mencerahkan dan
mencerdaskan, Islam membimbing
kita menyikapi sebuah kematian
sesuai dengan hakekatnya yaitu amal
shalih, tidak dengan hal-hal duniawi
yang tidak berhubungan sama sekali
dengan alam sana seperti kuburan
yang megah, bekal kubur yang
berharga, tangisan yang membahana,
maupun pesta besar-besaran. Bila
diantara saudara kita menghadapi
musibah kematian, hendaklah sanak
saudara menjadi penghibur dan
penguat kesabaran, sebagaimana
Rasulullah memerintahkan
membuatkan makanan bagi keluarga
yang sedang terkena musibah tersebut,
dalam hadits:
“Kirimkanlah makanan oleh kalian
kepada keluarga Ja'far, karena
mereka sedang tertimpa masalah
yang menyesakkan”.(HR Abu
Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195),
al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61),
al-Daruquthny (Sunan al-
Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi
(Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al-
Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan
Ibn Majah (Sunan Ibn Majah,
1/514)
Namun ironisnya kini, justru uang
jutaan rupiah dihabiskan tiap malam
untuk sebuah selamatan kematian
yang harus ditanggung keluarga yang
terkena musibah. Padahal ketika
Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik
yang akan dikirimkan kepada sang ibu
yang telah meninggal, Beliau
menjawab ‘air’. Bayangkan betapa
banyak orang yang mengambil
manfaat dari sumur yang dibuat itu
(menyediakan air bagi masyarakat
indonesia yang melimpah air saja
sangat berharga, apalagi di Arab yang
beriklim gurun), awet dan menjadi
amal jariyah yang terus mengalir.
Rasulullah telah mengisyaratkan amal
jariyah kita sebisa mungkin
diprioritaskan untuk hal-hal yang
produktif, bukan konsumtif; memberi
kail, bukan memberi ikan; seandainya
seorang pengemis diberi uang atau
makanan, besok dia akan mengemis
lagi; namun jika diberi kampak untuk
mencari kayu, besok dia sudah bisa
mandiri. Juga amal jariyah yang
manfaatnya awet seperti menulis
mushaf, membangun masjid,
menanam pohon yang berbuah
(reboisasi; reklamasi lahan kritis),
membuat sumur/mengalirkan air
(fasilitas umum, irigasi), mengajarkan
ilmu, yang memang benar-benar
sedang dibutuhkan masyarakat.
Bilamana tidak mampu secara pribadi,
toh bisa dilakukan secara patungan.
Seandainya dana umat Islam yang
demikian besar untuk selamatan
berupa makanan (bahkan banyak
makanan yang akhirnya dibuang sia-
sia; dimakan ayam; lainnya menjadi
isyrof) dialihkan untuk memberi
beasiswa kepada anak yatim atau
kurang mampu agar bisa sekolah,
membenahi madrasah/sekolah islam
agar kualitasnya sebaik sekolah faforit
(yang umumnya milik umat lain),atau
menciptakan lapangan kerja dan
memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan lebih
bermanfaat. Namun shodaqoh
tersebut bukan suatu keharusan,
apalagi bila memang tidak mampu.
Melakukannya menjadi keutamaan,
bila tidak mau pun tidak boleh ada
celaan.
Sebagian ulama menyatakan
mengirimkan pahala tidak selamanya
harus dalam bentuk materi, Imam
Ahmad dan Ibnu Taimiyah
berpendapat bacaan al- Qur’an dapat
sampai sebagaimana puasa, nadzar,
haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan
Imam Nawawi menyatakan bacaan al-
Qur’an untuk si mayit tidak sampai
karena tidak ada dalil yang
memerintahkan hal tersebut, tidak
dicontohkan Rasulullah dan para
shahabat. Berbeda dengan ibadah
yang wajib atau sunnah mu’akad
seperti shalat, zakat, qurban, sholat
jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan,
yang mana ada celaan bagi mereka
yang meninggalkannya dalam keadaan
mampu. Akan tetapi di masyarakat
kita selamatan kematian/tahlilan telah
dianggap melebihi kewajiban-
kewajiban agama. Orang yang
meninggalkannya dianggap lebih
tercela daripada orang yang
meninggalkan sholat, zakat, atau
kewajiban agama yang lain. Sehingga
banyak yang akhirnya memaksakan diri
karena takut akan sanksi sosial
tersebut. Mulai dari berhutang,
menjual tanah, ternak atau barang
berharga yang dimiliki, meskipun di
antara keluarga terdapat anak yatim
atau orang lemah. Padahal di dalam al-
Qur’an telah jelas terdapat arahan
untuk memberikan perlindungan harta
anak yatim; tidak memakan harta anak
yatim secara dzalim, tetapi menjaga
sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5,
10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34)
serta tidak membelanjakannya secara
boros (QS an- Nisa’: 6)
Dibalik selamatan kematian tersebut
sesungguhnya juga terkandung tipuan
yang memperdayakan. Seorang yang
tidak beribadah/menunaikan
kewajiban agama selama hidupnya,
dengan besarnya prosesi selamatan
setelah kematiannya akan menganggap
sudah cukup amalnya, bahkan untuk
menebus kesalahan-kesalahannya.
Juga seorang anak yang tidak taat
beribadahpun akan menganggap
dengan menyelenggarakan selamatan,
telah menunaikan kewajibannya
berbakti/mendoakan orang tuanya.
Imam Syafi'i rahimahullah dalam
kitab al-Umm berkata:
"...dan aku membenci al-ma'tam,
yaitu proses berkumpul (di tempat
keluarga mayat) walaupun tanpa
tangisan, karena hal tersebut
hanya akan menimbulkan
bertambahnya kesedihan dan
membutuhkan biaya, padahal
beban kesedihan masih
melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-
Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)
Namun ketika Islam datang ke tanah
Jawa ini, menghadapi kuatnya adat
istiadat yang telah mengakar. Masuk
Islam tapi kehilangan selamatan-
selamatan, beratnya seperti
masyarakat Romawi disuruh masuk
Nasrani tapi kehilangan perayaan
kelahiran anak Dewa Matahari 25
Desember.
Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali,
mengutip naskah kuno tentang jawa
yang tersimpan di musium Leiden,
Sunan Ampel memperingatkan
Sunan Kalijogo yang masih
melestarikan selamatan
tersebut:“Jangan ditiru perbuatan
semacam itu karena termasuk
bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab:
“Biarlah nanti generasi setelah kita
ketika Islam telah tertanam di hati
masyarakat yang akan
menghilangkan budaya tahlilan
itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali
Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi
dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang
Surabaya juga mengupas panjang lebar
mengenai masalah ini. Dimana Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus,
Sunan Gunungjati dan Sunan Muria
(kaum abangan) berbeda pandangan
mengenai adat istiadat dengan Sunan
Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat
(kaum putihan). Sunan Kalijaga
mengusulkan agar adat istiadat lama
seperti selamatan, bersaji, wayang dan
gamelan dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain:
“Apakah tidak
mengkhawatirkannya di kemudian
hari bahwa adat istiadat dan
upacara lama itu nanti dianggap
sebagai ajaran yang berasal dari
agama Islam? Jika hal ini dibiarkan
nantinya akan menjadi bid’ah?”
Sunan kudus menjawabnya bahwa
ia mempunyai keyakinan bahwa di
belakang hari akan ada yang
menyempurnakannya. (hal 41, 64)
Dalam penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa, para
Wali dibagi menjadi tiga
wilayah garapan
Pembagian wilayah tersebut
berdasarkan obyek dakwah yang
dipengaruhi oleh agama yang
masyarakat anut pada saat itu, yaitu
Hindu dan Budha.
Pertama: Wilayah Timur . Di wilayah
bagian timur ini ditempati oleh lima
orang wali, karena pengaruh hindu
sangat dominan. Disamping itu pusat
kekuasaan Hindu berada di wilayah
Jawa bagian timur ini (Jawa Timur
sekarang) Wilayah ini ditempati oleh
lima wali, yaitu Syaikh Maulana
Ibrahim (Sunan Demak), Raden
Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku
(Sunan Giri), Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang), dan Raden Kasim (Sunan
Drajat)
Kedua : Wilayah Tengah . Di wilayah
Tengah ditempati oleh tiga orang Wali.
Pengaruh Hindu tidak begitu dominan.
Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali
yang ditugaskan di sini adalah : Raden
Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden
Prawoto (Sunan Muria), Ja'far Shadiq
(Sunan Kudus)
Ketiga : Wilayah Barat . Di wilayah ini
meliputi Jawa bagian barat, ditempati
oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung
Jati alias Syarief Hidayatullah. Di
wilayah barat pengaruh Hindu-Budha
tidak dominan, karena di wilayah Tatar
Sunda (Pasundan) penduduknya telah
menjadi penganut agama asli sunda,
antara lain kepercayaan "Sunda
Wiwitan"
Dua Pendekatan dakwah para wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Gunung Jati dan
terutama Sunan Giri berusaha sekuat
tenaga untuk menyampaikan ajaran
Islam secara murni, baik tentang
aqidah maupun ibadah. Dan mereka
menghindarkan diri dari bentuk
singkretisme ajaran Hindu dan Budha.
Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan
Muria dan Sunan Kalijaga mencoba
menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan
Budha di dalam menyampaikan ajaran
Islam. Sampai saat ini budaya itu
masih ada di masyarakat kita, seperti
sekatenan, ruwatan, shalawatan,
tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.
Pendekatan Sosial budaya dipelopori
oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung
Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban.
Pendekatan sosial budaya yang
dilakukan oleh aliran Tuban memang
cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga
menggunakan wayang kulit untuk
menarik masyarakat jawa yang waktu
itu sangat menyenangi wayang kulit.
Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga
kepada Prabu Brawijaya V, Raja
Majapahit terakhir yang masih
beragama Hindu, dapat dilihat di serat
Darmogandul, yang antara lain
bunyinya; Punika sadar sarengat,
tegese sarengat niki, yen sare
wadine njegat; tarekat taren kang
osteri; hakikat unggil kapti, kedah
rujuk estri kakung, makripat
ngentos wikan, sarak sarat laki
rabi, ngaben aku kaidenna yayan
rina" (itulah yang namanya sahadat
syariat, artinya syariat ini, bila
tidur kemaluannya tegak;
sedangkan tarekat artinya
meminta kepada istrinya; hakikat
artinya menyatu padu , semua itu
harus mendapat persetujuan suami
istri; makrifat artinya mengenal ;
jadilah sekarang hukum itu
merupakan syarat bagi mereka
yang ingin berumah tangga,
sehingga bersenggama itu dapat
dilaksanakan kapanpun juga).
Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga
seperti tergambar di muka, maka ia
satu-satunya Wali dari Sembilan Wali
di Jawa yang dianggap benar-benar
wali oleh golongan kejawen (Islam
Kejawen/abangan), karena Sunan
Kalijaga adalah satu-satunya wali
yang berasal dari penduduk asli
Jawa (pribumi) .
[Sumber : Abdul Qadir Jailani ,
Peran Ulama dan Santri Dalam
Perjuangan Politik Islam di
Indonesia, hal. 22-23, Penerbit
PT. Bina Ilmu dan Muhammad
Umar Jiau al Haq, M.Ag,
Syahadatain Syarat Utama
Tegaknya Syariat Islam , hal.
51-54, Kata Pengantar
Muhammad Arifin Ilham
(Pimpinan Majlis Adz Zikra),
Penerbit Bina Biladi Press.]
Nasehat Sunan Bonang
Salah satu catatan menarik yang
terdapat dalam dokumen “Het Book
van Mbonang” [1] adalah peringatan
dari sunan Mbonang kepada umat
untuk selalu bersikap saling membantu
dalam suasana cinta kasih, dan
mencegah diri dari kesesatan dan
bid’ah. Bunyinya sebagai berikut:
“Ee..mitraningsun! Karana sira iki
apapasihana sami-saminira Islam
lan mitranira kang asih ing sira lan
anyegaha sira ing dalalah lan
bid’ah “.
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena
kalian semua adalah sama-sama
pemeluk Islam maka hendaklah saling
mengasihi dengan saudaramu yang
mengasihimu. Kalian semua hendaklah
mencegah dari perbuatan sesat dan
bid’ah.[2]
[1] Dokumen ini adalah sumber
tentang walisongo yang
dipercayai sebagai dokumen asli
dan valid, yang tersimpan di
Museum Leiden , Belanda. Dari
dokumen ini telah dilakukan
beberapa kajian oleh beberapa
peneliti. Diantaranya thesis Dr.
Bjo Schrieke tahun 1816, dan
Thesis Dr. Jgh Gunning tahun
1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910,
dan Dr. Pj Zoetmulder Sj , tahun
1935.
[2] Dari info Abu Yahta Arif
Mustaqim, pengedit buku
Mantan Kiai NU Menggugat
Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah
Para Wali hlm. 12-13.
Muktamar NU ke-1 di Surabaya
tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21
Oktober 1926 mencantumkan
pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan
menyatakan bahwa selamatan
kematian adalah bid'ah yang hina
namun tidak sampai diharamkan dan
merujuk juga kepada Kitab Ianatut
Thalibin. Namun Nahdliyin generasi
berikutnya menganggap pentingnya
tahlilan tersebut sejajar (bahkan
melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal
Jama’ah. Sekalipun seseorang telah
melakukan kewajiban-kewajiban
agama, namun tidak melakukan
tahlilan, akan dianggap tercela sekali,
bukan termasuk golongan Ahli Sunnah
wal Jama’ah. Di zaman akhir yang ini
dimana keadaan pengikut sunnah
seperti orang 'aneh' asing di negeri
sendiri, begitu banyaknya orang Islam
yang meninggalkan kewajiban agama
tanpa rasa malu, seperti meninggalkan
Sholat Jum'at, puasa Romadhon,dll.
Sebaliknya masyarakat begitu antusias
melaksanakan tahlilan ini, hanya
segelintir orang yang berani
meninggalkannya. Bahkan non-muslim
pun akan merasa kikuk bila tak
melaksanakannya. Padahal para ulama
terdahulu senantiasa mengingat dalil-
dalil yang menganggap buruk walimah
(selamatan) dalam suasana musibah
tersebut. Dari sahabat Jarir bin
Abdullah al-Bajali: "Kami (para
sahabat) menganggap kegiatan
berkumpul di rumah keluarga mayit,
serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari niyahah
(meratapi mayit)". (Musnad Ahmad bin
Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz
II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut:
Dar al-Fikr) juz I, hal 514)
MUKTAMAR I NAHDLATUL
ULAMA (NU) KEPUTUSAN
MASALAH DINIYYAH NO:
18 / 13 RABI’UTS TSAANI
1345 H / 21 OKTOBER 1926
DI SURABAYA
TENTANG KELUARGA MAYIT
MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA
PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat
menyediakan makanan untuk hidangan
kepada mereka yang datang berta’ziah
pada hari wafatnya atau hari-hari
berikutnya, dengan maksud
bersedekah untuk mayat tersebut?
Apakah keluarga memperoleh pahala
sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari
wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh
itu hukumnya MAKRUH, apabila harus
dengan cara berkumpul bersama-
sama dan pada hari-hari tertentu,
sedang hukum makruh tersebut tidak
menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul
Janaiz:
“ MAKRUH hukumnya bagi keluarga
mayit ikut duduk bersama orang-orang
yang sengaja dihimpun untuk
berta’ziyah dan membuatkan makanan
bagi mereka, sesuai dengan hadits
riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah
al Bajali yang berkata: ”kami
menganggap berkumpul di (rumah
keluarga) mayit dengan menyuguhi
makanan pada mereka, setelah si
mayit dikubur, itu sebagai bagian dari
RATAPAN (YANG DILARANG) .”
Dalam kitab Al
Fatawa Al Kubra
disebutkan :
“Beliau ditanya
semoga Allah
mengembalikan
barokah-Nya
kepada kita.
Bagaimanakah
tentang hewan
yang disembelih
dan dimasak kemudian dibawa di
belakang mayit menuju kuburan untuk
disedekahkan ke para penggali kubur
saja, dan TENTANG YANG
DILAKUKAN PADA HARI KETIGA
KEMATIAN DALAM BENTUK
PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK
PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN
DEMIKIAN HALNYA YANG
DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH ,
serta yang dilakukan pada genap
sebulan dengan pemberian roti yang
diedarkan ke rumah-rumah wanita
yang menghadiri proses ta’ziyah
jenazah.
Mereka melakukan semua itu
tujuannya hanya sekedar
melaksanakan kebiasaan penduduk
setempat sehingga bagi yang tidak
mau melakukannya akan dibenci oleh
mereka dan ia akan merasa diacuhkan.
Kalau mereka melaksanakan adat
tersebut dan bersedekah tidak
bertujuaan (pahala) akhirat, maka
bagaimana hukumnya, boleh atau
tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan,
atas keingnan ahli waris itu masih ikut
dibagi/dihitung dalam pembagian
tirkah/harta warisan, walau sebagian
ahli waris yang lain tidak senang
pentasarufan sebagaian tirkah
bertujuan sebagai sedekah bagi si
mayit selama satu bulan berjalan dari
kematiannya. Sebab, tradisi demikian,
menurut anggapan masyarakat harus
dilaksanakan seperti “wajib”,
bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang
dilakukan sebagaimana yang
ditanyakan di atas termasuk BID’AH
YANG TERCELA tetapi tidak sampai
haram (alias makruh), kecuali (bisa
haram) jika prosesi penghormatan
pada mayit di rumah ahli warisnya itu
bertujuan untuk “meratapi” atau
memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia
harus bertujuan untuk menangkal
“ OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH
(yaitu orang-orang yang punya adat
kebiasaan menyediakan makanan
pada hari wafat atau hari ketiga atau
hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka
tidak menodai kehormatan dirinya,
gara-gara ia tidak mau melakukan
prosesi penghormatan di atas. Dengan
sikap demikian, diharapkan ia
mendapatkan pahala setara dengan
realisasi perintah Nabi terhadap
seseorang yang batal (karena hadast)
shalatnya untuk menutup hidungnya
dengan tangan (seakan-akan hidungnya
keluar darah). Ini demi untuk menjaga
kehormatan dirinya, jika ia berbuat di
luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi
seperti kasus di atas. Sebab tirkah
yang belum dibagikan mutlak harus
disterilkan jika terdapat ahli waris yang
majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya
sudah pandai-pandai, tetapi sebagian
dari mereka tidak rela (jika tirkah itu
digunakan sebelum dibagi kepada ahli
waris).
