Tuesday, December 11, 2012

Kesalahan-Kesalahan Dalam Sholat Jum'at

MENGULUR WAKTU DATANG KE MASJID
SEHINGGA KHATIB NAIK MIMBAR
Di antara kaum muslimin ada yang
berlambat-lambat ketika mendatangi shalat
Jum’at sehingga khatib naik mimbar.
Padahal dengan demikian itu mereka telah
kehilangan banyak kebaikan serta pahala
yang melimpah.
Di dalam ash-Shahiihain (Shahiih al-Bukhari
dan Shahiih Muslim) disebutkan, dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at
seperti mandi junub kemudian dia berangkat
ke masjid, maka seakan-akan dia berkurban
dengan unta. Barangsiapa berangkat pada
waktu kedua, maka seakan-akan dia
berkurban dengan sapi. Barangsiapa
berangkat pada waktu ketiga, maka seakan-
akan dia berkurban dengan kambing yang
bertanduk. Barangsiapa berangkat pada
waktu keempat, maka seakan-akan dia
berkurban dengan ayam. Dan barangsiapa
berangkat pada waktu kelima, maka seakan-
akan dia berkurban dengan telur. Jika imam
(khatib) telah datang, maka Malaikat akan
hadir untuk mendengarkan Khutbah.” [1]
Maksudnya, para Malaikat itu menutup
lembaran catatan pahala bagi mereka yang
terlambat sehingga tidak mendapatkan
pahala yang lebih bagi orang-orang yang
masuk masjid (di saat khatib sudah naik
mimbar). Pengertian tersebut diperkuat oleh
hadits berikut ini:
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinilai
hasan oleh Syaikh al-Albani. Dari Abu
Ghalib, dari Abu Umamah, dia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Pada hari Jum’at para Malaikat duduk di
pintu-pintu masjid yang bersama mereka
lembaran-lembaran catatan. Mereka
mencatat orang-orang (yang datang untuk
shalat), di mana jika imam (khatib) telah
datang menuju ke mimbar, maka lembaran-
lembaran catatan itu akan ditutup.”
Lalu kutanyakan, “Hai Abu Umamah, kalau
begitu bukankah orang yang datang setelah
naiknya khatib ke mimbar berarti tidak ada
Jum’at baginya?” Dia menjawab, “Benar,
tetapi bukan bagi orang yang telah dicatat di
dalam lembaran-lembaran catatan.” [2]
TIDAK MANDI, TIDAK PULA MEMAKAI
WANGI-WANGIAN, DAN TIDAK
BERSIWAK PADA HARI JUM’AT
Di antara jama’ah ada juga yang
mengabaikan masalah mandi dan memakai
wangi-wangian pada hari Jum’at. Padahal
Islam menghendaki kaum muslimin supaya
berkumpul pada hari Jum’at pada
pertemuan mingguan dalam keadaan
sesempurna mungkin, berpenampilan paling
baik, serta memakai wangi-wangian yang
paling wangi sehingga orang lain tidak
terganggu oleh bau yang tidak sedap. Serta
tidak juga mengganggu para Malaikat.
Di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan,
dari Abu Bakar bin al-Munkadir, dia berkata,
‘Amr bin Sulaim al-Anshari pernah
memberitahuku, dia berkata, Aku bersaksi
atas Abu Sa’id yang mengatakan, Aku
bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Mandi pada hari Jum’at itu wajib bagi
setiap orang yang sudah baligh. Dan
hendaklah dia menyikat gigi serta memakai
wewangian jika punya.” [3]
Di dalam kitab Shahiih al-Bukhari juga
disebutkan, dari Salman al-Farisi, dia
berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda
“Tidaklah seseorang mandi dan bersuci
semampunya pada hari Jum’at, memakai
minyak rambut atau memakai minyak wangi
di rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak
memisahkan antara dua orang (dalam shaff)
kemudian mengerjakan shalat dan
selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika
khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan
ampunan kepadanya (atas kesalahan yang
terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at
yang berikut-nya.” [4]
__________
Foote Note
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 881) dan Muslim (no. 850).
[2]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (no.
