Tuesday, December 11, 2012

Pencuri dan Koruptor apakah sama hukumnya?

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Apa hukuman untuk koruptor?
Apakah sama hukumannya dengan
pencuri, yaitu potong tangan?
Terima kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Korupsi dan sanksi terhadap
pelakunya
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan
bahwa korupsi adalah,
“Penyelewengan atau penggelapan
(uang negara atau perusahaan dsb.)
untuk keuntungan pribadi atau
orang lain.” (KBBI Hal. 462).
Dari definisi di atas dapat
dipahami bahwa harta yang
diselewengkan oleh seorang
pegawai koruptor adakalanya harta
milik sekelompok orang tertentu,
seperti perusahaan atau harta
serikat dan adakalanya harta milik
semua orang, yaitu harta rakyat
atau harta milik negara.
Dalam tinjaun fikih, seorang
pegawai sebuah perusahaan atau
pegawai instansi pemerintahan,
ketika  dipilih untuk mengemban
sebuah tugas, sesungguhnya dia
diberi amanah untuk menjalankan
tugas yang telah dibebankan oleh
pihak pengguna jasanya, sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Karena beban amanah ini, dia
mendapat imbalan (gaji) atas tugas
yang dijalankannya. Ketika ia
menyelewengkan harta yang
diamanahkan, dan
mempergunakannya bukan untuk
sesuatu yang telah diatur oleh
pengguna jasanya, seperti dipakai
untuk kepentingan pribadi atau
orang lain dan bukan untuk
kemaslahatan yang telah diatur,
berarti dia telah berkhianat
terhadap amanah yang
diembannya.
Dalam syariat, pengkhianatan
terhadap harta negara dikenal
dengan ghulul. Sekalipun dalam
terminologi bahasa
Arab, ghulul berarti sikap seorang
mujahid yang menggelapkan harta
rampasan perang sebelum dibagi.
( Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-
Kuwaitiyah, XXXI/272).
Dalam buku Nadhratun
Na’im disebutkan bahwa di antara
hal yang termasuk ghulul adalah
menggelapkan harta rakyat umat
Islam (harta negara), berdasarkan
hadis yang diriwayatkan dari Al-
Mustaurid bin Musyaddad,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa
yang kami angkat sebagai aparatur
negara hendaklah dia menikah
(dengan biaya tanggungan negara).
Jika tidak mempunyai
pembantu rumah tangga hendaklah
dia mengambil pembantu (dengan
biaya tanggungan negara). Jika tidak
memiliki rumah hendaklah dia
membeli rumah (dengan biaya
tanggungan negara). (Nadhratun
Na`im, XI. Hlm. 5131)
Abu Bakar berkata, “Aku diberitahu
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa
(aparat) yang mengambil harta
negara selain untuk hal yang telah
dijelaskan sungguh ia telah
berbuat ghulul atau dia telah
mencuri”. (HR. Abu Daud. Hadis ini
dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Ibnu Hajar Al Haitami (wafat: 974
H) berkata, “Sebagian para ulama
berpendapat bahwa menggelapkan
harta milik umat Islam yang berasal
dari baitul maal (kas negara)
dan zakat termasuk ghulul “. ( Az
Zawajir an Iqtirafil Kabair , jilid II,
Hal. 293).
Istilah ghulul untuk korupsi harta
negara juga disetujui oleh komite
fatwa kerajaan Arab Saudi, dalam
fatwa No. 9450, yang berbunyi,
“ Ghulul , yaitu: mengambil sesuatu
dari harta rampasan perang
sebelum dibagi oleh pimpinan
perang dan termasuk
juga ghulul harta yang diambil
dari baitul maal (uang negara)
dengan cara berkhianat (korupsi)”.
( Fataawa Lajnah Daimah, jilid XII,
Hal 36.)
Ini juga hasil tarjih Dr. Hanan
Malikah dalam pembahasan takyiif
fiqhiy (kajian fikih untuk
menentukan bentuk kasus) tentang
korupsi. (Jaraimul Fasad fil Fiqhil
Islami, Hal. 99)
Hukum Potong Tangan untuk
Koruptor
Apakah koruptor dapat disamakan
dengan pencuri? Bila disamakan
dengan pencuri, bolehkah dijatuhi
hukuman potong tangan? Demikian
pertanyaan mendasar yang patut
kita jawab.