[Buku "Masalah Keagamaan "
Hasil Muktamar/ Munas Ulama
NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari
430 masalah) oleh KH. A. Aziz
Masyhuri ketua Pimpinan Pusat
Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan
Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah
Denanyar Jombang. Kata
Pengantar Menteri Agama
Republik Indonesia : H. Maftuh
Basuni ]
Hasil Scan halaman buku "Masalah
Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas
Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri
dari 430 masalah);
Keterangan lebih lengkapnya lihat
dalam Kitab I'anatut Thalibin Juz 2
hal. 165 -166 , Seperti terlampir di
bawah ini :
ﻞﺳﺭﺃ ﺪﻗﻭ ﻲﻌﻓﺎﺸﻟﺍ ﻡﺎﻣﻻﺍ - ﻲﺿﺭ
ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ - ﻰﻟﺇ ﺾﻌﺑ ﻪﻳﺰﻌﻳ ﻪﺑﺎﺤﺻﺃ
ﻲﻓ ﻦﺑﺍ ﻪﻟ ﺪﻗ ﺕﺎﻣ :ﻪﻟﻮﻘﺑ ﻲﻧﺇ ﻚﻳﺰﻌﻣ
ﻻ ﻲﻧﺇ ﻰﻠﻋ ﺔﻘﺛ * * ﻦﻣ ،ﺩﻮﻠﺨﻟﺍ ﻦﻜﻟﻭ
ﻦﻳﺪﻟﺍ ﺔﻨﺳ ﺎﻤﻓ ﻕﺎﺒﺑ ﻯﺰﻌﻤﻟﺍ ﺪﻌﺑ
ﻪﺘﻴﻣ * * ﻱﺰﻌﻤﻟﺍ ﻻﻭ ﻮﻟﻭ ﺎﺷﺎﻋ ﻰﻟﺇ
ﻦﻴﺣ :ﺔﻳﺰﻌﺘﻟﺍﻭ ﻲﻫ ،ﺮﺒﺼﻟﺎﺑ ﺮﻣﻻﺍ
ﻞﻤﺤﻟﺍﻭ ﻪﻴﻠﻋ ،ﺮﺟﻻﺍ ﺪﻋﻮﺑ ﺮﻳﺬﺤﺘﻟﺍﻭ
ﺭﺯﻮﻟﺍ ﻦﻣ ﺀﺎﻋﺪﻟﺍﻭ ،ﻉﺰﺠﻟﺎﺑ ﺖﻴﻤﻠﻟ
ﺓﺮﻔﻐﻤﻟﺎﺑ ﺮﺒﺠﺑ ﻲﺤﻠﻟﻭ ،ﺔﺒﻴﺼﻤﻟﺍ
ﻝﺎﻘﻴﻓ ﻢﻈﻋﺃ :ﺎﻬﻴﻓ ﻪﻠﻟﺍ ،ﻙﺮﺟﺃ
ﻦﺴﺣﺃﻭ ،ﻙﺀﺍﺰﻋ ﺮﺒﺟﻭ ،ﻚﺘﻴﻤﻟ ﺮﻔﻏﻭ
،ﻚﺘﻴﺼﻌﻣ ﻭﺃ ﻒﻠﺧﺃ ،ﻚﻴﻠﻋ ﻭﺃ ﻮﺤﻧ
ﺍﺬﻫﻭ.ﻚﻟﺫ ﻲﻓ ﻢﻠﺴﻤﻟﺍ ﺔﻳﺰﻌﺗ
.ﻢﻠﺴﻤﻟﺎﺑ
ﺎﻣﺃﻭ ﻢﻠﺴﻤﻟﺍ ﺔﻳﺰﻌﺗ ﺮﻓﺎﻜﻟﺎﺑ ﻼﻓ
ﻝﺎﻘﻳ :ﺎﻬﻴﻓ ،ﻚﺘﻴﻤﻟ ﺮﻔﻏﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﻥﻻ ﻻ
ﺮﻔﻐﻳ .ﺮﻔﻜﻟﺍ
ﺔﺒﺤﺘﺴﻣ ﻲﻫﻭ ﻞﺒﻗ ﻲﻀﻣ ﺔﺛﻼﺛ ﻡﺎﻳﺃ ﻦﻣ
،ﺕﻮﻤﻟﺍ ﻩﺮﻜﺗﻭ ﺪﻌﺑ ﻦﺴﻳﻭ.ﺎﻬﻴﻀﻣ ﻥﺃ
ﻢﻌﻳ ﻊﻴﻤﺟ ﺎﻬﺑ ﻞﻫﺃ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻦﻣ
،ﺮﻴﺒﻛﻭﺮﻴﻐﺻ ،ﺓﺃﺮﻣﺍﻭ ﻞﺟﺭﻭ ﺔﺑﺎﺷ ﻻﺇ
ﺩﺮﻣﺃﻭ ،ﺎﻨﺴﺣ ﻼﻓ ﺎﻤﻬﻳﺰﻌﻳ ﻻﺇ
ﻩﺮﻜﻳﻭ.ﺎﻤﻬﺟﻭﺯﻭ ،ﺎﻤﻬﻣﺭﺎﺤﻣ ﺀﺍﺪﺘﺑﺍ
ﻲﺒﻨﺟﺃ ﺎﻤﻬﻟ ،ﺔﻳﺰﻌﺘﻟﺎﺑ ﺔﻣﺮﺤﻟﺍ ﻞﺑ
ﻩﺮﻜﻳﻭ.ﺏﺮﻗﺃ ﻞﻫﻻ ﺱﻮﻠﺠﻟﺍ ﺖﻴﻤﻟﺍ
،ﺔﻳﺰﻌﺘﻠﻟ ﻊﻨﺻﻭ ﻥﻮﻌﻤﺠﻳ ﻡﺎﻌﻃ ﺱﺎﻨﻟﺍ
،ﻪﻴﻠﻋ ﺎﻤﻟ ﺪﻤﺣﺃ ﻯﻭﺭ ﺮﻳﺮﺟ ﻦﻋ ﻦﺑ
ﻪﻠﻟﺍ ﺪﺒﻋ ،ﻲﻠﺠﺒﻟﺍ :ﻝﺎﻗ ﺎﻨﻛ ﺪﻌﻧ
ﻉﺎﻤﺘﺟﻻﺍ ﻰﻟﺇ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻞﻫﺃ ﻢﻬﻌﻨﺻﻭ
ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﻪﻨﻓﺩ ،ﺔﺣﺎﻴﻨﻟﺍ ﻦﻣ
ﻥﺍﺮﻴﺠﻟ ﺐﺤﺘﺴﻳﻭ ﻞﻫﺃ ﺖﻴﻤﻟﺍ - ﻮﻟﻭ
ﺐﻧﺎﺟﺃ - ﻢﻬﻓﺭﺎﻌﻣﻭ - ﻥﺇﻭ ﻢﻟ ﺍﻮﻧﻮﻜﻳ
ﺎﻧﺍﺮﻴﺟ ﺪﻋﺎﺑﻻﺍ ﻪﺑﺭﺎﻗﺃﻭ - - ﻥﺇﻭ
ﺍﻮﻧﺎﻛ ﺮﻴﻐﺑ ﺪﻠﺑ - ﺖﻴﻤﻟﺍ ﺍﻮﻌﻨﺼﻳ ﻥﺃ
ﻪﻠﻫﻻ ﻢﻬﻴﻔﻜﻳ ﺎﻣﺎﻌﻃ ﺎﻣﻮﻳ ،ﺔﻠﻴﻟﻭ
ﺍﻮﺤﻠﻳ ﻥﺃﻭ ﻢﻬﻴﻠﻋ ﻲﻓ ﻡﺮﺤﻳﻭ.ﻞﻛﻻﺍ
ﻪﻌﻨﺻ ،ﺔﺤﺋﺎﻨﻠﻟ ﺔﻧﺎﻋﺇ ﻪﻧﻻ ﻰﻠﻋ
.ﺔﻴﺼﻌﻣ
ﺖﻌﻠﻃﺍ ﺪﻗﻭ ﻰﻠﻋ ﻝﺍﺆﺳ ﻲﺗﺎﻔﻤﻟ ﻊﻓﺭ
ﺔﻓﺮﺸﻤﻟﺍ ﺔﻜﻣ ﻪﻠﻌﻔﻳ ﺎﻤﻴﻓ ﻞﻫﺃ
ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻦﻣ ﺏﺍﻮﺟﻭ.ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ .ﻚﻟﺬﻟ ﻢﻬﻨﻣ
.(ﺎﻤﻬﺗﺭﻮﺻﻭ)
ﺎﻣ ﻡﺍﺮﻜﻟﺍ ﻲﺗﺎﻔﻤﻟﺍ ﻝﻮﻗ ﺪﻠﺒﻟﺎﺑ
ﻡﺍﺮﺤﻟﺍ ﻡﺍﺩ ﻡﺎﻧﻼﻟ ﻢﻬﻌﻔﻧ ﻯﺪﻣ
،ﻡﺎﻳﻻﺍ ﻑﺮﻌﻟﺍ ﻲﻓ ﺹﺎﺨﻟﺍ ﻲﻓ ﺓﺪﻠﺑ
ﻦﻤﻟ ﺎﻬﺑ ﺹﺎﺨﺷﻻﺍ ﻦﻣ ﻥﺃ ﺺﺨﺸﻟﺍ ﺍﺫﺇ
ﻞﻘﺘﻧﺍ ﻰﻟﺇ ﺭﺍﺩ ،ﺀﺍﺰﺠﻟﺍ ﺮﻀﺣﻭ
ﻪﻧﺍﺮﻴﺟﻭ ﻪﻓﺭﺎﻌﻣ ،ﺀﺍﺰﻌﻟﺍ ﻯﺮﺟ
ﻑﺮﻌﻟﺍ ،ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﻥﻭﺮﻈﺘﻨﻳ ﻢﻬﻧﺄﺑ ﻦﻣﻭ
ﺔﺒﻠﻏ ﺀﺎﻴﺤﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻞﻫﺃ
ﻒﻠﻜﺘﻟﺍ ﻥﻮﻔﻠﻜﺘﻳ ﻥﻮﺌﻴﻬﻳﻭ ،ﻡﺎﺘﻟﺍ
ﺔﻤﻌﻃﺃ ﻢﻬﻟ ،ﺓﺪﻳﺪﻋ ﺎﻬﻧﻭﺮﻀﺤﻳﻭ ﻢﻬﻟ
ﻞﻬﻓ.ﺓﺪﻳﺪﺸﻟﺍ ﺔﻘﺸﻤﻟﺎﺑ ﺩﺍﺭﺃ ﻮﻟ
ﺲﻴﺋﺭ ﻡﺎﻜﺤﻟﺍ - ﺎﻤﺑ ﻪﻟ ﻦﻣ ﻖﻓﺮﻟﺍ
ﺔﻘﻔﺸﻟﺍﻭ ،ﺔﻴﻋﺮﻟﺎﺑ ﻰﻠﻋ - ﻲﻟﺎﻫﻻﺍ