21765) dan selainnya yang dinilai hasan oleh
al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib
(no. 710).
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 880) dan Muslim (no. 846).
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 883).
TIDAK MAU MENEMPATI BARISAN
(SHAFF) PERTAMA MESKI DATANG LEBIH
AWAL
Di antara jama’ah ada yang datang ke
masjid lebih awal dan mendapati barisan
pertama masih kosong, tetapi dia malah
memilih untuk menempati barisan kedua
atau ketiga agar bisa bersandar ke tiang
misalnya, atau memilih barisan belakang
sehingga dia bisa bersandar ke dinding
misalnya. Semuanya itu bertentangan
dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk segera menduduki barisan
pertama yang didapatinya selama dia bisa
sampai ke tempat tersebut, karena agungnya
pahala yang ada padanya serta banyaknya
keutamaan yang terkandung padanya. Dan
seandainya dia tidak bisa sampai ke tempat
itu kecuali dengan cara undian, maka
hendaklah dia melakukan hal tersebut
sehingga dia tidak kehilangan pahala yang
melimpah itu.
Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seandainya orang-orang itu mengetahui
apa yang terdapat pada seruan adzan dan
shaff pertama kemudian mereka tidak
mendapatkan jalan, kecuali harus melakukan
undian, niscaya mereka akan
melakukannya.” [1]
Dan dalam riwayat Muslim disebutkan:
“Seandainya kalian atau mereka mengetahui
apa yang terdapat di shaff terdepan, niscaya
akan dilakukan undian.” [2]
Dengarlah keutamaan yang melimpah
bagi orang yang bersuci dan bersegera
mendatanginya.
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-
Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, yang dinilai
hasan oleh at-Tirmidzi serta dinilai shahih
oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih as-
Sunan, dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan
membersihkan diri, lalu cepat-cepat dan
bergegas, serta berjalan kaki dan tidak
menaiki kendaraan, juga mendekati posisi
imam, kemudian mendengarkan lagi tidak
lengah, maka baginya setiap langkah amalan
satu tahun, dengan pahala puasa dan
qiyamul lail yang ada pada tahun itu.” [3]
Mengenai penafsiran kalimat, ghassala wa
ightasala, para ulama memiliki dua
pendapat:
1. Membasahi kepala dan mandi, sebagai
upaya membersihkan diri secara maksimal.
Dan ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak.
2. Mencampuri isterinya sehingga dia harus
membersihkan diri dan mandi. Dan inilah
pendapat Waki’.
Mereka menyunnahkan seseorang
mencampuri isterinya pada hari Jum’at
karena dua alasan:
1. Agar nafsu syahwatnya tersalurkan pada
tempat yang halal sehingga dia berangkat
menunaikan shalat Jum’at dan bisa
menundukkan pandangan,
mengonsentrasikan pikiran untuk
mendengarkan khutbah dan mengambil
pelajaran dari nasihat yang disampaikan.
2. Mudah-mudahan dengan apa yang
dilakukannya itu Allah akan memberikan
berkah sehingga akan mengeluarkan dari
tulang rusuknya anak-anak yang shalih,
sehingga dengan demikian itu telah
menanamkan benihnya pada hari yang
penuh berkah, yaitu hari Jum’at. Di antara
yang memperkuat makna itu adalah:
“Barangsiapa mandi seperti mandi janabat
pada hari Jum’at dan kemudian pergi
berangkat…”
Bakkara wa ibtakara , ada yang mengatakan,
Hal tersebut sebagai ta’kiid (penekanan)
dan ada juga yang mengatakan: bakkara
berarti berangkat pagi-pagi ke masjid.
Ibtakara berarti mendengar khuthbah dari
sejak awal.
Danaa min al-Imaam berarti menempati
barisan-barisan pertama yang dekat dengan
imam (khatib).
Fastama’a walam yalghu berarti
mendengarkan khutbah dan tidak lengah
darinya oleh aktivitas lainnya.
