Thursday, December 13, 2012

Membaca Al Qur'an Berjamaah Dan Menghadiahkan pada Orang Yang Sudah Wafat

Pertanyaan:
Kami berkumpul setiap hari
Ahad di akhir bulan bersama
sejumlah kaum ibu berjumlah
30 orang atau lebih. Kemudian
setiap orang secara sendiri-
sendiri membaca dua atau tiga
hizb Al-Quran hingga akhirnya
kami dapat mengkhatamkan
Al-Quran dalam tempo satu
jam setengah atau dua jam.
Ada yang berkata kepada kami
bahwa insya Allah hal itu
dihitung sebagai
mengkhatamkan Al-Quran satu
kali. Apakah ini benar?
Setelah itu kami berdoa kepada
Allah agar pahala yang kami
baca tersebut disampaikan
kepada seluruh kaum
mukminin, baik yang masih
hidup ataupun yang sudah
wafat. Apakah pahala tersebut
akan sampai kepada yang
sudah wafat? Mereka berdalil
dengan sabda Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam,
"Jika seorang manusia wafat,
maka terputuslah amalnya
kecuali dari tiga hal; Sadaqah
jariah, ilmu yang bermanfaat
atau anak shaleh yang
mendoakan."
Begitu pula mereka melakukan
perayaan maulid nabi dengan
melakukan pengajian yang
dimulai sejak jam sepuluh pagi
dan berakhir hingga jam tiga
sore. Mereka mulai dengan
membaca istighfar, hamdalah,
tasbih, takbir dan shalawat
kepadan Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam
secara perlahan. Kemudian
mereka membaca Al-Quran.
Sebagian wanita ada yang
berpuasa pada hari tersebut.
Apakah mengkhususkan hari
itu dengan beberapa ibadah
termasuk bid'ah?
Demikian pula, di masyarakat
kami terdapat doa yang sangat
panjang. Kita diminta untuk
berdoa dengan doa tersebut
pada penghujung malam bagi
yang mampu. Namnya doa
rabithah. Diawali dengan
membaca shalawat nabi dan
shalawat kepada seluruh nabi,
isteri-isteri Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam,
para shahabat,
Khulafaurrasyidin, para tabi'in,
para wali Allah yang shaleh
dengan menyebutnya satu
persatu. Benarkah bahwa
dengan menyebutkan seluruh
nama-nama tersebut membuat
mereka akan mengenal kita
dan akan memanggil kita di
surga? Apakah doa tersebut
bid'ah? Saya merasakan
demikian, tapi teman-teman
saya kebanyakan menentang
saya. Akankah saya dihukum
Allah jika saya keliru?
Bagaimana saya dapat
memahamkan mereka jika
saya benar?
Masalah ini sangat membuat
saya gusar. Dan setiap saya
ingat sabda Rasulullah
shallallalhu alaihi wa sallam,
'Setiap perkara yang diada-
adakan (dalam agama) adalah
bid'ah dan setiap bid'ah adalah
sesat' semakin bertambah
kesedihan saya.
Jawaban:
Alhamdulillah
Pertama;
Dalam sunnah nabi terdapat
banyak keutamaan untuk
berkumpul membaca
Kitabullah Ta'ala. Namun agar
seorang muslim mendapatkan
pahala, hendaknya
perkumpulan untuk membaca
Al-Quran tersebut sesuai
dengan ketentuan syariat. Di
antara bentuk perkumpulan
syar'I untuk membaca Al-
Quran adalah dengan cara
semuanya membaca Al-Quran
dengan tujuan untuk belajar,
atau memahami tafsirnya atau
mempelajari cara
membacanya. Ada juga dengan
cara salah seorang membaca,
kemudian yang lain
mendengarkan untuk meresapi
dan merenungkan ayat-ayat
yang dibaca. Kedua cara
tersebut terdapat dalam
sunnah Nabi.
Adapun jika setiap orang
membaca, lalu dianggap
sebagai khataman bagi
semuanya, maka hal itu tidak
benar. Karena pada dasarnya
masing-masing tidak ada yang
mengkhatamkan Al-Quran
secara lengkap, bahkan
sekedar mendengarnya juga
tidak. Tapi setiap mereka
hanya membaca sebagian kecil
darinya. Maka tidak ada pahala
selain apa yang dia baca dari
Al-Quran.
Ulama yang tergabung dalam
Lajnah Da'imah berkata,
"Membagi setiap orang yang
hadir satu juz Al-Quran untuk
dibaca masing-masing,
pastinya tidak dianggap
mengkhatamkan Al-Quran bagi
masing-masing mereka."