ﻊﻨﻤﺑ ﻩﺬﻫ ﺍﻭﺩﻮﻌﻴﻟ ﺔﻴﻠﻜﻟﺎﺑ ﺔﻴﻀﻘﻟﺍ
ﺔﻨﺴﻟﺎﺑ ﻚﺴﻤﺘﻟﺍ ﻰﻟﺇ ،ﺔﻴﻨﺴﻟﺍ
ﺓﺭﻮﺛﺄﻤﻟﺍ ﻦﻋ ﺮﻴﺧ ﻰﻟﺇﻭ ﺔﻳﺮﺒﻟﺍ
ﻪﻴﻠﻋ ﻪﺑﺭ ﺓﻼﺻ ،ﺎﻣﻼﺳﻭ ﺚﻴﺣ :ﻝﺎﻗ
ﺍﻮﻌﻨﺻﺍ ﻝﻵ ﺮﻔﻌﺟ ﺏﺎﺜﻳ ﺎﻣﺎﻌﻃ ﻰﻠﻋ
ﺭﻮﻛﺬﻤﻟﺍ ﻊﻨﻤﻟﺍ ﺍﺬﻫ ﺍﻭﺪﻴﻓﺃ ؟
ﺏﺍﻮﺠﻟﺎﺑ ﺎﻤﺑ ﻮﻫ .ﺭﻮﻄﺴﻣﻭ ﻝﻮﻘﻨﻣ
ﺪﻤﺤﻟﺍ) ﻪﻠﻟ (ﻩﺪﺣﻭ ﻰﻠﺻﻭ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻠﻟﺍ
ﺎﻧﺪﻴﺳ ﻰﻠﻋ ﺪﻤﺤﻣ ﻰﻠﻋﻭ ﻪﺒﺤﺻﻭ ﻪﻟﺁ
ﻢﻬﺠﻬﻧ ﻦﻴﻜﻟﺎﺴﻟﺍﻭ ﻢﻬﻠﻟﺍ.ﻩﺪﻌﺑ
ﺔﻳﺍﺪﻬﻟﺍ ﻚﻟﺄﺳﺃ .ﺏﺍﻮﺼﻠﻟ
،ﻢﻌﻧ ﺎﻣ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻪﻠﻌﻔﻳ ﻦﻣ ﻉﺎﻤﺘﺟﻻﺍ
ﺪﻨﻋ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻞﻫﺃ ،ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﻊﻨﺻﻭ ﻦﻣ
ﺓﺮﻜﻨﻤﻟﺍ ﻉﺪﺒﻟﺍ ﻲﺘﻟﺍ ﺏﺎﺜﻳ ﻰﻠﻋ
ﺎﻬﻌﻨﻣ ﻲﻟﺍﻭ ﺮﻣﻻﺍ ، ﺖﺒﺛ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﺑ
ﺪﻋﺍﻮﻗ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﺪﻳﺃﻭ ﻡﻼﺳﻻﺍ ﻪﺑ
.ﻦﻴﻤﻠﺴﻤﻟﺍﻭ
ﺔﻣﻼﻌﻟﺍ ﻝﺎﻗ ﺪﻤﺣﺃ ﻦﺑ ﺮﺠﺣ ﻲﻓ ﺔﻔﺤﺗ)
ﻚﺣﺮﺸﻟ ﺝﺎﺘﺤﻤﻟﺍ :(ﺝﺎﻬﻨﻤﻟﺍ ﻦﺴﻳﻭ
ﻥﺍﺮﻴﺠﻟ ﻪﻠﻫﺃ - ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻱﺃ - ﺔﺌﻴﻬﺗ
ﻡﺎﻌﻃ ﻢﻬﻣﻮﻳ ﻢﻬﻌﺒﺸﻳ ،ﻢﻬﺘﻠﻴﻟﻭ
ﺮﺒﺨﻠﻟ ﺍﻮﻌﻨﺻﺍ.ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ ﺮﻔﻌﺟ ﻝﻵ
ﺎﻣﺎﻌﻃ ﺪﻘﻓ ﻢﻫﺀﺎﺟ .ﻢﻬﻠﻐﺸﻳ ﺎﻣ
ﺢﻠﻳﻭ ﻢﻬﻴﻠﻋ ﻲﻓ ﻞﻛﻻﺍ ،ﺎﺑﺪﻧ ﻢﻬﻧﻻ ﺪﻗ
ﻪﻧﻮﻛﺮﺘﻳ ،ﺀﺎﻴﺣ ﻭﺃ ﻁﺮﻔﻟ ﻡﺮﺤﻳﻭ.ﻉﺰﺟ
ﻪﺌﻴﻬﺗ ﺕﺎﺤﺋﺎﻨﻠﻟ ﺔﻧﺎﻋﺇ ﻪﻧﻻ ﻰﻠﻋ
،ﺔﻴﺼﻌﻣ ﺎﻣﻭ ﺪﻴﺘﻋﺍ ﻦﻣ ﻞﻌﺟ ﻞﻫﺃ
ﺖﻴﻤﻟﺍ ﺍﻮﻋﺪﻴﻟ ﺎﻣﺎﻌﻃ ﺱﺎﻨﻟﺍ ،ﻪﻴﻟﺇ
ﺔﻋﺪﺑ ﺔﻫﻭﺮﻜﻣ - ﻢﻬﺘﺑﺎﺟﺈﻛ ،ﻚﻟﺬﻟ ﺎﻤﻟ
ﺢﺻ ﻦﻋ ﺮﻳﺮﺟ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻨﻛ.ﻪﻨﻋ ﺪﻌﻧ
ﻉﺎﻤﺘﺟﻻﺍ ﻰﻟﺇ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻞﻫﺃ ﻢﻬﻌﻨﺻﻭ
ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﻪﻨﻓﺩ .ﺔﺣﺎﻴﻨﻟﺍ ﻦﻣ
ﻪﺟﻭﻭ ﻩﺪﻋ ﺔﺣﺎﻴﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﺎﻣ ﻪﻴﻓ ﻦﻣ
ﻡﺎﻤﺘﻫﻻﺍ ﺓﺪﺷ .ﻥﺰﺤﻟﺍ ﺮﻣﺄﺑ
ﻦﻣﻭ ﻢﺛ ﻉﺎﻤﺘﺟﺍ ﻩﺮﻛ ﻞﻫﺃ ﺖﻴﻤﻟﺍ
،ﺀﺍﺰﻌﻟﺎﺑ ﺍﻭﺪﺼﻘﻴﻟ ﻞﺑ ﻲﻐﺒﻨﻳ ﻥﺃ
ﺍﻮﻓﺮﺼﻨﻳ ،ﻢﻬﺠﺋﺍﻮﺣ ﻲﻓ ﻦﻤﻓ ﻢﻬﻓﺩﺎﺻ
.ﻢﻫﺍﺰﻋ
.ﻩﺍ
ﺔﻴﺷﺎﺣ ﻲﻓﻭ ﻞﻤﺠﻟﺍ ﺔﻣﻼﻌﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺡﺮﺷ
:ﺞﻬﻨﻤﻟﺍ ﺓﺮﻜﻨﻤﻟﺍ ﻉﺪﺒﻟﺍ ﻦﻣﻭ
ﻩﻭﺮﻜﻤﻟﺍﻭ :ﺎﻬﻠﻌﻓ ﺎﻣ ﻪﻠﻌﻔﻳ ﺱﺎﻨﻟﺍ
ﻊﻤﺠﻟﺍﻭﺔﺸﺣﻮﻟﺍ ﻦﻣ ،ﻦﻴﻌﺑﺭﻻﺍﻭ ﻞﺑ ﻞﻛ
ﻡﺍﺮﺣ ﻚﻟﺫ ﻥﺇ ﻥﺎﻛ ﻦﻣ ،ﺭﻮﺠﺤﻣ ﻝﺎﻣ ﻭﺃ
ﻦﻣ ﺖﻴﻣ ﻪﻴﻠﻋ ،ﻦﻳﺩ ﻭﺃ ﻪﻴﻠﻋ ﺐﺗﺮﺘﻳ
،ﺭﺮﺿ ﻭﺃ ﻮﺤﻧ .ﻚﻟﺫ
ﺪﻗﻭ.ﻩﺍ ﻝﺎﻗ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻠﻟﺍ (ﺹ) ﻝﻼﺒﻟ ﻦﺑ
ﺙﺮﺤﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ :ﻪﻨﻋ ﺎﻳ ﻝﻼﺑ ﻦﻣ
ﺎﻴﺣﺃ ﺔﻨﺳ ﻲﺘﻨﺳ ﻦﻣ ﺖﺘﻴﻣﺃ ﺪﻗ ﻦﻣ
،ﻱﺪﻌﺑ ﻥﺎﻛ ﻪﻟ ﻦﻣ ﺮﺟﻻﺍ ﻞﺜﻣ ﻦﻣ ﻞﻤﻋ
،ﺎﻬﺑ ﻻ ﺺﻘﻨﻳ ﻦﻣ .ﺎﺌﻴﺷ ﻢﻫﺭﻮﺟﺃ
ﻉﺪﺘﺑﺍ ﻦﻣﻭ ﺔﻋﺪﺑ ﺔﻟﻼﺿ ﻻ ﺎﻫﺎﺿﺮﻳ
ﻪﻠﻟﺍ ،ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﻥﺎﻛ ﻪﻴﻠﻋ ﻞﺜﻣ ﻦﻣ ﻞﻤﻋ
،ﺎﻬﺑ ﻻ ﺺﻘﻨﻳ ﻢﻫﺭﺍﺯﻭﺃ ﻦﻣ ﻝﺎﻗﻭ.ﺎﺌﻴﺷ
:(ﺹ) ﻥﺇ ﺮﻴﺨﻟﺍ ﺍﺬﻫ ،ﻦﺋﺍﺰﺧ ﻚﻠﺘﻟ
،ﺢﻴﺗﺎﻔﻣ ﻦﺋﺍﺰﺨﻟﺍ ﻰﺑﻮﻄﻓ ﺪﺒﻌﻟ ﻪﻠﻌﺟ
ﻪﻠﻟﺍ ﺎﻗﻼﻐﻣ ،ﺮﻴﺨﻠﻟ ﺎﺣﺎﺘﻔﻣ
ﺪﺒﻌﻟ ﻞﻳﻭﻭ.ﺮﺸﻠﻟ ﻪﻠﻌﺟ ﺎﺣﺎﺘﻔﻣ ﻪﻠﻟﺍ
ﺎﻗﻼﻐﻣ ،ﺮﺸﻠﻟ .ﺮﻴﺨﻠﻟ
ﻻﻭ ﻚﺷ ﻥﺃ ﻊﻨﻣ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﺔﻋﺪﺒﻟﺍ ﻩﺬﻫ
ﺓﺮﻜﻨﻤﻟﺍ ﺀﺎﻴﺣﺇ ﻪﻴﻓ ،ﺔﻨﺴﻠﻟ ﻪﺗﺎﻣﺇﻭ
،ﺔﻋﺪﺒﻠﻟ ﺢﺘﻓﻭ ﺮﻴﺜﻜﻟ ﺏﺍﻮﺑﺃ ﻦﻣ
،ﺮﻴﺨﻟﺍ ﻖﻠﻏﻭ ﺮﻴﺜﻜﻟ ﻦﻣ ﺏﺍﻮﺑﺃ
ﺮﺸﻟﺍ ، ﻥﻮﻔﻠﻜﺘﻳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻥﺈﻓ ﺎﻔﻠﻜﺗ
،ﺍﺮﻴﺜﻛ ﻱﺩﺆﻳ ﻰﻟﺇ ﻥﺃ ﻥﻮﻜﻳ ﻚﻟﺫ