MELANGKAHI PUNDAK JAMA’AH YANG
DATANG LEBIH AWAL PADA HARI
JUM’AT
Di antara kaum muslimin ada yang datang
terlambat ke masjid, sehingga dia menyela
jama’ah yang datang lebih awal dan duduk
dengan melangkahi pundak mereka sehingga
dia sampai ke barisan pertama. Dan ini jelas
salah. Mestinya dia harus menempati
tempat yang terakhir kali ia dapatkan.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, dari Jabir
bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
ada seseorang masuk masjid pada hari
Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tengah menyampaikan khutbah,
lalu dia melangkahi orang-orang, maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Duduklah, karena sesungguhnya engkau
telah mengganggu (orang-orang) dan datang
terlambat.” [4]
ORANG YANG MASUK KE MASJID BERDIRI
DAN MENUNGGU SAMPAI ADZAN SELESAI
DIKUMANDANGKAN, BARU KEMUDIAN
MENGERJAKAN SHALAT TAHIYYATUL
MASJID
Sebagian orang jika memasuki masjid
sedang khathib sudah berada di atas
mimbar dan muadzin masih
mengumandangkan adzan maka dia akan
tetap berdiri sambil menunggu adzan
selesai. Dan ketika muadzin selesai
mengumandangkan adzan dan khatib
menyampaikan khutbah, baru dia mulai
mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid. Ini
merupakan tindakan yang salah .
Mendengar adzan adalah sunnah, sementara
mendengar khutbah adalah wajib, sehingga
yang wajib harus diutamakan. Oleh karena
itu, tidak diperbolehkan mengabaikan yang
wajib untuk menunaikan yang sunnah.
Dengan demikian, yang benar adalah
memulai shalat Tahiyyatul Masjid
langsung ketika sampai di masjid
meskipun muadzin tengah
mengumandangkan adzan agar dia bisa
mendengar khutbah secara lengkap.
BERBICARA SAAT KHUTBAH TENGAH
BERLANGSUNG
Di antara jama’ah ada juga yang berbincang
dengan orang secara perlahan di sekitarnya
saat khutbah tengah berlangsung. Dan ini
jelas salah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memerintahkan untuk diam
guna mendengarkan khutbah Jum’ah dengan
seksama.
Sebagaimana yang telah kami sampaikan
sebelumnya, yaitu satu hadits yang
diriwayatkan empat perawi dan dinilai
shahih oleh Syaikh al-Albani dari Aus bin
Aus Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan
membersihkan diri, lalu cepat-cepat dan
bergegas, serta berjalan kaki dan tidak
menaiki kendaraan, juga mendekati posisi
imam, kemudian mendengarkan lagi tidak
lengah, maka baginya setiap langkah amalan
satu tahun, dengan pahala puasa dan
qiyamul lail yang ada pada tahun itu.” [5]
Di dalam kitab ash-Shahiihain telah
disebutkan dari Abu Hurairah, dia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Jika engkau mengatakan kepada temanmu,
‘Diam,’ pada hari Jum’at dan imam sedang
berkhutbah, berarti engkau telah berbuat
sia-sia.” [6]
Lalu apa hukuman bagi orang yang
berbicara atau melangkahi pundak
jama’ah?
Hukumannya adalah tidak ditetapkan
baginya pahala shalat Jum’at dan dia juga
tidak akan mendapatkan keutamaannya, dan
shalat Jum’at itu hanya akan menjadi shalat
Zhuhur baginya.
Yang demikian itu didasarkan pada apa yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu
Khuzaimah yang dinilai hasan oleh Syaikh al-
Albani, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda:
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, lalu
memakai minyak wangi isterinya jika dia
punya, dan mengenakan pakaian yang
bagus, lalu tidak melangkahi pundak orang-
orang, serta tidak lengah saat diberi nasihat
(khutbah), maka hal itu menjadi penghapus
dosa (kecil) antara keduanya. Dan
barangsiapa lengah dan melangkahi pundak
orang-orang, maka shalat Jum’atnya itu
menjadi shalat Zhuhur baginya. ” [7]
__________
Foote Note
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 721) dan Muslim (no. 437).
[2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no.
439).
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 345), at-Tirmidzi (no. 496), an-Nasa-i
(no. 1398), Ibnu Majah (no. 1087). Dinilai
shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab
Shahiih at-Tirmidzi (no. 496).