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah,
2/480.
Kedua.
Tidak disyariatkan berdoa
bersama-sama setelah
membaca Al-Quran, dan tidak
boleh juga berdoa dengan
mengirim pahala bacaan
kepada salah seorang yang
sudah wafat atau yang masih
hidup. Hal tersebut tidak
dilakukan Nabi kita shallallahu
alaihi wa sallam dan tidak juga
dilakukan salah seorang
shahabat radhiallahu anhum.
Syekh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah ditanya,
"Apakah boleh saya
mengkhatamkan Al-Quran
untuk bapakku. Karena
seorang ummy, tidak dapat
membaca dan menulis?
Bolehkah saya
mengkhatamkan Al-Quran
untuk seseorang yang dapat
membaca dan menulis, tapi
saya ingin menghadiahkan
khataman ini kepadanya?
Bolehkan saya
mengkhatamkan Al-Quran
untuk lebih dari seorang?
Maka beliau menjawab,
"Tidak terdapat dalam Al-
Quran, sunnah dan perbuatan
sahabat mulia yang
menunjukkan disyariatkannya
menghadiahkan bacaan Al-
Quran kepada kedua orang tua
atau kepada selainnya. Yang
disyariatkan adalah Al-Quran
dibaca untuk diambil
manfaatnya dan direnungkan
maknanya serta diamalkan
ajarannya.
Allah Ta'ala berfirman,
َﻚْﻴَﻟِﺇ ُﻩﺎَﻨْﻟَﺰْﻧَﺃ ٌﺏﺎَﺘِﻛ ﺍﻭُﺮَّﺑَّﺪَﻴِﻟ ٌﻙَﺭﺎَﺒُﻣ
ِﻪِﺗﺎَﻳَﺁ َﺮَّﻛَﺬَﺘَﻴِﻟَﻭ ِﺏﺎَﺒْﻟَﻷﺍ ﻮُﻟﻭُﺃ ﺓﺭﻮﺳ)
:ﺹ (29
Ini adalah sebuah kitab yang
Kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-
ayatNya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran. SQ. Shod:
29.
َّﻥِﺇ ﺍَﺬَﻫ َﻥَﺁْﺮُﻘْﻟﺍ ﻱِﺪْﻬَﻳ ﻲِﺘَّﻠِﻟ َﻲِﻫ ُﻡَﻮْﻗَﺃ
(9:ﺀﺍﺮﺳﻹﺍ ﺓﺭﻮﺳ)
Sesungguhnya Al Quran ini
memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus. SQ.
Alisraa: 9.
ْﻞُﻗ َﻮُﻫ َﻦﻳِﺬَّﻠِﻟ ﺍﻮُﻨَﻣَﺁ ﻯًﺪُﻫ ٌﺀﺎَﻔِﺷَﻭ
:ﺖﻠﺼﻓ ﺓﺭﻮﺳ) (44
"Al Quran itu adalah petunjuk
dan penawar bagi orang-orang
mukmin." SQ. Fusilat: 44.
Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,
ﺍﻭﺀﺮﻗﺍ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ، ﻪﻧﺈﻓ ﻲﺗﺄﻳ ًﺎﻌﻴﻔﺷ
ﻪﺑﺎﺤﺻﻷ
"Bacalah Al-Qurna, karena dia
akan menjadi syafaat bagi yang
membacanya."
Beliau juga bersabda,
ﻰﺗﺆﻳ ﻥﺁﺮﻘﻟﺎﺑ ﻡﻮﻳ ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻪﻠﻫﺃﻭ
ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺍﻮﻧﺎﻛ ﻥﻮﻠﻤﻌﻳ ﻪﺑ ﻪﻣﺪﻘﺗ
ﺓﺭﻮﺳ ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ ﻝﺁﻭ ﻥﺍﺮﻤﻋ ﺎﻤﻬﻧﺄﻛ
ﻥﺎﺘﻣﺎﻤﻏ ﻭﺃ ﻥﺎﺘﻳﺎﻴﻏ ﻭﺃ ﻥﺎﻗﺮﻓ ﻦﻣ
ﺮﻴﻃ ﻑﺍﻮﺻ ﺎﻤﻬﺒﺣﺎﺻ ﻦﻋ ﻥﺎﺟﺎﺤﺗ
"Al-Quran akan datang kepada
ahlinya yaitu orang yang
mengamalkannya. Diawali oleh
surat Al-Baqarah dan Ali
Imran, seakan keduanya
adalah awan atau sekawanan
burung yang menghalangi
pemiliknya.