ﻊﻨﺼﻟﺍ ﻪﻧﺎﺤﺒﺳ ﻪﻠﻟﺍﻭ.ﺎﻣﺮﺤﻣ ﻰﻟﺎﻌﺗﻭ
.ﻢﻠﻋﺃ
ﻪﺒﺘﻛ ﻲﺠﺗﺮﻤﻟﺍ ﻦﻣ :ﻥﺍﺮﻔﻐﻟﺍ ﻪﺑﺭ
ﺪﻤﺣﺃ ﻲﻨﻳﺯ ﻦﺑ ﻥﻼﺣﺩ - ﻲﺘﻔﻣ
ﺔﻴﻌﻓﺎﺸﻟﺍ ﺔﻴﻤﺤﻤﻟﺍ ﺔﻜﻤﺑ - ﺮﻔﻏ ﻪﻠﻟﺍ
،ﻪﻟ ،ﻪﺨﻳﺎﺸﻣﻭ ،ﻪﻳﺪﻟﺍﻮﻟﻭ
.ﻦﻴﻤﻠﺴﻤﻟﺍﻭ
ﺪﻤﺤﻟﺍ) (ﻪﻠﻟ ﻦﻣ ﺪﻤﻣ ﻥﻮﻜﻟﺍ ﺪﻤﺘﺳﺃ
،ﻢﻌﻧ.ﻥﻮﻌﻟﺍﻭ ﻖﻴﻓﻮﺘﻟﺍ ﻲﻟﺍﻭ ﺏﺎﺜﻳ
ﺮﻣﻻﺍ - ﻒﻋﺎﺿ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻟ ،ﺮﺟﻻﺍ ﻩﺪﻳﺃﻭ
ﻩﺪﻴﻳﺄﺘﺑ - ﻢﻬﻌﻨﻣ ﻰﻠﻋ ﻦﻋ ﻚﻠﺗ ﺭﻮﻣﻻﺍ
ﻲﺘﻟﺍ ﻲﻫ ﻉﺪﺒﻟﺍ ﻦﻣ ﺔﺤﺒﻘﺘﺴﻤﻟﺍ ﺪﻨﻋ
.ﺭﻮﻬﻤﺠﻟﺍ
ﻝﺎﻗ ﻲﻓ ﺭﺎﺘﺤﻤﻟﺍ ﺩﺭ) ﺖﺤﺗ ﻝﻮﻗ ﺭﺍﺪﻟﺍ
(ﺭﺎﺘﺨﻤﻟﺍ ﺎﻣ :ﻪﺼﻧ ﻝﺎﻗ :ﺢﺘﻔﻟﺍ ﻲﻓ
ﻥﺍﺮﻴﺠﻟ ﺐﺤﺘﺴﻳﻭ ﻞﻫﺃ ،ﺖﻴﻤﻟﺍ
ﺔﺌﻴﻬﺗ ،ﺪﻋﺎﺑﻻﺍ ﺀﺎﺑﺮﻗﻻﺍﻭ ﻡﺎﻌﻃ ﻢﻬﻟ
ﻢﻬﻌﺒﺸﻳ ،ﻢﻬﺘﻠﻴﻟﻭ ﻢﻬﻣﻮﻳ ﻪﻟﻮﻘﻟ :(ﺹ)
ﺍﻮﻌﻨﺻﺍ ﻝﻵ ﺮﻔﻌﺟ
ﺎﻣﺎﻌﻃ
ﺎﻣ) ﻢﻫﺀﺎﺟ ﺪﻘﻓ ﻪﻨﺴﺣ.ﻢﻬﻠﻐﺸﻳ ﺎﻣ
،ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ .ﻢﻛﺎﺤﻟﺍ ﻪﺤﺤﺻﻭ
ﻪﻧﻻﻭ ،ﻑﻭﺮﻌﻣﻭ ﺮﺑ ﺢﻠﻳﻭ ﻢﻬﻴﻠﻋ ﻲﻓ
،ﻞﻛﻻﺍ ﻥﺰﺤﻟﺍ ﻥﻻ ﻢﻬﻌﻨﻤﻳ ﻦﻣ ،ﻚﻟﺫ
:ﺎﻀﻳﺃ ﻝﺎﻗﻭ.ﺬﺌﻨﻴﺣ ﻥﻮﻔﻌﻀﻴﻓ ﻩﺮﻜﻳﻭ
ﺔﻓﺎﻴﻀﻟﺍ ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﻦﻣ ﻦﻣ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻞﻫﺃ ،
ﻪﻧﻻ ﻉﺮﺷ ،ﺭﻭﺮﺴﻟﺍ ﻲﻓ ﻲﻫﻭ ﻯﻭﺭ.ﺔﻋﺪﺑ
ﻡﺎﻣﻻﺍ ﺪﻤﺣﺃ ﻦﺑﺍﻭ ﺩﺎﻨﺳﺈﺑ ﻪﺟﺎﻣ
،ﺢﻴﺤﺻ ﻦﻋ ﺮﻳﺮﺟ ﻦﺑ ﺪﺒﻋ ،ﻪﻠﻟﺍ :ﻝﺎﻗ
ﺎﻨﻛ ﻉﺎﻤﺘﺟﻻﺍ ﺪﻌﻧ ﻰﻟﺇ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻞﻫﺃ
ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﻢﻬﻌﻨﺻﻭ .ﻩﺍ.ﺔﺣﺎﻴﻨﻟﺍ ﻦﻣ
:ﺯﺍﺰﺒﻟﺍ ﻲﻓﻭ ﻩﺮﻜﻳﻭ ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﺫﺎﺨﺗﺍ
ﻡﻮﻴﻟﺍ ﻲﻓ ﺚﻟﺎﺜﻟﺍﻭ ﻝﻭﻻﺍ ﺪﻌﺑﻭ
ﻉﻮﺒﺳﻻﺍ ، ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﻞﻘﻧﻭ ﻰﻟﺇ ﺮﺒﻘﻟﺍ
ﻢﺳﺍﻮﻤﻟﺍ ﻲﻓ ﻪﻣﺎﻤﺗﻭ.ﺦﻟﺇ ،ﻪﻴﻓ ﻦﻤﻓ
ﻪﻧﺎﺤﺒﺳ ﻪﻠﻟﺍﻭ.ﻊﺟﺍﺮﻴﻠﻓ ﺀﺎﺷ ﻰﻟﺎﻌﺗﻭ
ﻡﺩﺎﺧ ﻪﺒﺘﻛ.ﻢﻠﻋﺃ ﺔﻌﻳﺮﺸﻟﺍ
:ﺝﺎﻬﻨﻤﻟﺍﻭ ﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﺑ ﺪﺒﻋ ﻪﻠﻟﺍ
،ﻲﻔﻨﺤﻟﺍ ،ﺝﺍﺮﺳ ﻲﺘﻔﻣ ﺔﻣﺮﻜﻤﻟﺍ ﺔﻜﻣ -
ﻪﻠﻟﺍ ﻥﺎﻛ ﺎﻤﻬﻟ ﺎﻴﻠﺼﻣ ﺍﺪﻣﺎﺣ ﺎﻤﻠﺴﻣ
Terjemahan kalimat yang telah
digaris bawahi di atas, di dalam
Kitab I'anatut Thalibin :
1. Ya, apa yang dikerjakan
orang, yaitu berkumpul di
rumah keluarga mayit dan
dihidangkannya makanan
untuk itu, adalah termasuk
Bid'ah Mungkar , yang bagi
orang (ulil amri) yang
melarangnya akan diberi
pahala.
2. Dan apa yang telah menjadi
kebiasaan, ahli mayit
membuat makanan untuk
orang-orang yang diundang
datang padanya, adalah
Bid'ah yang dibenci .
3. Dan tidak diragukan lagi
bahwa melarang orang-orang
untuk melakukan Bid'ah
Mungkarah itu (Haulan/
Tahlilan : red) adalah
menghidupkan Sunnah,
mematikan Bid'ah, membuka
banyak pintu kebaikan, dan
menutup banyak pintu
keburukan.
4. Dan dibenci bagi para tamu
memakan makanan keluarga
mayit, karena telah
disyari'atkan tentang
keburukannya, dan perkara
itu adalah Bid'ah. Telah
diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Ibnu Majah
dengan sanad yang Shahih,
dari Jarir ibnu Abdullah,
berkata : "Kami menganggap
berkumpulnya manusia di
rumah keluarga mayit dan
dihidangkan makanan , adalah
termasuk Niyahah"
5. Dan dibenci
menyelenggarakan makanan
pada hari pertama, ketiga,
dan sesudah seminggu dst.