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah
(no. 1115) dan dinilai shahih oleh Syaikh al-
Albani di dalam kitab Shahiih Ibni Majah.
[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 345), at-Tirmidzi (no. 496), an-Nasa'i
(no. 1398), Ibnu Majah (no. 1087). Dinilai
shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab
Shahiih at-Tirmidzi (no. 496).
[6]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 934) dan Muslim (no. 851).
[7]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan Ibnu Khuzaimah (no. 347). Dinilai hasan
oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih
at-Targhiib (no. 720).
JAMA’AH TIDUR SEMENTARA KHATIB
TENGAH MENYAMPAIKAN KHUTBAHNYA
Sebagian orang tertidur sementara khatib
sudah berada di atas mimbar. Dan ini jelas
salah dan dia harus dibangunkan untuk
mendengarkan nasihat.
Ibnu Sirin mengatakan, “Mereka
memakruhkan tidur ketika khatib khutbah.
Dan mereka berkata tegas mengenai hal
tersebut.” [1]
Dan disunnahkan bagi orang yang dihinggapi
rasa kantuk untuk pindah dari tempatnya ke
tempat lain di masjid. Mengenai hal
tersebut telah diriwayatkan oleh Ahmad,
Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban
dengan sanad shahih dari ‘Abdullah bin
‘Umar, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jika salah seorang di antara kalian
mengantuk di tempat duduknya pada hari
Jum’at, maka hendaklah dia pindah
(bergeser) dari tempat itu ke tempat
lainnya.” [2]
BERSANDARNYA SEBAGIAN ORANG KE
DINDING DAN TIDAK MENGHADAP
KHATIB
Ada sebagian orang yang dalam
mendengarkan khutbah Jum’at lebih senang
bersandar ke dinding atau tiang dan tidak
menghadap ke arah khatib, bahkan mereka
membelakanginya. Dan ini jelas
bertentangan dengan petunjuk para Sahabat
Nabi di dalam khutbah Jum’at dan juga
bertolak belakang dengan etika mendengar
khutbah.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu
mengatakan, “Jika berkhutbah Jum’at,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri, sementara Sahabat-Sahabat beliau
menghadapkan wajah mereka ke arah
beliau.” [3]
Dari Muthi’ al-Ghazal dari ayahnya dari
kakeknya, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam jika sudah menaiki
mimbar, maka kami pun menghadapkan
wajah kami ke arah beliau.” [4]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
sudah berdiri tegak di atas mimbar, maka
kami langsung menghadapkan wajah kami ke
arah beliau.” [5]
Dari Abban bin ‘Abdullah al-Bajali, dia
berkata, Aku pernah melihat ‘Adi bin Tsabit
menghadapkan wajahnya ke arah khatib jika
khatib itu berdiri sambil berkhutbah. Lalu
aku tanyakan kepadanya, “Aku lihat engkau
menghadapkan wajahmu ke khatib?” Dia
menjawab, “Karena aku pernah melihat para
Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan hal tersebut.” [6]
Dari Nafi’, mantan budak Ibnu ‘Umar bahwa
‘Abdullah bin ‘Umar mengerjakan shalat
sunnah pada hari Jum’at hingga selesai
sebelum khatib keluar, dan ketika khatib
telah datang sebelum khatib itu duduk, dia
(‘Abdullah bin ‘Umar) menghadapkan wajah
ke arahnya.