Maksudnya adalah bahwa Al-
Quran diturunkan untuk
diamalkan dan direnungkan,
serta dijadikan sebagai sarana
beribadah dengan
membacanya dan
memperbanyak bacaan. Bukan
untuk dihadiahkan kepada
orang yang sudah wafat atau
selainnya. Saya tidak
mengetahui ada dalil yang
dapat dijadikan pedoman
tentang masalah
menghadiahkan ini. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
"Siapa beramal yang tidak kami
perintahkan, maka dia
tertolak."
Sebagian ulama berpendapat
dibolehkannya hal tersebut
(menghadiahkan bacaan Al-
Quran). Mereka berkata, 'Tidak
mengapa menghadiahkan
bacaan Al-Quran atau semua
amal shaleh yang lain. Mereka
mengqiyaskan hal tersebut
dengan shadaqah dan berdoa
untuk orang yang sudah
meninggal. Akan tetapi,
pendapat yang benar adalah
pendapat pertama,
berdasarkan hadits yang telah
disebutkan, atau yang
maknanya serupa. Seandainya
menghadiahkan ibadah
disyariatkan, niscaya
salafushshaleh telah
melakukannya, sedangkan
ibadah tidak boleh diqiyaskan,
karena sifatnya tauqifiyah,
yaitu tidak dapat ditentukan
selain ketetapan berdasarkan
Al-Quran dan sunah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam,
berdasarkan hadits
sebelumnya dan yang semakna
dengan itu.
Majmu Fatawa, Syaikh Ibn Baz,
8/360-361
Adapun dalil yang mereka
ambil dari hadits, "Jika Anak
Adam meninggal dunia, maka
amalnya terputus kecuali tiga
perkara..' adalah tidak tepat.
Justeru hadits tersebut jika
diperhatikan menunjukkan
tidak disyariatkannya
menghadiahkan pahala
membaca Al-Quran bagi orang
yang telah wafat. Karena Nabi
shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, "Berdoa untuknya.."
Bukan "Membaca Al-Quran…"
Ketiga:
Tidak layak menyingkat
shalawat terhadap Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
dengan huruf S, atau SAW! Jika
seseorang tidak merasa berat
menulis soal yang panjang
seperti itu, mestinya dia
tidak merasa berat menulis
shalawat dengan sempurna.
Keempat:
Peringatan maulid Nabi adalah
bid'ah. Mengkhususkan ibadah
pada hari tersebut seperti
tasbih, tahmid, I'tikaf,
membaca Al-Quran dan
berpuasa adalah bid'ah.
Pelakunya tidak mendapat
pahala sedikipun, karena
amalnya tertolak.
Dari Aisyah radhiallahu anha,
sesungguhnya Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
"Siapa yang mengada-ada
dalam perkara (agama kami)
yang bukan bersumber dari
kami maka dia tertolak." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim
dikatakan, "Siapa yang beramal
dengan amal yang tidak
bersumber dari perkara
(ajaran) kami, maka dia
tertolak."
Al-Fakihani rahimahullah
berkata, "Saya tidak dapatkan
landasan perayaan maulid ini,
baik dalam Al-Quran maupun
Sunnah, tidak pula ada riwayat
bahwa tokoh ulama umat ini
melakukannya. Padahal
mereka adalah panutan dalam
beragama, sebab mereka selalu
berpegang teguh mengikuti
para pendahulunya. Yang
tampak bahwa perbuatan ini
adalah bid'ah yang diada-
adakan oleh mereka yang telah
diliputi hawa nafsu."
Al-Maurid fi Amalil Maulid,
sebagaimana dalam kitab
Hukmul Ihtifal Bil Mulidin
Nabawi, 1/8
Syekh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah berkata,
"Seandainya perayaan maulid
Nabi disyariatkan, niscaya
telah dijelaskan oleh Nabi
shallallahu alaihi wa sallam
kepada umatnya, karena beliau
sangat berupaya mengajarkan
umatnya dan tidak ada lagi
sesudahnya seorang nabi yang
menjelaskan perkara yang
beliau diamkan, karena
Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam adalah penutup para
nabi. Beliau telah menjelaskan
kepada manusia kewajiban
yang harus ditunaikan
terhadap dirinya, seperti
mencintainya, mengikuti
ajarannya, shalawat
kepadanya dan perkara
lainnya yang telah dijelaskan
dalam Al-Quran dan Sunnah.