Hasil scan halaman kitab I'anatut
Thalibin Juz 2 hal. 165 -166
Muhammadiyah, PERSIS dan Al
Irsyad, sepakat mengatakan bahwa
Tahlilan (Selamatan Kematian)
adalah perkara bid'ah, dan harus
ditinggalkan
Dari Thalhah: "Sahabat Jarir
mendatangi sahabat Umar, Umar
berkata: Apakah kamu sekalian suka
meratapi mayat? Jarir menjawab:
Tidak, Umar berkata: Apakah di antara
wanita-wanita kalian semua suka
berkumpul di rumah keluarga mayit
dan memakan hidangannya? Jarir
menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu
sama dengan meratap". (al-Mashnaf
ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-
Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari
Sa'ied bin Jabir dan dari Khaban al-
Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula
oleh Abd al-Razaq: "Merupakan
perbuatan orang-orang jahiliyyah
niyahah , hidangan dari keluarga mayit,
dan menginapnya para wanita di
rumah keluarga mayit". (al-Mashnaf
Abd al-Razaq al-Shan'any (Beirut: al-
Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal
550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi
Syaibah dengan lafazh berbeda
melalui sanad Fudhalah bin Hashien,
Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari
Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah
berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa
dari Tsabit dari Qais, beliau berkata:
saya melihat Umar bin Abdul Aziz
melarang keluarga mayit mengadakan
perkumpulan, kemudian berkata:
kalian akan mendapat bencana dan
akan merugi".
Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah
berbicara kepada kami, Waki' bin
Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin
Khabab al Bukhtary, beliau berkata:
Makanan yang dihidangkan keluarga
mayat adalah merupakan bagian dari
perbuatan Jahiliyah dan meratap
merupakan bagian dari perbuatan
jahiliyah".
Syekh
Nawawi al-
Bantani,
Syekh
Arsyad al-
Banjary
dan Syekh
Nuruddin
ar- Raniry
yang
merupakan
peletak
dasar-dasar
pesantren di Indonesia pun masih
berpegang kuat dalam menganggap
buruknya selamatan kematian itu.
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai
dengan tuntunan syara' adalah
dianjurkan, namun tidak boleh
dikaitkan dengan hari ke tujuh atau
hari- hari lainnya, sementara menurut
Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan
di antara orang-orang yang melakukan
shadaqah untuk mayit dengan
dikaitkan terhadap hari ketiga dari
kematiannya, atau hari ke tujuh, atau
keduapuluh, atau keempatpuluh, atau
keseratus dan sesudahnya hingga
dibiasakan tiap tahun dari
kematiannya, padahal hal tersebut
hukumnya makruh. Demikian pula
makruh hukumnya menghidangkan
makanan yang ditujukan bagi orang-
orang yang berkumpul pada malam
penguburan mayit (biasa disebut al-
wahsyah), bahkan haram
hukumhukumnya biayanya berasal dari
harta anak yatim”. (an-Nawawy al-
Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-
Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal
281).
Pernyataan senada juga diungkapkan
Muhammad Arsyad al-Banjary
dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut:
Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta
Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-
Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II,
hal 50) Dari majalah al-Mawa'idz
yang diterbitkan oleh NU pada tahun
30-an , menyitir pernyataan Imam al-
Khara'ithy yang dilansir oleh kitab al-
Aqrimany disebutkan: "al-Khara'ithy
mendapat keterangan dari Hilal bin
Hibban r.a, beliau berkata:
'Penghidangan makanan oleh keluarga
mayit merupakan bagian dari
perbuatan orang-orang jahiliyah'.
kebiasaan tersebut oleh masyarakat
sekarang sudah dianggap sunnah, dan
meninggalkannya berarti bid'ah, maka
telah terbalik suatu urusan dan telah
berubah suatu kebiasaan'. (al-
Aqrimany dalam al-Mawa'idz;
Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18,
hal.286).
Scan Kitab Kuning Sabilal
Muhtadin (versi Arab Melayu)
ditulis oleh Syaikh Muhammad
Arsyad Al Banjari (bemazhab
Syafi'i) . Pada halaman 87 juz 2 ,
beliau mengatakan :
Makruh lagi bid'ah bagi yang
kematian memperbuat makanan
yang diserukannya sekalian
manusia atas memakannya,
sebelum dan sesudah kematian
seperti yang sudah menjadi
kebiasaan di masyarakat
Scan halaman Kitab yang ditulis
oleh Syaikh Muhammad
Arsyad Al Banjari , seorang
ulama besar dari Kalimantan
Selatan yang bermazhab Syafi'i.
Beliau mengatakan :
"Makruh lagi bid'ah bagi yang
kematian membikin makanan
untuk dimakan oleh orang banyak
baik sebelum maupun sesudah
mengubur seperti kebiasaan
dikerjakan oleh masyarakat".
Lihat hal. 741 alinea terakhir
Buku Jilid 2, Bab Jenazah.
Al Mawa'idz merupakan sebuah nama
bagi majalah yang dikelola oleh
organisasi Nahdatul Ulama
Tasikmalaya, terbit sekitar pada tahun
30-an. Di dalam majalah ini, pihak NU
(yang biasa dikenal sebagai pendukung
acara prevalensi perjamuan tahlilan)
menyatakan sikap yang sebenarnya
terhadap kedudukan hukum prevalensi
tersebut. Berikut kutipannya :
Tjindekna ngadamel rioengan di
noe kapapatenan teh, ngalanggar
tiloe perkara :
1. Ngabeuratkeun ka ahli majit;
enja ari teu menta tea mah,
orokaja da ari geus djadi adat mah
sok era oepama henteu teh . Geura
oepama henteu sarerea mah ?
2. Ngariweuhkeun ka ahli majit;
keur mah loba kasoesah koe
katinggal maot oge, hajoh
ditambahan.
3. Njoelajaan Hadits, koe hadits
mah ahli majit noe koedoe di bere
koe oerang, ieu mah hajoh oerang
noe dibere koe ahli majit.
Kesimpulannya mengadakan
perjamuan di rumah keluarga mayat
yang sedang berduka cita, berarti telah
melanggar tiga hal :
1. Membebani keluarga mayat,
walaupun tidak meminta untuk
menyuguhkan makanan, namun
apabila sudah menjadi kebiasaan,
maka keluarga mayat akan menjadi
malu apabila tidak menyuguhkan
makanan. Tetapi coba kalau semua
orang tidak melakukan hal serupa itu ?
2. Merepotkan keluarga mayat, sudah
kehilangan anggota keluarga yang
dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits.
Menurut hadits justru kita tetangga
yang harus mengirimkan makanan
kepada keluarga mayat yang sedang
berduka cita, bukan sebaliknya.
Kemudian ditempat lain :
Tah koe katerangan Sajjid Bakri
dina ieu kitab I'anah geuning geus
ittifaq oelama-oelama madhab noe
4 kana paadatan ittiehadz tho'am
(ngayakeun kadaharan) ti ahli
majit noe diseboetkeun njoesoer
tanah, tiloena, toejoehna dj.s.t.
njeboetkeun bid'ah moenkaroh.
Nah, berdasarkan keterangan Sayid
Bakr di dalam kitab I'anah tersebut,
ternyata para ulama dari 4 mazhab
telah menyepakati bahwa kebiasaan
keluarga mayit mengadakan
perjamuan yang biasa disebut dengan
istilah Nyusur Tanah, tiluna (hari
ketiganya), tujuhnya (hari ketujuhnya),
dst, merupakan perbuatan bid'ah yang
tidak disukai agama.
Selanjutnya :
Koeninga koe ieu toekilan-toekilan
noe ngahoekoeman bid'ah
moenkaroh, karohah haram teh
geuning oelama-oelama ahli
soennah wal Djama'ah, lain bae
Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz.
Doeka anoe ngahoekoeman
soennat naha ahli Soennah wal
Djama'ah atawa sanes ?
Melalui kutipan-kutipan tersebut,
diketahui bahwa sebenarnya yang
menghukumi bid'ah mungkarah itu
ternyata ulama-ulama Ahlu Sunnah wal
Jama'ah, bukan hanya majalah
Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz.
Tidak tahu siapa yang menghukumi
sunnat, apakah Ahlu Sunnah wal
Jama'ah atau bukan ?
Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa
warga Nu pada waktu itu sepakat
pandangannya terhadap hukum
prevalensi perjamuan tahlilan, yaitu
bid'ah yang dimakruhkan dengan
makruh tahrim, (menjadi haram karena
sebab lain) apabila biaya
penyelenggaraan acara tersebut
berasal dari tirkah mayit (peninggalan
mayit) yang di dalamnya terdapat ahli
waris yang belum baligh atau mahjur
'alaihi ( di bawah pengampuan/
curatel).
Demikian isi majalah tersebut. [Al
Mawa'dz; Pangrodjong Nahdlatoel
Oelama Tasikmalaya (Tasikmalaya:
Nahdlatoel Oelama, 1933)]
Dan para ulama berkata: "Tidak
pantas orang Islam mengikuti
kebiasaan orang Kafir, oleh karena itu
setiap orang seharusnya melarang
keluarganya dari menghadiri acara
semacam itu". (al-Aqrimany hal 315
dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong
Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th.
1933, No. 18, hal.285) Al-Sayyid al-
Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam
kitabnya I'anah at- Thalibien
menghukumi makruh berkumpul
bersama di tempat keluarga mayat,
walaupun hanya sebatas untuk
berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan
dengan proses perjamuan tahlilan.
Beliau justru menganjurkan untuk
segera meninggalkan keluarga
tersebut, setelah selesai
menyampaikan ta'ziyah. (al-Sayyid al-
Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-
Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz
II, hal 146)
Ibn Taimiyah ketika menjawab
pertanyaan tentang hukum dari al-
Ma'tam: "Tidak diterima keterangan
mengenai perbuatan tersebut apakah
itu hadits shahih dari Nabi, tidak pula
dari sahabat-sahabatnya, dan tidak
ada seorangpun dari imam-imam
muslimin serta dari imam madzhab
yang empat (Imam Hanafy, Imam
Maliki, Imam Syafi'i, Imam Ahmad)
juga dari imam-imam yang lainnya,
demikian pula tidak terdapat
keterangan dari ahli kitab yang dapat
dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi,
sahabat, tabi'ien, baik shahih maupun
dlaif, serta tidak terdapat baik dalam
kitab-kitab shahih, sunan-sunan
ataupun musnad-musnad, serta tidak
diketahui pula satupun dalam hadits-
hadits dari zaman nabi dan sahabat.