Imam Ibnu Syihab az-Zuhri rahimahullahu
mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam jika menyampaikan khutbahnya,
maka mereka langsung mengarahkan wajah
mereka kepadanya sampai beliau selesai
dari khutbahnya"
Imam Yahya bin Sa’id al-Anshari
rahimahullahu mengatakan, “Yang sunnah
untuk dilakukan adalah jika khatib sudah
duduk di atas mimbar pada hari Jum’at,
maka hendaklah semua orang mengarahkan
wajah ke arahnya.” [7]
Al-Atsram mengatakan, aku pernah katakan
kepada Abu ‘Abdullah [8], “Ketika khatib
berada agak jauh di sebelah kananku, maka
apakah jika aku ingin menghadap
kepadanya, aku harus mengalihkan wajahku
dari arah kiblat?” Dia menjawab, “Ya,
arahkan wajahmu kepadanya.” [9]
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Disunnahkan bagi orang-orang
untuk menghadap ke arah khatib jika dia
tengah berkhutbah. Dan itu merupakan
pendapat Malik, at-Tsauri, al-Auza’i, asy-
Syafi’i, Ishaq, dan Ashabur rayi.” [10]
Ibnu Mundzir rahimahullahu mengatakan,
“Hal itu bagaikan ijma’ (kesepakatan para
ulama).” [11]
At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan,
“Pengamalan terhadap hal tersebut
dilakukan oleh para ulama dari kalangan
Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan juga yang lainnya mereka menyunnahkan
untuk menghadap ke khatib jika dia tengah
berkhutbah.” [12]
MEMAINKAN BIJI TASBIH ATAU KUNCI
SAAT KHUTBAH BERLANGSUNG
Sebagian orang ada yang melakukan hal
yang sia-sia baik dengan kunci-kunci
atau biji tasbih yang ada di tangannya
saat mendengar khutbah Jum’at . Ini jelas
bertentangan dengan ketenangan dan
perhatian terhadap peringatan dan nasihat
yang disampaikan kepadanya.
Bahkan hal tersebut masuk ke dalam
kelengahan yang dilarang untuk dilakukan.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim di dalam kitab Shahiihnya dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda
“Barangsiapa yang memegang batu kerikil
berarti dia telah berbuat sia-sia.” [13]
Dan terkadang ada juga salah seorang dari
mereka yang mengeluarkan kayu siwak dan
bersiwak saat khutbah tengah berlangsung.
Ini juga termasuk dalam kategori lengah
(berbuat sia-sia).
MEMISAHKAN DUA ORANG YANG DUDUK
BERDAMPINGAN PADA HARI JUM’AT
Terkadang ada orang yang datang terakhir
ke masjid, lalu melangkahi pundak-pundak
jama’ah yang datang lebih awal serta
memisahkan duduk orang-orang agar dia
bisa sampai di barisan pertama. Dan ini
merupakan satu hal yang dilarang oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut Ibnu
Majah dan dinilai shahih oleh Syaikh al-
Albani.
“Dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya ada seseorang masuk masjid
pada hari Jum’at sedang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah
menyampaikan khuthbah, lalu dia
melangkahi orang-orang, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Duduklah, karena sesungguhnya engkau
telah mengganggu (orang-orang) dan datang
terlambat.” [14]
Kemudian orang yang memisahkan di antara
dua orang ini, yakni dengan melangkahi
keduanya atau duduk di antara keduanya
benar-benar telah kehilangan pahala yang
besar , yaitu yang disebutkan di dalam
hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari,
dari Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at
dan bersuci semampunya, memakai minyak
rambut atau memakai minyak wangi
rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak
memisahkan antara dua orang dan kemudian
mengerjakan shalat sunnah dan selanjutnya
dia diam (tidak berbicara) jika khatib
berkhutbah, melainkan akan diberikan
ampunan kepadanya (atas kesalahan yang
terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at
yang berikutnya”. [15]
Al-Hafizh rahimahullahu mengatakan,
“Setelah dilakukan penghimpunan terhadap
jalan-jalan dan lafazh-lafazh hadits, maka
tampak sekumpulan dari apa yang kami
sampaikan tadi bahwa penghapusan dosa
dari hari Jum’at ke Jum’at berikutnya itu
dengan syarat adanya semua hal berikut ini:
1. Mandi dan membersihkan diri.
2. Memakai minyak wangi atau minyak rambut.
3. Memakai pakaian yang paling bagus.
4. Berjalan kaki dengan penuh ketenangan.
5. Tidak melangkahi pundak jama’ah yang
datang lebih awal.
6. Tidak memisahkan antara dua orang yang
berdampingan.