Beliau tidak menyebutkan
kepada umatnya bahwa
merayakan hari kelahirannya
perkara yang disyariatkan agar
mereka amalkan. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
pun tidak pernah
melaksanakannya sepanjang
hidupnya. Kemudian para
shahabat yang dikenal sebagai
orang-orang yang sangat
mencintai beliau dan paling
mengetahui hak-haknya, juga
tidak merayakan hari
kelahirannya, tidak Khulafa
Rasyidin, tidak juga yang
lainnya. Begitu pula para tabiin
yang telah mengikuti jejak
pendahulunya dengan baik
dalam tidak abad pertama yang
utama, tidak melakukan
perayaan ini.
Apakah anda mengira bahwa
mereka tidak mengetahui
haknya atau lalai di dalamnya,
sehingga orang-orang yang
datang kemudian menjelaskan
kekurangan mereka dan
menyempurnakan hak
Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam ini?! Demi Allah,
tidak! Hal tersebut tidak akan
dikatakan oleh orang berakal
yang mengetahui dengan baik
sejarah para shahabat dan
tabi'in. Jika anda, wahai
pembaca, telah mengetahui
bahwa perayaan maulid tidak
terdapat pada masa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam,
tidak juga pada masa shahabat
yang mulia dan para tabi'in
generasi pertama, dan tidak
dikenal oleh mereka, niscaya
anda akan memahami bahwa
perkara tersebut adalah
perbuatan bid'ah yang diada-
adakan dalam agama. Tidak
boleh melaksanakannya,
menyetujuinya dan
mendakwahkannya. Tapi yang
wajib adalah mengingkarinya
dan memperingatkannya.
Majmu Fatawa Syaikh Ibn Baz,
6/318-319
Kelima:
Tidak boleh seseorang
mengada-ada sebuah doa dan
zikir dan menyebarkannya di
tengah masyarakat. Doa yang
disebut sebagai 'Doa Rabithah'
adalah doa bid'ah.
Menghadirkan rupa orang yang
didoakan dan meyakini bahwa
mereka akan mengenal orang
yang mendoakannya dan
memanggilnya di surga, semua
itu merupakan khayalan dan
khurafat kaum sufi, tidak ada
landasannya dalam agama
Allah.
Batasan syariat yang dapat
diketahui seorang muslim
untuk membedakan mana
perbuatan sunnah dan mana
yang bid'ah, mana yang benar
dan mana yang keliru telah
jelas dan terang. Yaitu bahwa
prinsip asal dalam ibadah
adalah terlarang kecuali
dengan berdasarkan dalil.
Maka hendaknya seseorang
tidak bertaqarrub kepada Allah
Ta'ala dengan sebuah ibadah
kecuali jika terdapat dalil
dalam Kitab dan Sunnah yang
shahih bahwa hal tersebut
disyariatkan. Dan bahwa
prinsipnya seorang muslim
adalah mengikuti ajaran yang
benar (ittiba) bukan
mengarang-ngaran ibadah
(ibtida). Perbuatan bid'ah
tertolak dan bahwa Allah
Ta'ala telah menyempurnakan
agama ini dan
menyempurnakan nikmat-Nya
kepada kita. Maka, apa
kebutuhan kita terhadap bid'ah
seperti ini padahal banyak
ibadah berdasarkan landasan
yang shahih masih lalai kita
lakukan!
Saya berharap bahwa apa yang
telah disebutkan cukup
menjelaskan bagi saudara-
saudara kita untuk berhenti
dari perbuatan bid'ah tersebut.
Kami nasehatkan mereka
untuk bertakwa kepada Allah
Ta'ala dan berusaha mengikuti
sunnah Nabinya. Ketahuilah
bahwa Allah Ta'ala tidak
menerima bid'ah seorang
hamba walaupun mereka
bersungguh-sungguh
melaksanakannya serta
mengeluarkan harta yang
banyak di dalamnya.
"Secukupnya dalam
melaksanakan sunnah lebih
baik daripada bersungguh-
sungguh dalam pelaksanaan
bid'ah."
Kita mohon kepada Allah
Ta'ala semoga mereka diberi
hidayah sesuai keridhaannya.
Kami nasehatkan agar anda
baik dalam menyampaikan dan
tidak ikut bersama mereka
serta sabar menghadapi ujian
yang menimpa karena hal
tersebut.
Wallahua'lam
Sumber: islamqa.info/id