" Menurut pendapat Mufty Makkah al-
Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan
yang dilansir dalam kitab I'anah at-
Thalibien: "Tidak diragukan lagi
bahwa mencegah masyarakat dari
perbuatan bid'ah munkarah
tersebut adalah mengandung arti
menghidupkan sunnah dan
mematikan bid'ah, sekaligus
berarti menbuka banyak pintu
kebaikan dan menutup banyak
pintu keburukan" . (al-Sayyid al-Bakry
Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-
Thalibien juz II, hal 166) Memang
seolah-olah terdapat banyak unsur
kebaikan dalam tahlilan itu, namun
bila dikembalikan ke dalam hukum
agama dimana Hadits ke-5 Arba’in an-
Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul
mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah
radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa
yang mengada-adakan sesuatu dalam
urusan agama kami ini yang bukan dari
kami, maka dia tertolak". (Bukhari no.
2697, Muslim no. 1718)
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah
instrumen untuk menjaga kemurnian
Islam ini meskipun sampai akhir
zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi.
Dibalik larangan bid’ah terkandung
hikmah yang sangat besar,
membentengi perubahan- perubahan
dalam agama akibat arus pemikiran
dan adat istiadat dari luar Islam. Bila
pada umat-umat terdahulu telah
menyeleweng agamanya, Allah
mengutus Rasul baru, maka pada
umat Muhammad ini Allah tidak akan
mengutus Rasul lagi sampai kiamat,
namun membangkitkan orang yang
memperbarui agamanya seiring
penyelewengan yang terjadi. Ibadah
yang disunnahkan dibandingkan
dengan yang diada-adakan hakikatnya
sangat berbeda, bagaikan uang/ijazah
asli dengan uang/ijazah palsu,
meskipun keduanya tampak sejenis.
Yang membedakan 72 golongan ahli
neraka dengan 1 golongan ahli surga
adalah sunnah dan bid’ah. Umat ini
tidak berpecahbelah sehebat
perpecahan yang diakibatkan oleh
bid’ah. Perpecahan umat akibat
perjudian, pencurian, pornografi, dan
kemaksiatan lain akan menjadi jelas
siapa yang berada di pihak Islam dan
sebaliknya. Sedang perpecahan akibat
bid’ah senantiasa lebih rumit, kedua
belah pihak yang bertikai kelihatannya
sama-sama alim. Ibn Abbas r.a
berkata: "Tidak akan datang suatu
zaman kepada manusia, kecuali pada
zaman itu semua orang mematikan
sunnah dan menghidupkan bid'ah,
hingga matilah sunnah dan hiduplah
bid'ah. tidak akan ada orang yang
berusaha mengamalkan sunnah dan
mengingkari bid'ah, kecuali orang
tersebut diberi kemudahan oleh Allah
di dalam menghadapi segala kecaman
manusia yang diakibatkan karena
perbuatannya yang tidak sesuai
dengan keinginan mereka serta karena
ia berusaha melarang mereka
melakukan apa yang sudah dibiasakan
oleh mereka, dan barangsiapa yang
melakukan hal tersebut, maka Allah
akan membalasnya dengan berlipat
kebaikan di alam Akhirat".(al- Aqriman
y hal 315 dalam al-Mawa'idz;
Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)
Sekali lagi kami ulangi...
Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-
Mawa'idz bahwa mengadakan
perjamuan di rumah keluarga mayit
berarti telah melanggar tiga hal:
1. Membebani keluarga mayit,
walaupun tidak meminta untuk
menyuguhkan makanan, namun
apabila sudah menjadi
kebiasaan, maka keluarga mayit
akan menjadi malu apabila tidak
menyuguhkan makanan.
2. Merepotkan keluarga mayit,
sudah kehilangan anggota
keluarga yang dicintai, ditambah
pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan
hadits. Menurut hadits, justeru
kita (tetangga) yang harus
mengirimkan makanan kepada
keluarga mayit yang sedang
berduka cita, bukan sebaliknya.
(al-Mawa'idz; Pangrodjong
Nahdlatoel 'Oelama
Tasikmalaya, hal 200)
Kemudian, berdasarkan keterangan
Sayid Bakr di dalam kitab 'Ianah,
ternyata para ulama dari empat
madzhab telah menyepakati bahwa
kebiasaan keluarga mayit mengadakan
perjamuan yang biasa disebut dengan
istilah nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst
merupakan perbuatan bid'ah yang
tidak disukai agama (hal 285). Melalui
kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah
bahwa sebenarnya yang menghukumi
bid'ah munkarah itu ternyata ulama-
ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah,
bukan hanya (majalah) Attobib, al-
moemin, al-Mawa'idz. tidak tau siapa
yang menghukumi sunat, apakah Ahl
as-Sunnah wa al-Jamaah atau bukan
(hal 286). Dan dapat dipahami dari
dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari
menghidangkan makanan oleh keluarga
mayit adalah bid'ah yang dimakruhkan
dengan makruh tahrim (makruh yang
identik dengan haram). demikian
dikarenakan hukum dari niyahah
adalah haram, dan apa yang
dihubungkan dengan haram, maka
hukumnya adalah haram". (al-
Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa'idz;
Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)
Kita tidaklah akan lepas dari
kesalahan, termasuk kesalahan akibat
ketidaktahuan, ketidaksengajaan,
maupun ketidakmampuan. Namun
jangan sampai kesalahan yang kita
lakukan menjadi sebuah kebanggaan.
Baik yang menghukumi haram maupun
makruh, sebagaimana halnya rokok,
tahlilan, dll selayaknya diusahakan
untuk ditinggalkan, bukan dibela-bela
dan dilestarikan.
BERIKUT INI ADALAH
FATWA-FATWA DARI ULAMA
4 MADZHAB MENGENAI
SELAMATAN KEMATIAN
I. MADZHAB HANAFI
HASYIYAH IBN ABIDIEN
Dimakruhkan hukumnya
menghidangkan makanan oleh
keluarga mayit, karena hidangan
hanya pantas disajikan dalam
momen bahagia, bukan dalam
momen musibah, hukumnya
buruk apabila hal tersebut
dilaksanakan. Imam Ahmad dan
Ibnu Majah meriwayatkan hadits
dengan sanad yang shahih dari
sahabat Jarir bin Abdullah, beliau
berkata: "Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul
di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari
niyahah". Dan dalam kitab al-
Bazaziyah dinyatakan bahwa
makanan yang dihidangkan pada
hari pertama, ketiga, serta
seminggu setelah kematian
makruh hukumnya. (Muhammad
Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar
'ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar
al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)
AL-THAHTHAWY
Hidangan dari keluarga mayit
hukumnya makruh, dikatakan
dalam kitab al- Bazaziyah bahwa
hidangan makanan yang disajikan
P ADA HARI PERTAMA,
KETIGA, SERTA SEMINGGU
SETELAH KEMATIAN MAKRUH
HUKUMNYA. (Ahmad bin
Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah
'ala Muraqy al-Falah (Mesir:
Maktabah al-Baby al-Halaby,
1318), juz I hal 409).
IBN ABDUL WAHID
SIEWASY
Dimakruhkan hukumnya
menghidangkan makanan oleh
keluarga mayit, karena hidangan
hanya pantas disajikan dalam
momen bahagia, bukan dalam
momen musibah. hukumnya
bid'ah yang buruk apabila hal
tersebut dilaksanakan. Imam
Ahmad dan Ibnu Majah
meriwayatkan sebuah hadits
dengan sanad yang shahih dari
sahabat Jarir bin Abdullah, beliau
berkata: "Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul
di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari
niyahah". (Ibn Abdul Wahid
Siewasy, Syarh Fath al-Qadir
(Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal
142)
II.MADZHAB MALIKI
AL-DASUQY
Adapun berkumpul di dalam
rumah keluarga mayit yang
menghidangkan makanan
hukumnya bid'ah yang
dimakruhkan . (Muhammad al-
Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy 'ala
al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-
Fikr) juz I, hal 419)
ABU ABDULLAH AL-
MAGHRIBY
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut dimakruhkan oleh
mayoritas ulama, bahkan mereka
menganggap perbuatan tersebut
sebagai bagian dari bid'ah ,
karena tidak didapatkannya
keterangan naqly mengenai
perbuatan tersebut, dan momen
tersebut tidak pantas untuk
dijadikan walimah (pesta)...
adapun apabila keluarga mayit
menyembelih binatang di
rumahnya kemudian dibagikan
kepada orang- orang fakir
sebagai shadaqah untuk mayit
diperbolehkan selama hal
tersebut tidak menjadikannya
riya, ingin terkenal, bangga, serta
dengan syarat tidak boleh
mengumpulkan masyarakat. (Abu
Abdullah al-Maghriby, Mawahib
al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil
(Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II,
hal 228)
III.MADZHAB SYAFI’I
AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut, hukumnya bid'ah
yang tidak disunnahkan .
(Muhammad al-Khathib al-
Syarbiny, Mughny al-Muhtaj
(Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386)
Adapun kebiasaan keluarga mayit
menghidangkan makanan dan
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut, hukumnya bid'ah
yang tidak disunnahkan.