7. Tidak mengganggu.
8. Mengerjakan amalan-amalan sunnah.
9. Diam.
10. Tidak melakukan aktivitas yang
melengahkan” [16]
Lebih lanjut, al-Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan, “Di dalam hadits ‘Abdullah bin
‘Amr disebutkan, ‘Oleh karena itu,
barangsiapa melangkahi orang atau
melakukan hal yang melengahkan, maka
baginya shalat Jum’at itu hanya shalat
Zhuhur semata" [17]
__________
Foote Note
[1]. Tafsiir al-Qurthubi (XVIII/117) dan al-
Qaulul Mubiin (no. 346).
[2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad
(II/135), Abu Dawud (no. 119), at-Tirmidzi
(no. 526), Ibnu Hibban (no. 2792) Ihsaan.
[3]. Zaadul Ma’aad (I/430).
[4]. Hasan bisyawaahidi (dengan beberapa
penguatnya): Diriwayat-kan oleh al-Bukhari
dalam kitab at-Taariikh al-Kabiir (IV/II/ 47).
Dinilai hasan oleh al-Albani dengan
beberapa syahidnya dalam kitabnya, Silsilah
al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2080).
[5]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi
(no. 509) dan dinilai shahih oleh al-Albani di
dalam kitab Shahiih at-Tirmidzi.
[6]. Hasan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi
(III/198). Al-Albani mengatakan di dalam
kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah
(V/114), “Sanad ini jayyid.” Dan
diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1136)
dari Adi bin Tsabit dari ayahnya dan dinilai
shahih oleh al-Albani.
[7]. Hasan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi
(III/199) dengan sanad hasan.
[8]. Yaitu Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah
[9]. Al-Mughni (III/172).
[10]. Ibid (III/172).
[11]. Ibid (III/172).
[12]. Sunan at-Tirmidzi: kitab al-Jumu’ah,
bab Maa Jaa’a fii Istiqbaalil Imaam idzaa
Khathaba.
[13]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no.
857). Dan lihat kitab as-Subhah,
Taariikhuhaa wa Hukmuhaa, Dr. Bakr bin
‘Abdillah Abu Zaid hafizhahullah. (Telah
kami terbitkan dengan judul: Adakah Biji
Tasbih pada Zaman Rasulullah j -pent.)
[14]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah
(no. 1115) dan dinilai shahih oleh al-Albani
di dalam kitab Shahiih Ibni Majah.
[15]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 883, 910).
[16]. Fat-hul Baari, syarah hadits no. 883.
[17]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 347) dan dinilai hasan oleh al-Albani.
TIDAK MEMISAHKAN ANTARA SHALAT
JUM’AT DAN SHALAT SUNNAHNYA
DENGAN PINDAH TEMPAT ATAU
PEMBICARAAN
Di antara kaum muslimin ada yang
mengerjakan shalat Jum’at, kemudian berdiri
dan langsung mengerjakan shalat sunnah
Ba’diyah. Dan ini jelas salah.
Yang benar adalah pindah ke tempat lain
untuk kemudian mengerjakan shalat sunnah
atau minimal berbicara meski hanya dengan
sedikit dzikir atau tasbih atau yang
semisalnya untuk menyempurnakan
pemisahan antara shalat Jum’at dengan
shalat sunnahnya.
Yang menjadi dalil bagi hal tersebut adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di
dalam kitab Shahiihnya dari ‘Umar bin ‘Atha’
bin Abil Khuwar:
“Bahwa Nafi’ bin Jubair pernah mengutusnya
menemui as-Saib, anak dari saudara
perempuan Namr untuk menanyakan
kepadanya tentang sesuatu yang dilihatnya
dari Mu’awiyah dalam shalat, maka dia
menjawab, ‘Ya, aku pernah mengerjakan
shalat Jum’at bersamanya di dalam
maqshurah [1]. Setelah imam mengucapkan
salam, aku langsung berdiri di tempatku
semula untuk kemudian mengerjakan shalat,
sehingga ketika dia masuk, dia mengutus
seseorang kepadaku seraya berkata,
‘Janganlah engkau mengulangi perbuatan itu
lagi. Jika engkau telah mengerjakan shalat
Jum’at, maka janganlah engkau
menyambungnya dengan suatu shalat
sehingga engkau berbicara atau keluar (dari
tempatmu), karena sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkan hal tersebut kepada kita,
yaitu tidak menyambung shalat sehingga kita
berbicara atau keluar.’” [2]
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di
dalamnya terdapat dalil atas apa yang
dikemukakan oleh rekan-rekan kami [3]
bahwa shalat-shalat nafilah rawatib dan juga
yang lainnya disunnahkan untuk berpindah
dari tempat pelaksanaan shalat fardhu ke
tempat lain.