Allah berfirman, yang artinya,
ُﻕِﺭﺎَّﺴﻟﺍَﻭ<“
ُﺔَﻗِﺭﺎَّﺴﻟﺍَﻭ
ﺍﻮُﻌَﻄْﻗﺎَﻓ
ﺎَﻤُﻬَﻳِﺪْﻳَﺃ ًﺀﺁَﺰَﺟ
ﺎَﻤِﺑ ﺎَﺒَﺴَﻛ ًﻻﺎَﻜَﻧ
َﻦِّﻣ ِﻪﻠﻟﺍ ُﻪﻠﻟﺍَﻭ
ٌﺰﻳِﺰَﻋ ٌﻢﻴِﻜَﺣ
“ Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana .” (QS.
Al Maidah: 38).
Firman Allah yang memerintahkan
untuk memotong tangan pencuri
bersifat mutlaq. Tidak dijelaskan
berapa batas maksimal harga
barang yang dicuri, dimana tempat
barang yang dicurinya dan lain
sebagainya. Akan tetapi
kemutlakan ayat diatas di-
taqyid (diberi batasan) oleh hadis
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian, para ulama
menyaratkan beberapa hal untuk
menjatuhkan hukum potong tangan
bagi pencuri. Di antaranya: Barang
yang dicuri berada dalam (hirz )
tempat yang terjaga dari jangkauan,
seperti brankas/lemari yang kuat
yang berada di kamar tidur untuk
barang berharga, semisal: Emas,
perhiasan, uang, surat berharga
dan lainnya dan seperti garasi
untuk mobil. Bila persyaratan ini
tidak terpenuhi, tidak boleh
memotong tangan pencuri.
Hal ini berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam saat ditanya oleh seorang
laki-laki dari suku Muzainah tentang
hukuman untuk pencuri buah
kurma, “ Pencuri buah kurma dari
pohonnya lalu dibawa pergi,
hukumannya adalah dia harus
membayar dua kali lipat. Pencuri
buah kurma dari tempat jemuran
buah setelah dipetik hukumannya
adalah potong tangan, jika harga
kurma yang dicuri seharga perisai
yaitu: 1/4 dinar (± 1,07 gr
emas) .” (HR. Nasa’i dan Ibnu
Majah. Menurut Al-Albani derajat
hadis ini hasan).
Batas minimal barang yang dicuri
seharga 1/4 dinar berdasarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “ Tidak boleh dipotong
tangan pencuri, melainkan barang
yang dicuri seharga 1/4 dinar
hingga seterusnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menjelaskan maksud ayat
yang memerintahkan potong
tangan, bahwa barang yang dicuri
berada dalam penjagaan
pemiliknya dan sampai seharga 1/4
dinar.
Persyaratan ini tidak terpenuhi
untuk kasus korupsi, karena
koruptor menggelapkan uang milik
negara yang berada dalam
genggamannya melalui jabatan
yang dipercayakan kepadanya. Dan
dia tidak mencuri uang negara dari
kantor kas negara. Oleh karena itu,
para ulama tidak pernah
menjatuhkan sanksi potong tangan
kepada koruptor.
Untuk kasus korupsi, yang paling
tepat adalah bahwa koruptor sama
dengan mengkhianati amanah
uang/barang yang dititipkan.
Karena koruptor dititipi amanah
uang/barang oleh negara.
Sementara orang yang
mengkhianati amanah dengan
menggelapkan uang/barang yang
dipercayakan kepadanya tidaklah
dihukum dengan dipotong
tangannya, berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“ Orang yang mengkhianati amanah
yang dititipkan kepadanya tidaklah
dipotong tangannya “. (HR. Tirmidzi
dan dihasankan oleh Al-Albani).
Di antara hikmah Islam
membedakan antara hukuman bagi
orang yang mengambil harta orang
lain dengan cara mencuri dan
mengambilnya dengan cara
berkhianat adalah bahwa
menghindari pencuri adalah suatu
hal yang sangat tidak mungkin.
Karena dia dapat mengambil harta
orang lain yang disimpan dengan
perangkat keamanan apapun.
Sehingga tidak ada cara lain untuk
menghentikan aksinya yang sangat
merugikan tersebut melainkan
dengan menjatuhkan sanksi yang
membuatnya jera dan tidak dapat
mengulangi lagi perbuatannya,
karena tangannya yang merupakan
alat utama untuk mencuri, telah
dipotong.
Sementara orang yang
mengkhianati amanah uang/barang
dapat dihindari dengan tidak
menitipkan barang kepadanya.
Sehingga merupakan suatu
kecerobohan, ketika seseorang
memberikan kepercayaan uang/
barang berharga kepada orang
yang anda tidak ketahui
kejujurannya. (Ibnu
Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in , jilid
II, Hal. 80)
Ini bukan berarti, seorang koruptor
terbebas dari hukuman apapun
juga. Seorang koruptor tetap layak
untuk dihukum. Di antara hukuman
yang dijatuhkan kepada koruptor
sebagai berikut:
Pertama , koruptor diwajibkan
mengembalikan uang negara yang
diambilnya, sekalipun telah habis
digunakan. Negara berhak untuk
menyita hartanya yang tersisa dan
sisa yang belum dibayar akan
menjadi hutang selamanya.