(Muhammad al-Khathib al-
Syarbiny, al-Iqna' li al-Syarbiny
(Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I,
hal 210)
AL-QALYUBY
Guru kita al-Ramly telah berkata:
sesuai dengan apa yang
dinyatakan di dalam kitab al-
Raudl (an-Nawawy), sesuatu
yang merupakan bagian dari
perbuatan bid'ah munkarah
yang tidak disukai
mengerjakannya adalah yang
biasa dilakukan oleh masyarakat
berupa menghidangkan makanan
untuk mengumpulkan tetangga,
baik sebelum maupun sesudah
hari kematian.(a l- Qalyuby,
Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia:
Maktabah Dar Ihya;') juz I, hal
353)
AN-NAWAWY
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit berikut
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut tidak ada dalil
naqlinya, dan hal tersebut
merupakan perbuatan bid'ah
yang tidak disunnahkan. (an-
Nawawy, al-Majmu' (Beirut: Dar
al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN
HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan
dari pada penghidangan
makanan oleh keluarga mayit,
dengan tujuan untuk mengundang
masyarakat, hukumnya bid'ah
munkarah yang dimakruhkan,
berdasarkan keterangan yang
shahih dari sahabat Jarir bin
Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy,
Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-
Fikr) juz I, hal 577)
AL-SAYYID AL-BAKRY ABU
BAKR AL-DIMYATI
Dan sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan dari pada
penghidangan makanan oleh
keluarga mayit, dengan tujuan
untuk mengundang masyarakat,
hukumnya bid'ah yang
dimakruhkan , seperti hukum
mendatangi undangan tersebut,
berdasarkan keterangan yang
shahih dari sahabat Jarir bin
Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu
Bakr al-Dimyati, I'anah at-
Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz
II, hal 146)
AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang
dihidangkan oleh keluarga mayit
pada hari ketiga, keempat, dan
sebagainya, berikut
berkumpulnya masyarakat
dengan tujuan sebagai
pendekatan diri serta
persembahan kasih sayang
kepada mayit, hukumnya bid'ah
yang buruk dan merupakan
bagian dari perbuatan jahiliyah
yang tidak pernah muncul pada
abad pertama Islam, serta
bukan merupakan bagian dari
pekerjaan yang mendapat pujian
oleh para ulama. justeru para
ulama berkata: tidak pantas bagi
orang muslim mengikuti
perbuatan-perbuatan yang biasa
dilakukan oleh orang kafir.
seharusnya setiap orang
melarang keluarganya menghadiri
acara-acara tersebut. ((al-
Aqrimany hal 314 dalam al-
Mawa'idz; Pangrodjong
Nahdlatoel 'Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18,
hal.285)
RAUDLAH AL-THALIBIEN
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dan
pengumpulan masyarakat
terhadap acara tersebut, tidak
ada dalil naqlinya, bahkan
perbuatan tersebut hukumnya
bid'ah yang tidak
disunnahkan. (Raudlah al-
Thalibien (Beirut: al- Maktab al-
Islamy, 1405) juz II, hal 145)
IV. MADZHAB HAMBALI
IBN QUDAMAH AL-
MAQDISY
Adapun penghidangan makanan
untuk orang-orang yang dilakukan
oleh keluarga mayit, hukumnya
makruh. karena dengan demikian
berarti telah menambahkan
musibah kepada keluarga mayit,
serta menambah beban,
sekaligus berarti telah
menyerupai apa yang biasa
dilakukan oleh orang-orang
jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa
Jarir mengunjungi Umar,
kemudian Umar berkata:
"Apakah kalian suka berkumpul
bersama keluarga mayat yang
kemudian menghidangkan
makanan?" Jawab Jarir: "Ya".
Berkata Umar: "Hal tersebut
termasuk meratapi mayat" .
Namun apabila hal tersebut
dibutuhkan, maka diperbolehkan,
seperti karena diantara pelayat
terdapat orang-orang yang jauh
tempatnya kemudian ikut
menginap, sementara tidak
memungkinkan mendapat
makanan kecuali dari hidangan
yang diberikan dari keluarga
mayit. (Ibn Qudamah al-
Maqdisy, al-Mughny (Beirut: Dar
al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)
ABU ABDULLAH IBN
MUFLAH AL-MAQDISY
Sesungguhnya disunahkan
mengirimkan makanan apabila
tujuannya untuk (menyantuni)
keluarga mayit, tetapi apabila
makanan tersebut ditujukan bagi
orang-orang yang sedang
berkumpul di sana, maka
hukumnya makruh, karena
berarti telah membantu
terhadap perbuatan makruh;
demikian pula makruh hukumnya
apabila makanan tersebut
dihidangkan oleh keluarga mayit)
kecuali apabila ada hajat,
tambah sang guru [Ibn
Qudamah] dan ulama lainnya).(A
bu Abdullah ibn Muflah al-
Maqdisy, al-Furu' wa Tashhih al-
Furu' (Beirut: Dar al-Kutab, 1418)
juz II, hal 230-231)
ABU ISHAQ BIN MAFLAH
AL-HANBALY
Menghidangkan makanan setelah
proses penguburan merupakan
bagian dari niyahah, menurut
sebagian pendapat haram,
kecuali apabila ada hajat,
(tambahan dari al-Mughny).
Sanad hadits tentang masalah
tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu
Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-
Mabda' fi Syarh al-
Miqna' (Beirut: al-Maktab al-
Islamy, 1400) juz II, hal 283)
MANSHUR BIN IDRIS AL-
BAHUTY
Dan dimakruhkan bagi keluarga
mayit untuk menghidangkan
makanan kepada para tamu,
berdasarkan keterangan riwayat
Imam Ahmad dari Shahabat Jarir.
(Manshur bin Idris al-Bahuty, al-
Raudl al-Marbi' (Riyadl:
Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah,
1390) juz I, hal 355)
KASYF AL-QANA'
Menurut pendapat Imam Ahmad
yang disitir oleh al-Marwadzi,
perbuatan keluarga mayit yang
menghidangkan makanan
merupakan kebiasaan orang
jahiliyah, dan beliau sangat
mengingkarinya...dan
dimakruhkan keluarga mayit
menghidangkan makanan (bagi
orang-orang yang sedang
berkumpul di rumahnya kecuali
apabila ada hajat, seperti karena
di antara para tamu tersebut
terdapat orang-orang yang
tempat tinggalnya jauh, mereka
menginap di tempat keluarga
mayit, serta secara adat tidak
memungkinkan kecuali orang
tersebut diberi makan), demikian
pula dimakruhkan mencicipi
makanan tersebut. Apabila biaya
hidangan makanan tersebut
berasal dari peninggalan mayit,
sedang di antara ahli warisnya
terdapat orang (lemah) yang
berada di bawah pengampuan,
atau terdapat ahli waris yang
tidak memberi izin, maka haram
hukumnya melakukan
penghidangan tersebut. (Kasyf al-
Qina' (Beirut: Dar al-Fikr, 1402)
juz II, hal 149)
IBN TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan
yang dilakukan keluarga mayit
(dengan tujuan) mengundang
manusia ke acara tersebut, maka
sesungguhnya perbuatan
tersebut bid'ah , berdasarkan
perkataan Jarir bin Abdillah:
"Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul
di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari
niyahah". (Ibn Taimiyah, Kutub
wa Rasail wa Fatawa Ibn
Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah
Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)
Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat,
bila ada kesalahan mohon maaf dan
koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-
saudara kita sebagai upaya untuk
memperbaiki umat Islam ini
Di rujuk kepada tulisan:
Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur'an.
Dengan editing dan penambahan literatur
dan gambar halaman buku yang discan
oleh Anwar Baru Belajar.
http://www.facebook.com/note.php?
note_id=402269969650&id=203164362857
&ref=mf
_________________________________________
______________
Catatan Tepi untuk direnungi:
Termasuk dalam kategori
hukum yang manakah
Tahlilan [selamatan
Kematian] ?
Klasifikasi hukum dalam Islam secara
umum ada 5 (lima) kalau tidak
termasuk; Shahih, Rukhsoh, Bathil,
Rukun, Syarat dan 'Azimah.(Mabadi'
awaliyyah, Abd Hamid Hakim)
1. Wajib : Apabila dikerjakan
berpahala, ditinggalkan berdosa.
2. Sunnah/Mandub :
Apabila dikerjakan berpahala,
ditinggalkan tidak apa-apa.
3. Mubah : Tidak bernilai,
dikerjakan atau tidak dikerjakan
tidak mempunyai nilai.
4. Makruh : Dibenci, apabila
dikerjakan dibenci, apabila
ditinggalkan berpahala.
5. Haram : Dikerjakan berdosa,
ditinggalkan berpahala.
Pertanyaan :
1. Apakah Tahlilan [yang
dimaksud :Selamatan Kematian] di
dalamnya terkandung ibadah ?
2. Termasuk dalam hukum yang mana
Tahlilan tersebut ?
Jawab :
1. Karena didalamnya ada
pembacaan do'a, baca Yasin,
baca sholawat, baca Al Fatikhah,
maka ia termasuk ibadah.
Hukum asal ibadah adalah
"haram" dan "terlarang". Kalau
Allah dan Rasulullah tidak
memerintahkan, maka siapa
yang memerintahkan ? Apakah
yang memerintahkan lebih hebat
daripada Allah dan Rasulullah
2. Jika hukumnya "wajib", maka
bila dikerjakan berpahala, bila
tidak dikerjakan maka berdosa.
Maka bagi negara lain yang
penduduknya beragama Islam,
terhukumi berdosa karena tidak
mengerjakan. Ternyata tahlilan,
hanya di lakukan di sebagian
negara di Asia Tenggara
Wajibkah Tahlilan ? Ternyata
tidak, karena tidak ada perintah
Allah dan Rasul untuk melakukan
ritual tahlilan (Selamatan
Kematian : red)
Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia
bukan sunnah Rasul, sebab
Rasulullah sendiri belum pernah
mentahlili istri beliau, anak beliau
dan para syuhada.
Nah…..berarti hukumnya
bukan Wajib, juga bukan
Sunnah.
Kalau seandainya hukumnya
Mubah, maka untuk apa
dikerjakan, sebab ia tidak
mempunyai nilai (tidak ada
pahala dan dosa, kalau
dikerjakan atau ditinggalkan).
Sudah buang-buang uang dan
buang-buang tenaga, tetapi tidak
ada nilainya.
Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang
tersisa, yaitu Makruh dan Haram.
Makruh apabila dikerjakan
dibenci, apabila ditinggalkan
berpahala. Haram : Dikerjakan
berdosa, ditinggalkan berpahala.
Jadi….sekarang pilih yang mana ?
Masih mau melakukan atau tidak ?
__________________________
Wallahu a'lam