Tetapi perlu saya kemukakan, shalat nafilah
(sunnah) di rumah lebih afdhal (utama)
dengan beberapa dalil berikut:
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma,
dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Jika salah seorang di
antara kalian selesai menunaikan shalat di
masjid, maka hendaklah dia memberikan
bagian untuk rumah tersebut di dalam
shalatnya, karena sesungguhnya Allah
memberikan kebaikan di dalam rumahnya
dari shalatnya itu.” [4]
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,
dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Kerjakanlah sebagian dari
shalat kalian di rumah-rumah kalian dan
janganlah kalian menjadikannya laksana
kuburan.” [5] An-Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Artinya, shalatlah di rumah
kalian dan janganlah engkau menjadikan
tempat tinggal kalian itu seperti kuburan
yang tidak pernah ditempati untuk shalat.
Dan yang dimaksudkan di sini adalah
shalat sunnah. Dengan kata lain:
kerjakanlah shalat sunnah di rumah
kalian.” [6]
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhan (al-Bukhari
dan Muslim) dari Zaid bin Tsabit
Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hendaklah kalian mengerjakan shalat di
rumah kalian, karena sebaik-baik shalat
seseorang adalah di rumahnya, kecuali
shalat wajib.” [7]
MENINGGALKAN SHALAWAT ATAS NABI
SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM PADA
HARI JUM’AT
Sebagian orang ada yang lalai untuk
bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada hari Jum’at, meskipun
keutamaannya sangat besar, pahalanya pun
begitu melimpah, khususnya pada hari
Jum’at.
Telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud,
dan al-Hakim, yang dinilai shahih olehnya
serta disetujui oleh adz-Dzahabi dan al-
Albani.
Dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik hari-hari kalian
adalah hari Jum’at, karenanya perbanyak
shalawat atas diriku pada hari tersebut,
karena shalawat kalian akan diperlihatkan
kepadaku.” Lalu para Sahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat
kami akan diperlihatkan kepadamu sedang
engkau telah hancur lebur?” Dia berkata, dia
mengatakan, “Telah rusak berserakan.”
Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: "Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah mengharamkan tanah dari
memakan jasad-jasad para Nabi.” [8]
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad
yang hasan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang memberikan salam
(shalawat) kepadaku melainkan Allah akan
mengembalikan ruhku sehingga aku bisa
menjawab salam (shalawat) padanya.” [9]
Dan shighah (bentuk) shalawat atas Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling baik
adalah yang ditetapkan di dalam kitab ash-
Shahiihain, sebagai berikut: Dari Ka’ab bin
‘Ujrah Radhiyallahu ‘anhu, ditanyakan,
“Wahai Rasulullah, mengenai salam
kepadamu, maka kami telah mengetahuinya,
tetapi bagaimana kami harus bershalawat
kepadamu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Ucapkanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah
shalawat atas Muhammad dan keluarga
Muhammad, sebagaimana Engkau telah
bershalawat atas Ibrahim dan keluarga
Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji
lagi Mahamulia. Ya Allah, berikanlah berkah
kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad, sebagaimana Engkau telah
berikan berkah kepada Ibrahim dan keluarga
Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji
lagi Mahamulia.” [10]
TIDAK MENGERJAKAN SHALAT
TAHIYYATUL MASJID KETIKA KHATIB
TENGAH MENYAMPAIKAN KHUTBAH
Di antara kaum muslimin ada yang selalu
me-ngerjakan shalat Tahiyyatul Masjid,
karena dia mengetahui bahwa shalat
tersebut adalah sunnah muakadah (yang
ditekankan) .