Ketentuan ini berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“ Setiap tangan yang mengambil
barang orang lain yang bukan
haknya wajib menanggungnya
hingga ia menyerahkan barang yang
diambilnya “. (HR. Tirmidzi. Zaila’i
berkata, “Sanad hadis ini hasan”).
Kedua , hukuman ta’zir .
Hukuman ta’zir adalah hukuman
yang dijatuhkan terhadap pelaku
sebuah kejahatan yang sanksinya
tidak ditentukan oleh Allah, karena
tidak terpenuhinya salah satu
persyaratan untuk menjatuhkan
hukuman hudud . ( Almausuah al
Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, jilid XII,
hal 276.)
Kejahatan korupsi serupa dengan
mencuri, hanya saja tidak terpenuhi
persyaratan untuk dipotong
tangannya. Karena itu hukumannya
berpindah menjadi ta’zir .
Jenis hukuman ta’zir terhadap
koruptor diserahkan kepada ulil
amri (pihak yang berwenang) untuk
menentukannya. Bisa berupa
hukuman fisik, harta, kurungan,
moril, dan lain sebagainya, yang
dianggap dapat menghentikan
keingingan orang untuk berbuat
kejahatan. Di antara hukuman fisik
adalah hukuman cambuk.
Diriwayatkan oleh imam Ahmad
bahwa Nabi menjatuhkan hukuman
cambuk terhadap pencuri barang
yang kurang nilainya dari 1/4 dinar.
Hukuman kurungan (penjara) juga
termasuk hukuman fisik.
Diriwayatkan bahwa khalifah
Utsman bin Affan pernah
memenjarakan Dhabi bin Al-Harits
karena dia melakukan pencurian
yang tidak memenuhi persyaratan
potong tangan.
Denda dengan membayar dua kali
lipat dari nominal harga barang
atau uang negara yang
diselewengkannya merupakan
hukuman terhadap harta. Sanksi ini
dibolehkan berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam terhadap “ Pencuri buah
kurma dari pohonnya lalu dibawa
pergi, hukumannya dia harus
membayar dua kali lipat ”. (HR.
Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hukuman ta’zir ini diterapkan
karena pencuri harta negara tidak
memenuhi syarat untuk dipotong
tangannya, disebabkan barang yang
dicuri tidak berada
dalam hirz (penjagaan selayaknya).
Kesimpulan dari tulisan di atas:
1. Pegawai perusahaan atau
instansi pemerintah statusnya
sebagai orang yang diberi amanah.
2. Pengkhianatan terhadap harta
masyarakat, lebih besar akibatnya
dari pada pengkhianatan harta
milik pribadi.
3. Pengkhianatan terhadap harta
yang menjadi amanah
disebut ghulul .
4. Termasuk kategori ghulul adalah
tindak korupsi terhadap uang
negara.
5. Syarat hukuman potong tangan
untuk pencuri, antara lain:
Harus mencapai nilai
minimal: 1/4 dinar (1,07 gr
emas).
Harta yang diambil berada
dalam hirz (penjagaan yang
layak dari pemilik).
6. Korupsi harta negara atau
perusahaan (ghulul ), termasuk
tindak pencurian yang tidak
memenuhi syarat potong tangan.
Karena pelaku mengambil harta
yang ada di daerah kekuasannya,
melalui jabatannya. Sehingga harta
itu bukan harta yang berada di
bawah hirz (penjagaan pemilik).
7. Hukuman untuk pelaku kriminal
ada 2:
Hukuman yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan
syariat, disebut hudud.
Hukuman yang tidak
ditetapkan berdasarkan
ketentuan syariat, dan
dikembalikan kepada
keputusan hakim,
disebut ta’zir .
8. Hukuman yang diberikan untuk
koruptor adalah sebagai berikut:
Dipaksa untuk
mengembalikan semua harta
yang telah dikorupsi.
Hukuman ta’zir . Hukuman ini
bisa berupa denda, atau fisik
seperti cambuk, atau
dipermalukan di depan
umum, atau penjara.
Semuanya dikembalikan pada
keputusan hakim.
Penjelasan di atas merupakan
sinopsis dari salah satu artikel
karya Dr. Erwandi Tarmidzi, yang
diterbitkan di Majalah Pengusaha
Muslim edisi 27. Pada edisi ini,
Majalah Pengusaha Muslim
mengupas berbagai kasus dalam
dunia kerja, baik negeri maupun
swasta.
Sumber: www.konsultasisyariah.com