Yang demikian itu didasarkan pada sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jika salah seorang di antara kalian masuk
masjid, maka janganlah duduk sehingga
mengerjakan shalat dua rakaat.” [11]
Tetapi, jika dia masuk masjid ketika khatib
sedang menyampaikan khutbah maka dia
langsung duduk dan tidak mengerjakan
shalat Tahiyyatul Masjid. Dan jika ditanyakan
kepadanya mengenai alasan tindakannya itu
maka dia menjawab, karena aku pernah
mendengar satu hadits dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di
dalamnya beliau bersabda, “Jika seorang
khatib telah menaiki mimbar, maka tidak
ada shalat dan pembicaraan.”
Maka dapat kami katakan bahwa hadits ini
dha’if jiddan (lemah sekali) yang tidak
bisa dijadikan sebagai dalil pijakan. Telah
diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam
kitab al-Kabiir dan di dalam sanadnya
terdapat Ayyub bin Nuhaik, dia munkarul
hadits. Oleh karena itu, hadits ini dinilai
dha’if oleh al-Haitsami di dalam kitab Maj-
ma’uz Zawaa-id (II/184) dan juga al-Hafizh
Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari
(II/409).
Sementara itu, al-Albani di dalam kitab, Sil-
silah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (no. 87)
mengatakan, “Hadits ini bathil.”
Bahkan telah ditegaskan perintah untuk
mengerjakan shalat dua rakaat tersebut bagi
orang yang datang ketika khatib sedang
menyampaikan khutbahnya. Di dalam kitab
ash-Shahiihain disebutkan: Dari Jabir bin
‘Abdullah, dia berkata, Ada seseorang
datang ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tengah menyampaikan khutbah
kepada jama’ah pada hari Jum’at, lalu
beliau bertanya:
“Apakah kamu sudah mengerjakan shalat
(Tahiyyatul Masjid), hai fulan? “Belum,”
jawabnya. Maka beliau bersabda: “Berdiri
dan kerjakanlah shalat dua rakaat.” [12]
Dalam riwayat Muslim disebutkan dari Jabir
bin ‘Abdullah, dia berkata, Sulaik al-
Ghathafani pernah datang ke masjid pada
hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tengah memberi khutbah
lalu dia langsung duduk, maka beliau
berkata kepadanya, “Wahai Sulaik, berdiri
dan kerjakanlah shalat dua rakaat dan
perpendeklah dalam mengerjakan shalat
tersebut.” Kemudian beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah
seorang di antara kalian datang (ke masjid)
pada hari Jum’at sedang imam tengah
berkhutbah, maka hendaklah dia
mengerjakan shalat 2 rakaat dan
perpendeklah shalat tersebut.” [13]
[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun
Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaai’ah, Bab “75
Khathaan fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi
Indonesia 75 Kesalahan Seputar Hari dan
Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam
Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. Maqshurah adalah sebuah ruangan yang
dibangun di dalam masjid.
[2]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 883) dan
Abu Dawud (no. 1129).
[3]. Para penganut madzhab Imam asy-
Syafi’i.
[4]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 778).
[5]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1187)
dalam kitab al-Jumu’ah, bab at-Tathawwu’ fil
Buyuut. Muslim (no. 777) di dalam kitab
Shalaatil Musaafiriin, bab Istihbaab Shalaatin
Naafilah fil Bait.
[6]. Syarh Muslim (no. 777).
[7]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6113)
dan Muslim (no. 781).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 1047), Ahmad (IV/8), dinilai shahih
oleh Ibnu Hibban (no. 550), dan al-Hakim
(I/278). Disepakati oleh adz-Dzahabi dan al-
Albani dalam kitab Shaiihul Jaami’ (no. 2212)
dan al-Arnauth dalam kitab Riyaadhush
Shaalihiin (no. 529).
[9]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 2041). An-Nawawi mengatakan di
dalam kitab Riyaadhush Shaalihiin: Sanadnya
shahih dan dinilai hasan oleh al-Albani di
dalam kitab Shahiihul Jaami’ (no. 5679).
[10]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 4797), Muslim (no. 406).
[11]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 1167) dan Muslim (no. 714).
[12]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 930) dan Muslim (no. 875).
[13]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no.